Belum Usai Resesi, Muncul Fenomena Reflasi jadi Musuh Bersama Dunia

Selasa, 22/11/2022 14:00 WIB
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (Independensi)

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (Independensi)

Jakarta, law-justice.co - Seakan tak ada hentinya masalah di dunia ini, resesi pasti akan terjadi bahkan kini muncul lagi resflasi. Dua-duanya merupakan `musuh tak kasat mata`, tetapi dampaknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.


Istilah resflasi dicetuskan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.

"Ada risiko stagflasi, pertumbuhannya stuck turun namun inflasinya tinggi. Bahkan istilahnya adalah resflasi, risiko resesi dan tinggi inflasi," tutur Perry pada saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, (Senin, 21/22/2022).

Perry merujuk resflasi pada fenomena adanya resesi tetapi di sisi lain ada laju inflasi yang tinggi.

Resesi yang akan melanda beberapa negara besar sepertinya sudah tidak terelakkan lagi, bahkan dunia terancam mengalami hal yang sama.

Indonesia memang jauh dari resesi, tetapi dampaknya juga akan terasa. Ekspor terancam menurun, begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini bisa memperparah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di dalam negeri pada perusahaan yang berorientasi ekspor.

Resesi saja sudah menjadi masalah berat, apalagi ditambah dengan inflasi tinggi yang berarti naiknya harga barang mulai dari kebutuhan pokok hingga tersier. Naiknya harga tersebut tentunya membuat daya beli masyarakat menurun.


Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, di zona Euro bahkan tertinggi sepanjang sejarah. Artinya warga di negara-negara tersebut merasakan harga barang saat ini termahal dalam 4 dekade terakhir.

Dengan inflasi yang sangat tinggi, daya beli masyarakat menurun, resesi akan semakin parah.

Resesi secara umum dikatakan sebagai kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal beruntun.

Sementara itu Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) tidak hanya melihat kontraksi ekonomi tetapi mendefinisikan resesi sebagai "penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan yang berlangsung lebih dari beberapa bulan".
Dalam kondisi normal, ketika resesi terjadi maka bank sentral akan menurunkan suku bunganya, memberikan stimulus moneter guna memacu perekonomian.

Pemerintah juga bisa mengambil kebijakan fiskal ekspansif dengan meningkatkan belanja. Contohnya ketika terjadi resesi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) 2020 lalu.

Bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunganya dengan agresif, pemerintah pun meningkatkan belanja yang akhirnya bisa memacu perekonomian.

Namun, saat resflasi hal itu tidak bisa dilakukan. Balik lagi, resflasi yakni resesi disertai dengan inflasi yang tinggi.

Ketika inflasi tinggi, maka bank sentral akan mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan. Pemerintah pun mengambil kebijakan fiskal yang kontraktif, tujuannya untuk menurunkan inflasi.

Semakin tinggi suku bunga, inflasi bisa segera diturunkan. Masalahnya, kebijakan tersebut berlawan dengan kebutuhan untuk membangkitkan perekonomian karena resesi.

Semakin tinggi suku bunga, maka resesi semakin dalam. Rumit!

Sehingga dibutuhkan keseimbangan kebijakan baik moneter dan fiskal, untuk menurunkan inflasi sekaligus mencegah perekonomian tidak mengalami resesi yang dalam.

Ya, resesi menjadi jalan untuk menurunkan inflasi. Ketika resesi terjadi, demand pull inflation bisa diredam dan akhirnya menurun.

Bank sentral pun mengambil kebijakan tersebut. Demi menurunkan inflasi, perekonomian "dikorbankan", resesi dibiarkan terjadi yang penting tidak terlalu dalam.


Beberapa bank sentral utama dunia sudah mengindikasikan resesi akan terjadi. Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) menjadi yang paling terang-terangan menyatakan akan mengalami resesi. Bahkan, resesi yang terpanjang dalam sejarah.


"Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan terus merosot selama 2023 dan berlanjut hingga semester I-2024 akibat tingginya harga energi dan pengetatan kondisi finansial akan membebani belanja rumah tangga," kata BoE.

Tingkat pengangguran diprediksi akan naik dua kali lipat menjadi 6,5% selama dua tahun ke depan, saat perekonomian merosot.

Hal itu diungkapkan saat menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3% pada Kamis pekan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar dalam 33 tahun terakhir.

Meski akan mengalami resesi, tetapi BoE menegaskan masih akan terus menaikkan suku bunga.

BoE lebih memilih resesi ketimbang inflasi yang terus menerus tinggi. Sebab, dampaknya bisa sangat buruk dalam jangka panjang apalagi jika sampai "mendarah daging". Inflasi tinggi akan sulit diturunkan, daya beli masyarakat akan menurun, perekonomian negara akan "mati pelan-pelan"

Resesi juga sama buruknya, tetapi masih akan lebih baik ketimbang dengan inflasi tinggi yang mendarah daging.

Hal yang sama juga dilakukan bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC). Pada akhir Oktober lalu, BoC mengatakan perekonomiannya akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan. Tetapi, masih akan tetap menaikkan suku bunga.

"Periode pengetatan moneter hampir selesai. Kita sudah dekat, tetapi belum sampai," kata Gubernur BoC, Tiff Macklem, dalam konferensi pers sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (26/10/2022).

Macklem mengatakan seberapa tinggi suku bunga akan tergantung dari dampak yang diberikan, seberapa besar kebijakan moneter mampu meredam demand, bagaimana masalah supply diselesaikan serta inflasi dan ekspektasi inflasi merespon kebijakan tersebut.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) mengakui sulit untuk menghindarkan perekonomian dari resesi atau soft landing.

"Apakah peluang soft landing semakin kecil? iya. Apakah itu masih mungkin terjadi? tentu saja," kata ketua The Fed Powell, saat mengerek suku bunga 75 basis poin menjadi 3,75% - 4% pada Kamis (3/11/2022).

Powell menambahkan untuk bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi di 2023 adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab suku bunga masih perlu dinaikkan tinggi guna meredam inflasi.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar