RKUHP: Hina Presiden-Wapres, MA, MK, MPR, DPR, dan DPD Dibui 1,6 Tahun

Kamis, 24/11/2022 19:00 WIB
Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Kemenkumham dan DPR telah selesai membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU.

Beberapa pasal direformulasi sesuai masukan masyarakat dan DPR. Ada tambahan pasal terkait pidana merekayasa kasus.

Usai sosialisasi, draf RKUHP telah berubah dari 632 pasal menjadi 627 pasal dalam periode 6 Juli ke 9 November 2022. Ada 5 pasal yang dihapus sementara lainnya dilakukan reformulasi.

Draf kembali direformulasi setelah Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab disapa Prof Eddy menerima sejumlah masukan dari DPR dalam rapat pada 9 November.


Di antaranya, pidana terhadap pemerintah, termasuk kepada presiden dan wapres diturunkan dari 3 tahun menjadi 1,6 tahun penjara.


"Penghinaan terhadap pemerintah. Ini Pasal 240 kami menambahkan beberapa ayat, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 2," kata Eddy dalam rapat dengan Komisi III, Kamis (24/11).

"Dua, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," imbuh Eddy.

Selain itu, Kemenkumham juga mengakomodasi usulan pidana merekayasa kasus yang sebelumnya diusulkan Fraksi PPP dan sejumlah anggota Komisi III DPR.

Ada beberapa reformulasi dalam final draft RKUHP pada 9 November, yakni:

Reformulasi penjelasan hukum yang hidup dalam masyarakat

Penyesuaian definisi makar menjadi niat untuk melakukan serangan

Mengadopsi ketentuan mengenai rekayasa kasus dalam Bab Tindak Pidana terhadap proses peradilan, bagian penyesatan proses peradilan

Perubahan jangka waktu berlaku RUU KUHP dari dua tahun menjadi tiga tahun setelah diundangkan

Reformulasi pasal mengenai penghinaan terhadap lembaga negara dibatasi pada lembaga kepresidenan, MA, MK, MPR, DPR, dan DPD

Pengecualian penganiayaan hewan dalam hal dilakukan untuk budaya atau adat istiadat

Harmonisasi pertanggungjawaban korporasi dengan Perma 13/2016


Hari ini pemerintah dan fraksi-fraksi kembali membahas setidaknya 23 daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP. Termasuk terkait penghinaan terhadap pemerintah, pidana hukuman mati, kohabitasi (kumpul kebo), narkotika hingga ITE.

Di ujung rapat, pemerintah yang dipimpin Prof Eddy mengakomodir sejumlah masukan fraksi-fraksi dalam draf final RKUHP.

Berikut perubahan final draf RKUHP pada 24 November 2022:


Terkait hukum yang hidup dalam masyarakat. Disepakati penambahan ayat bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman bagi daerah, dalam penyusunan peraturan daerah mengenai kriteria dan tata cara hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 100 terkait Pidana Mati. Menghapus kata `dapat` dalam Ayat 1 yang sebelumnya berbunyi `Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun`.

Tambahan redaksional mengenai tindakan terhadap ideologi negara.


Eddy menambahkan, substansi `penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme, marxisme, leninsme` menjadi `penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila`. Hal lainnya akan disesuaikan.

Ada penyesuaian di bagian penghinaan terhadap simbol negara, pemerintah, dan golongan. Pasal 347 terkait penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara dihapus. Pasal ini digabung ke Pasal 240 yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah.

Sehingga Pasal 240 berjudul penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, yang pada intinya merupakan delik aduan (bersifat formil), kalau menyebabkan kerusuhan menjadi delik materil.

Mengenai interpretasi `penghinaan` disesuaikan dengan penjelasan Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden.


Ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan menghina adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfintah.

Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Misalnya, melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.

Sehingga kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Eddy memastikan sudah ada rambu-rambu agar tak ada salah penafsiran.

Tindak pidana terhadap kekuasaan pemerintahan digabung dengan tindak pidana penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.

Berkaitan dengan contempt of court (penghinaan pada pengadilan), tidak hanya berlaku bagi hakim tapi juga aparat penegak hukum, termasuk jaksa dan advokat.

Mengenai kohabitasi (kumpul kebo), ditambahkan penjelasan `dengan berlakunya ketentuan ini, seluruh peraturan mengenai perundang-undangan mengenai kohabitasi tidak berlaku`.

Terkait pidana aborsi. Pengecualian bagi korban perkosaan atau kedaruratan medis yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu diubah menjadi 14 minggu. Ini berdasarkan usulan dari masyarakat sipil dan rekomendasi WHO.

Terkait tindak pidana narkotika yang semula ada 6 ketentuan, dikurangi hanya tinggal menjadi Pasal 610 dan 611.

Court crime mencakup tanpa hak memiliki, menyimpan atau menguasai. Kemudian terkait ekspor dan impor.

Lalu ada penambahan 1 pasal mengenai penggolongan dan jumlah narkotika mengacu pada undang-undang yang mengatur mengenai narkotika.

Mencabut beberapa ketentuan terkait ITE yakni:

Pasal 27 ayat 1 UU ITE, ini dihapus dengan Pasal 407.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dihapus dengan Pasal 441

Pasal 28 ayat 2 UU ITE, dihapus dengan pasal 243 RKUHP ini

"Jadi dengan demikian, boleh dikatakan 99,9 persen yang diusulkan oleh Bapak/Ibu kami sepakati," pungkas Eddy.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar