SP3 Resmi Dibatalkan,

Mahfud MD: Kasus Dugaan Pemerkosaan Pegawai Kemenkop-UKM Dibuka Lagi!

Selasa, 22/11/2022 08:14 WIB
Menkopolhukam Mahfud MD komentari kasus Ade Yasin soal WTP yang dibeli (suara)

Menkopolhukam Mahfud MD komentari kasus Ade Yasin soal WTP yang dibeli (suara)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD memastikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) batal.

Sebagai konsekuensinya, proses hukum terhadap empat tersangka berinisial N, MF, WH dan ZPA kembali berjalan.

Keputusan tersebut diambil dari rapat gabungan yang digelar di Kantor Kemenko Polhukam hari ini, Senin (21/11).

Rapat itu dihadiri Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop-UKM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

"Memutuskan bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3 nya," ujar Mahfud dalam video rilis yang diterima.

Kasus ini sempat berhenti karena mendapat SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan dengan alasan laporan telah dicabut.

Mahfud menjelaskan alasan SP3 karena pencabutan laporan itu tidak benar secara hukum. Di dalam hukum, jelas dia, laporan tidak bisa dicabut. Sedangkan pengaduan dapat dicabut.

"Kalau laporan, polisi harus menilai, kalau tidak cukup bukti tanpa dicabut pun dihentikan perkaranya. Tapi kalau cukup bukti, meskipun yang melapor menyatakan mencabut, maka perkara harus diteruskan," jelas Mahfud.

Hal itu berbeda dengan perkara berdasarkan pengaduan yang dapat ditutup apabila pihak pengadu mencabut aduannya.

Mahfud juga menyoroti alasan pengeluaran SP3 berdasarkan perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan (restorative justice).

"Selain dibantah oleh korban dan keluarga korban, dan juga dibantah bahwa mereka telah memberi kuasa kepada seseorang untuk mencabut laporan yang itu pun tidak sah, maka restorative justice itu hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan, misalnya delik aduan," terang dia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan bahwa tidak ada konsep restorative justice pada kejahatan yang serius. Karenanya, perkara tersebut harus terus dibawa ke pengadilan.

Mahfud mengklaim Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, hingga Polri telah mendapat pedoman terkait hal tersebut.

"Tidak ada restorative justice di dalam kejahatan. Itu ada pedomannya di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, maupun di Polri sudah ada pedomannya, restorative justice itu bukan sembarang tindak pidana orang mau berdamai lalu ditutup kasusnya, gak bisa," kata dia.

Kini, kasus tersebut diusut kembali oleh Polda Jawa Barat (Jabar).

"Rekomendasi rapat tadi sudah diputuskan demikian. Polda Jabar akan menindaklanjuti dengan gelar untuk membuka kembali kasus tersebut," ujar Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto kepada CNNIndoneesia.com melalui pesan tertulis, Senin (21/11).

Kasus dugaan kekerasan seksual di Kemenkop UKM terjadi pada penghujung tahun 2019. Kasus ini disebut melibatkan empat pegawai Kemenkop UKM berinisial WH, ZP, MF, dan NN. Sementara korbannya adalah pegawai non-PNS Kemenkop UKM berinisial ND.

Kasus ini sempat diproses Polresta Bogor. Kendati demikian, kasus dihentikan dengan alasan korban menyepakati usulan damai. Penghentian kasus terjadi usai korban dan terduga pelaku berinisial ZP menikah pada Maret 2020.

Namun, korban membantah klaim Kemenkop UKM tersebut. Melalui tim kuasa hukumnya, korban menyatakan usul pernikahan datang dari pihak kepolisian. Tak hanya itu, keluarga korban juga tak pernah mengetahui penghentian kasus tersebut oleh kepolisian.

Karenanya, korban sempat berencana mengajukan gugatan Praperadilan atas penghentian kasus tersebut. Adapun korban kini mendapat perlindungan dari LPSK.

Dalam perkembangannya, Kemenkop UKM sempat menyatakan tengah mengevaluasi pemberian sanksi terhadap dua pegawainya yang diduga menjadi pelaku tindak pidana kekerasan seksual.

Dua pegawai dimaksud sebelumnya dijatuhi sanksi berupa penurunan jabatan dari grade tujuh menjadi grade tiga.

"Prosesnya sedang berlangsung. Dilakukan evaluasi termasuk opsi kalau memang harus dilakukan pemecatan terbuka untuk itu,"kata Anggota Tim Independen Kemenkop UKM Riza Damanik, Jumat (28/10) lalu.

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar