Siaran Digital Jadi Bancakan
Bisnis Siaran Digital, Kolusi Baru Penguasa
Calon pembeli saat memilih Set Top Box (STB) TV Digital di salah satu toko kawasan Glodok, Jakarta Barat, Kamis (3/11/2022). Penjualan Set Top Box (STB) TV Digital mengalami peningkatan hingga 60 persen usai pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) secara resmi menghentikan siaran TV Analog atau Analog Switch Off (ASO) Jabodetabek pada 2 November kemarin. Robinsar Nainggolan
Jakarta, law-justice.co - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melakukan migrasi dari tv analog ke tv digital pada awal November.
Untuk mendapatkan siaran TV Digital masyarakat membutuhkan Set Top Box (STB) yang memudahkan pemilik TV analog mengakses siaran digital.
Untuk mempermudah pengaksesan tv digital oleh semua lapisan masyarakat, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan bila Kemenkominfo melakukan distribusi STB gratis untuk keluarga miskin.
Usman menyebut distribusi set top box (STB) gratis untuk keluarga miskin di wilayah Jabodetabek sudah mencapai hampir 100%.
“Saat penghentian TV analog atau ASO (analog switch off) kemarin tanggal 2 November 2022, distribusi STB gratis sudah sekitar 99% (dari target 479.307 unit STB). Untuk sisanya, kemarin kita bukakan posko di enam wilayah untuk warga miskin yang berhak, jadi bisa ambil di sana,” kata Usman Kansong kepada Law-Justice.
Usman juga menegaskan bila tidak semua masyarakat akan mendapatkan perangkat STB gratis.
Menurutnya, hanya keluarga miskin yang ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos) dan data sasaran pengurangan kemiskinan ekstrem dari Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang berhak menerima bantuan.
Untuk masyarakat tergolong rumah tangga miskin yang ingin menanyakan terkait STB gratis, Usman Kansong menyarankan untuk membuka website https://cekbantuanstb.kominfo.go.id/.
Kemudian memasukkan NIK dan kode captcha pada kolom yang tersedia, klik “Pencarian”. Jika terdaftar sebagai penerima bantuan, dapat menghubungi call center 159.
“Jadi memang tidak semua menerima STB gratis, hanya yang datanya ada di Kemensos dan Kemenko PMK saja. Untuk yang tidak masuk sebagai penerima bantuan, segera beli STB untuk bisa menerima siaran digital,” tegasnya.
Usman juga mengakui bahwa tolak ukur bantuan STB "bukan apakah mereka punya TV analog atau digital, tapi mereka masuk kategori miskin atau tidak".
Rencana migrasi dari siaran analog ke televisi digital sudah digaungkan sejak era Menkominfo Tifatul Sembiring (2009-2014).
Namun payung hukum yang kuat terkait ini baru muncul dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang diundangkan pada 2 November 2020.
UU Ciptaker mengamanatkan penghentian siaran televisi analog paling lambat dilaksanakan dalam dua tahun setelah UU itu disahkan.
Terkait kritik soal migrasi tv digital, Usman menyatakan bahwa aturan yang berlaku memang hanya memungkinkan pemberitan STB berdasarkan data rumah tangga miskin saja.
"Ukurannya jadi itu memang, yang di luar itu yang tidak masuk dalam rumah tangga miskin maka kita mengimbau untuk mengadakan secara mandiri set top box-nya," kata Usman.
"Kalau ada yang masuk kategori rumah tangga miskin tetap kami harus berikan, meskipun sudah punya televisi digital karena itu memang haknya. Tapi ada juga yang mengembalikan karena sudah punya," tambahnya.
Sebelumnya, Kemenkominfo mengajukan pergeseran anggaran Tahun 2022 untuk mendukung Program Komunikasi Publik Migrasi Siaran Televisi Digital atau Analog Switch-Off (ASO). Nilai pergeseran itu mencapai Rp17 miliar.
Kominfo menjelaskan peningkatan itu dialokasikan untuk sosialisasi dalam bentuk produksi konten berbasis teks, grafis dan video dengan paket konten.
Selain itu adanya diseminasi informasi melalui media lokal, konvensional, mainstream, digital, tatap muka, serta media luar ruang.
"Selanjutnya, usulan pergeseran anggaran antar program dan antar Eselon I yang dialokasikan untuk sosialisasi ASO sebesar Rp17,049 miliar dengan target 509 spot kegiatan," kata Plate melalui keterangan yang diterima Law-Justice.
Permintaan pergeseran anggaran itu disampaikan Plate dalam rapat koordinasi dengan Komisi I DPR RI beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut ia menilai program ASO yang terhitung 22 hari lagi dibutuhkan komunikasi publik untuk membangun kesadaran dan kepercayaan publik secara khusus keterlibatan aktif masyarakat.
Plate menjelaskan program komunikasi publik yang semula Rp450 miliar berubah menjadi Rp 490 miliar atau bertambah sebesar Rp 39,697 miliar.
Selain itu untuk program Penyediaan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi sebesar Rp18,689 trilliun, program Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebesar Rp 4,572 triliun, dan program Pengelolaan Spektrum frekuensi dan Standar Perangkat Layanan Publik sebesar Rp704 miliar.
"Kebijakan digitalisasi penyiaran bisa mendorong masyarakat berpartisipasi dalam menjalankan program prioritas nasional Analog Switch Off. Oleh karena itu, terkait kegiatan ini, telah dianggarkan pada DIPA Kominfo tahun 2022, namun masih memerlukan tambahan anggaran," tuturnya.
Seperti diketahui, bila Kebijakan ASO itu telah memicu resistensi dari lembaga penyiaran swasta seperti MNC Group dengan alasan "merugikan masyarakat".
Melalui siaran pers, MNC Group mempertanyakan kebijakan ASO ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Kebijakan ASO yang dilakukan hanya di Jabodetabek pada 2 November lalu oleh MNC Group dianggap menunjukkan bawah Kominfo secara implisit mengakui pemberlakuan putusan MK itu.
Namun di sisi lain, apabila pelaksanaan kebijakan ini dianggap sebagai amanat UU Ciptaker, MNC Group berargumen bahwa seharusnya ini diberlakukan secara nasional, bukan hanya di Jabodetabek.
Bahkan Hary Tanoesoedibjo selaku bos MNC Group pun menyatakan akan menggugat pemerintah atas ini.
Menanggapi itu, Usman Kansong menyatakan pemerintah "siap menghadapi gugatan itu".
"Putusan MK itu kan tidak berlaku surut, sedangkan kebijakan ASO ini sudah disiapkan sebelum putusan MK itu terbit. Jadi nanti kita tunggu saja (gugatan itu)," tutur Usman.
ASO Amanat dari UU Ciptaker
Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) resmi melakukan Analog Switch Off (ASO) pada 2 November 2022 lalu. ASO adalah penghentian siaran televisi analog, dengan ini Kominfo hendak mengalihkan siaran TV ke digital.
Aso merupakan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang itu, ASO dilaksanakan dua tahun setelah Undang-Undang itu disahkan.
“Jadi, itu perintah Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, bahwa dua tahun setelah ditetapkannya Undang-Undang, maka harus dilakukan siaran digital di seluruh Indonesia,” kata Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano Pariela pada Law Justice, Selasa (15/11/2022).
Berikut bunyi Pasal 60A Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja:
“Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.”
Namun, ASO pada 2 November 2022 kemarin hanya dilakukan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau biasa disebut Jabodetabek.
“Kebijakan dari Kominfo ASO pada tanggal 2 November 2022 itu kan masih di Jabodetabek karena terkait ketersediaan dan distribusi server pada masyarakat,” ujar Hardly.
Untuk memuluskan ASO, Kominfo dan stasiun TV penyelenggara multipleksing bersama-sama membagikan 6,7 juta set top box (STB) bagi rumah tangga miskin. Untuk diketahui, STB digunakan supaya TV analog bisa menerima siaran TV digital.
Sejumlah Masalah dalam Pelaksanaan ASO
Pengamat Komunikasi Penyiaran dari Universitas Mercu Buana Syaifuddin menemukan beberapa masalah dalam pelaksanaan ASO. Salah satunya janji pemerintah yang tidak konsisten tentang pembagian gratis set top box kepada masyarakat.
Menurut Syaifuddin, STB malah dijual di online shop. Selain itu ia menyebut, pembagian bantuan Set Top Box bagi Rumah Tangga Miskin di Jabodetabek juga bermasalah.
“Masalah data penerima set top box gratis yang tidak akurat. Ini berdampak pada beban pengiriman set top box sampai ke penerima bantuan,” ujar Syaifuddin dalam keterangannya pada Law Justice, Selasa.
Ada juga masalah sistem perawatan operasional siaran. Faktor ini, lanjut Syaifuddin, bisa membuat sistem kita berbeda dengan sistem dunia.
Menurut dia, kondisi seperti itu tidak efisien, biayanya menjadi mahal, dan sulit untuk berjejaring dengan sistem digital bangsa-bangsa lain di dunia.
Selain itu, Syaifuddin juga menyebut masalah lain dalam pelaksanaan ASO, yakni masalah infrastruktur, masalah teknik operasional, dan masalah materi siaran. Ia juga mengatakan, Jabodetabek belum siap ASO.
“Infrastruktur siaran TV digital di Jabodetabek telah seluruhnya beroperasi melalui 7 (tujuh) operator multipleksing (MUX), yaitu Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan 6 (enam) Lembaga Penyiaran Swasta, ternyata ini tidak terbukti,” kata dia.
Masalah selanjutnya menurut Syaifuddin adalah daya beli masyarakat, terutama di level akar rumput yang terdampak pendemi. Tak hanya masyarakat, Syaifuddin menyebut stasiun televisi juga masih kelimpungan pendapatannya akibat dihajar pandemi.
Hal ini diamini Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution. Ia mengatakan, stasiun tv penyelenggara multipleksing (MUX) belum bisa memenuhi komitmen pembagian STB gratis karena faktor pandemi.
Sedangkan Syaifuddin menganggap, pemerintah gagal melakukan komunikasi politik sehingga menyebabkan masalah-masalah di atas. Bukti kongkret dari kegagalan ini adalah kurangnya sosialisasi ASO. Menurutnya, masyarakat menganggap TV analog adalah TV tabung, dan berpikir dengan ASO maka mereka harus membeli TV baru, model smart TV yang lebih ramping, atau TV plat yang tipis.
“Yang banyak tidak dipahami oleh rakyat adalah bahwa TV analog adalah sistem siaran, bukan bentuk perangkat TV. Selama ini sistem siaran TV analog memakai frekuensi 700 Mhz (golden frequency).,” kata Syaifuddin.
“Wawasan ini tidak sampai pada sebagian besar rakyat,” sambung pengamat komunikasi penyiaran itu.
Proses Tender Set Top Box Gratis Tidak Jelas
Law Justice berusaha memeriksa tender pengadaan set top box gratis. Menurut laman LPSE, terdapat tiga proyek terkait STB, yakni:
- Pendistribusian Perangkat Set Top Box (STB) Bantuan Pemerintah Untuk Rumah Tangga Miskin ASO Tahap 1 senilai Rp6.982.433.007 atau Rp6,9 triliun.
- Pengadaan Jasa Pengembangan Aplikasi EWS (Early Warning System) TV Digital & Set Top Box melalui Penyelenggara Multipleksing Siaran TV Digital spse 4.4 senilai Rp381.840.000 atau sekitar Rp381 juta.
- Project Management Officer Penyediaan Set Top Box (STB) Bagi Ruta Miskin Oleh Pemerintah senilai Rp2.699.400.000 atau Rp2,6 miliar.
Ketika dikonfirmasi ke Kominfo, ternyata salah satu perusahaan yang memproduksi STB gratis adalah PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Law Justice berusaha mengonfirmasi ke PT INTI, namun belum ada jawaban dari PT INTI hingga berita ini diterbitkan.
Sementara itu, muncul dugaan indikasi korupsi dalam tender STB gratis. Law Justice lantas menanyakan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) apakah kasus ini bakal disidik atau tidak.
“Belum, belum ada laporan masuk,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Kuntadi, Rabu (16/11/2022).
MNC Bakal Tuntut Kominfo Soal ASO?
Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo beberapa waktu lalu sempat memprotes ASO yang hanya dilakukan dilakukan di Jabodetabek. Ia mengaku, merasa ditekan pemerintah agar perusahaannya ikut mematikan siaran analog dan berganti menjadi siaran digital.
“Keputusan pemberlakuan ASO tersebut tidak memiliki landasan hukum yang pasti. Sebab, kebijakan itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PPU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Hary Tanoesoedibjo dalam akun Twitter resminya, Jumat (4/11/2022).
Untuk diketahui, salah satu petitum di dalamnya mengatakan MK menangguhkan segala tindakan atau kebijakan UU Cipta Kerja yang bersifat strategis dan berdampak luas.
“Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ujar Hary.
Selain itu, ia mengatakan masih banyak masyarakat Jabodetabek yang tidak bisa menonton TV jika dilakukan ASO, kecuali mereka membeli STB atau mengganti televisinya menjadi digital.
"Diperkirakan 60 persen masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati siaran televisi secara analog, kecuali membeli set top box baru atau mengganti televisi digital atau berlangganan TV parabola," kata Hary Tanoe melalui postingan di akun Instagram resminya yang terverifikasi, Jumat.
Sementara itu, Ketua ATVSI yang juga menjabat sebagai Direktur Corporate Secretary MNC Group Syafril Nasution mengatakan, UU Cipta Kerja mengamanatkan ASO untuk seluruh Indonesia, bukan hanya Jabodetabek saja.
“Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ASO itu ditentukan tanggal 2 November 2022 untuk seluruh Indonesia. Tapi yang diberlakukan Jabodetabek, daerah lain tidak. Sementara daerah Jabodetabek adalah tulang punggung dari televisi,” kata Syafril.
Ia menyebut, banyak iklan yang dipasang oleh perusahaan-perusahaan Jabodetabek. Sedangkan di daerah-daerah tidak banyak iklan.
“Sehingga pada saat di analog seperti ini, perhitungan ratingnya pasti meleset. Itulah yang disesalkan,” ujar Syafril.
“Kenapa nggak daerah lain dulu? Daerah Jabodetabeknya belakangan. Itu yang diharapkan,” imbuhnya.
Sementara itu, disinggung terkait kelanjutan penuntutan MNC Group terkait ASO, Syafril mengaku tidak tahu.
“Soal menuntut itu saya tidak tahu berjalan atau tidak karena itu ada bagian lainnya, bukan di saya. Jadi, saya tidak tahu apakah penuntutan itu jadi dilaksanakan atau tidak,” kata Syahrul.
“Tentunya nanti kalau jadi nuntut kan akan ketahuan. Saya belum tahu soal itu,” pungkasnya.
Harga Set Top Box Melambung Tinggi
Harga set top box diketahui melambung tinggi usai Kominfo melakukan ASO. Harga STB yang dulu dibanderol Rp150 ribu – Rp200 ribu, kini melambung hingga Rp500 ribu.
“Coba lihat, dulu janji STB kan Rp150 ribu – Rp200 ribu, sekarang berapa? Sampai Rp500 ribu,” kata Syafril Nasution, Jumat.
Naiknya harga STB turut menjadi perhatian KPI. Hardly mengatakan, Kominfo harus mendorong, menjaga, atau memastikan bahwa set top box yang dibutuhkan masyarakat dipasarkan dengan harga yang wajar.
“Jangan sampai di tengah kondisi peralihan ini ada pihak-pihak tertentu yang memainkan harga set top box itu,” imbau Komisioner KPI itu.
Pemasangan Set Top Box Bikin TV Buram
Sejumlah masyarakat di media sosial yang mengeluhkan pemasangan set top box justru membuat kualitas siaran memburuk hingga buram. Hal ini ditanggapi Komisioner KPI Hardly Stefano Pariela. Menurutnya, hal itu bisa jadi karena banyak hal.
“Pertama, bisa jadi pemancar siaran TV digitalnya belum maksimal. Makanya ditentukan (baca: disebutkan wilayahnya), pasti KPI akan meminta kepada lembaga penyiaran untuk memastikan agar seluruh pemancaran siaran TV digital bisa maksimal secara,” kata dia.
Ia melanjutkan, bisa juga jeleknya kualitas siaran itu disebabkan teknis pemasangan yang keliru. Menurutnya, kabel yang dikoneksikan ke TV analog adalah kabel HDMI, bukan AV.
Penjualan STB meningkat seiring dengan penerapan TV Digital
“Karena set top box itu setahu saya ada dua konektor atau koneksi ke TV analog, bisa memakai kabel HDMI atau kabel AV. Nah, kalau yang HDMI harusnya kualitasnya sudah bagus,” ujar Hardly.
“Bisa jadi pakai yang kabel AV, jadi bermasalah. Ini harus disampaikan secara spesifik permasalahannya seperti apa,” sambungnya.
Penyebab terakhir adalah set top box berkualitas jelek dan belum tersertifikasi Kominfo. Untuk itu, ia menghimbau masyarakat membeli set top box yang sudah tersertifikasi Kominfo.
Ia melanjutkan, Kominfo bersama KPI telah membuka posko pengaduan terkait dengan ASO itu ke call center 159. Masyarakat dapat membuat pengaduan tentang STB pada layanan itu.
Penyebab Molornya Pembagian STB Gratis
Molornya pembagian set top box gratis disebabkan oleh stasiun TV swasta penyelenggara MUX belum memenuhi komitmennya membagikan STB gratis.
“Semua televisi swasta yang mendapatkan multiplekser punya komitmen kepada Kominfo. Bukan hanya MNC, (tapi) semua, ada dari TV7, Trans7, tvOne, ANTV, RCTI, Gtv, SCTV, Indosiar. Semua punya komitmen terhadap Kominfo untuk membagikan STB, cuma jumlahnya beda-beda,” kata Syafril.
Berikut rincian jumlah set top box yang dibagikan stasiun TV swasta:
- Grup STM (SCTV dan Indosiar) 896.162 di 138 kabupaten/kota untuk tahap pertama. Tahap kedua 317.588 di 32 kabupaten/kota;
- MNC 844.015 di 139 kabupaten/kota tahap pertama. Tahap kedua 299.106 di 32 kabupaten/kota;
- Trans Media 455.196 di 134 kabupaten/kota tahap pertama. Tahap kedua 161.315 di 24 kabupaten/kota;
- Media Group 520.072 di 146 kabupaten/kota tahap pertama. Tahap kedua 184.306 di 26 kabupaten/kota;
- RTV 369.168 di 99 kabupaten/kota tahap pertama. Tahap kedua 130.832 di 22 kabupaten/kota.
“Nah, soal bagi-bagi ini sampai hari ini, semua stasiun televisi itu belum memenuhi komitmennya, baru sebagian yang dipenuhi,” imbuh Syafril.
Ini disebabkan karena faktor pandemi. Ia menuturkan, stasiun tv diberi waktu dua tahun sejak 2020 hingga 2022 untuk membagun infrastruktur tv digital. Namun, pada periode itu pandemi COVID-19 tengah merebak.
“Saat pandemi ini kan pendapatan berkurang, pendapatan kecil sekali. Tapi, diwajibkan juga televisi tadi membangun infrastruktur digital tadi,” kata Syafril pada Law Justice, Jumat (18/11/2022).
“Infrastruktur digital kan tidak murah, ratusan milyar. Sehingga saat pendapatan berkurang karena pandemi, di sisi lain harus mengeluarkan uang besar untuk membiayai infrastruktur digital,” lanjutnya.
Ia menuturkan alasan lainnya, yakni kekecewaan dari stasiun TV swasta MUX. Menurut Syafril, kesepakatan di awal dan sekarang sangat berbeda.
“Sejarahnya dulu semuanya kan peserta tender untuk bisa dapat digital, di dalam salah satu penilaian itu adalah memberikan STB. Nah, artinya semua orang pengen menang dong mendapatkan digital kan, dapat mux, tentunya memberikan proposal yang bagus,” kata Syafril.
“Nah, salah satunya adalah menjanjikan STB tadi. Di dalam perjalanan ternyata tender itu tidak demikian,” sambungnya.
Ia melanjutkan, di perjalanan langsung ada pembagian, misal grup ini diberi sekian MUX, grup ini sekian.
“Jadi, setiap grup itu dibagi 21 wilayah layanan. Nah, jadi kan seperti bukan tender, dibagi-bagi begitu,” ujar Syafril.
“Tapi, di sisi lain STB yang dibagikan itu dipegang, dijadikan komitmen. Sehingga para televisi tadi merasa `lho, kok seperti ini?`, kecewa lah,” lanjut dia.
Jabodetabek Belum Siap ASO
Hal ini diungkap oleh Ketua ATVSI Syafril Nasution. Menurutnya, survey menunjukkan baru 46 persen masyarakat di Jabodetabek yang siap migrasi ke TV digital.
“Survei yang ada di kita, di Jabodetabek itu baru 46 persen yang siap televisi digital. Kalau kita bicara Indonesia, baru 27 persen. Itu datanya ada,” kata Syafril.
Menurutnya, angka 46 persen itu terlalu rendah. Di negara lain, biasanya ASO dilakukan saat survey menunjukkan 90 persen masyarakat siap digital.
Praktisi Penyiaran Sebut Menteri Tidak Paham Kebijakan Pro Rakyat
Terhitung 2 November 2022 masuk dalam penyiaran tv digital, sekaligus sebagai akhir dari penyiaran tv analog di segmen penyiaran tv free to air (penyiaran tv tidak berbayar).
Tetapi, kebijakan itu menyisakan masalah baru di masyarakat, yaitu kelangkaan perangkat STB (Set Top Box)-perangkat untuk menangkap siaran digital di TV analog.
Kelangkaan itu menjadi perhatian Ativis Pro Demokrasi 98, Teddy Wibisan yang juga pernah lama berkecimpung di lembaga penyiaran radio tersebut kepada awak media menuturkan beberapa hal terkait pesoalan STB.
Menurutnya, kelangkaan STB disebabkan oleh kebijakan digitalisasi yang hanya berfikir soal perpindahan dari analog ke digital, bukan soal kepentingan masyarakatnya. Walaupun kebijakan itu menguntungkan masyarakat, tetapi persiapan agar masyarakat untuk dapar mengakses siaran tv digital, tidak baik.
“Upaya menuju digitalisasi penyiaran tv free to air bukanlah upaya yang tiba-tiba. Kominfo sudah menyatakan bahwa sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital secara bertahap sudah dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara tv swasta di Jawa dan Kepulauan Riau. Jadi ini bukan semata soal sosialisasi,” ujarnya, Kamis (10/11)
Teddy menambahkan, pembangunan infrastruktur penyiaran digital saat itu dilakukan untuk merespon Keputusan Menteri Kominfo No. 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012, tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).
Dan menurutnya, sudah seharusnya soal kebutuhan STB juga disiapkan, karena tanpa STB pemilik pesawat TV analog tidak bisa menikmati siaran digital.
“Tetapi mengapa masalah kelangkaan STB bisa terjadi? Apakah karena tidak adanya sosialisasi dan persiapan yang dilakukan oleh pemerintah ? ” tandas Teddy.
Memang upaya digitalisasi penyiaran tv free to air bukanlah upaya yang tiba-tiba. Kominfo dalam websitenya menyatakan bahwa sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital secara bertahap sudah dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara tv swasta di Jawa dan Kepulauan Riau.
Konten siaran dalam format digital sudah dapat dinikmati masyarakat di wilayah ini, karena sinyal analog dan digital dipancarkan secara bersamaan. Dan daerah lain kemudian menyusul secara bertahap.
Pembangunan infrastruktur penyiaran digital tersebut dilakukan, merespon Keputusan Menteri Kominfo No. 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012, tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).
“Jelas lah transisi ke arah digitalisasi siaran tv sudah berjalan selama 10 tahun. Kebijakan itu bagus, tapi implementasinya juga harus bagus. Kesiapan penyelenggara penyiaran tv penting, tapi kemudahan masyarakat untuk mengaksesnya juga penting. Itu namanya kebijakan yang pro rakyat,” tegas Teddy.
Teddy menguraikan pentingnya migrasi dari analog ke digital. Menurutnya, digitalisasi adalah sebuah tuntutan jaman. Indonesia bahkan tertinggal dengan negara-negara lain di ASEAN dalam digitalisasi.
Digitalisasi membawa dampak positive bagi masyarakat dan lembaga penyiaran (swasta dan publik). Masyarakat akan memporeh siaran dengan kualitas digital (lebih jernih dan tajam). Selain itu frekwensi sebagai ruang publik yang terbatas dengan adanya digitalisasi akan semakin efisien, karena 1 rentang frekwensi analog dapat diisi 12 rentang digital. Energi untuk menyebarluaskan program lebih efisien.
“Efisiensi rentang frekwensi itu dapat diisi oleh ijin frekwensi penyiaran baru dan internet secara lebih terbuka. Dan ini akan mendorong kesempatan perekonomian digital lebih luas lagi,” urai Teddy yang juga menjadi salah satu pengelola KBR 68H.
Karena digitalisasi juga menguntungkan lembaga penyiaran dan mendorong ekonomi digital, maka soal kelangkaan STB menurutnya, sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah dan lembaga penyiaran swasta.
“Pemerintah dan lembaga penyiaran kalau perlu menyediakan STB secara gratis bagi seluruh masyarakat, bukan hanya menyediakan secara terbatas. Dan masyarakat juga dipermudah untuk dapat memperolehnya. Kan bisa dibagikan melalui organisasi masyarakat yang ada seperti Desa/Kelurahan sampai RT/RW. Apalagi kita sudah ada NIK,” ujarnya lagi.
Dia juga menambahkan sebenarnya kebijakan tv digital ini menguntungkan masyarakat dan juga positif bagi lembaga penyiaran swasta dan publik.
"Kebijakan itu menguntungkan masyarakat, Digitalisasi membawa dampak positive bagi masyarakat dan lembaga penyiaran (swasta dan publik). Masyarakat akan memporeh siaran dengan kualitas digital (lebih jernih dan tajam). Selain itu frekwensi sebagai ruang publik yang terbatas dengan adanya digitalisasi akan semakin banyak variasi kanal yang dapat dinikmati mastarakat, karena 1 rentang kanal analog dapat diisi 12 kanal digital. Tetapi persiapan agar masyarakat dapat mengakses siaran tv digital, yang buruk," ujarnya.
"Pemerintah tampak lebih fokos pada proses migrasinya, bukan kemudahan masyarakat untuk mengaksesnya. Jadi kebijakan itu tidak pro rakyat. Apalagu kemudian masyarakat harus membelinya di pasar, padahal adanya STB itu juga kebutuhan lembaga penyiaran juga, program mereka dapat ditonton oleh masyarakat yg masih memiliki tv analog, jika STB tersesua. Dan saat masyarakat berteriak, baru lah itu dibagikan. Dan yang lucunya bupati dan parpol/anggita DPR yang membagi-baginya. STB sydah menjadi alat politik," tambahnya.
Selain itu kata Teddy pemerintah harus lebih ekstra memberikan perhatian agar kebijakan ini bisa berjalan maksimal untuk masyarakat dan tidak ada kendala yang merugikan masyarakat dan juga lembaga penyiaran.
"Soal migrasi ini memang harus menjadi domain pemerintah dan lembaga penyiaran. Pemerintah Semacam dirigent yang mengorkestrasi seluruh lembaga penyiaran dalam perpindahan tsb. Dan tanggung jawab terhadap masyarakat dengan kemudahan akses mereka memperoleh STB juga mereka," katanya.
Mengenai adanya dugaan monopoli dan peluang korupsi, Teddy mempersilakan agar kebijakan dan pengadaan STB oleh pemerintah atau mata anggaran yang terkait dengan itu bisa diaudit oleh BPK dan BPKP.
"Soal korupsi bisa saja, masyarakat bisa meminta BPK atau BPKP untuk memeriksanya. Soal tidak transparan sangat mungkin. Parpol atau anggota DPR yang membagi-bagi STB itu harus menjawab, dari mana STB itu dudapat. Jika STB nya kominfo, maka STB telagenjadi alat politik," pungkasnya.
DPR Kritisi Kebijakan Progam Siaran Digital
Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin memberikan sejumlah catatan dalam distribusi STB untuk TV Digital.
Ia mengatakan bila STB seharusnya dibagikan secara gratis dulu sebelum dijual di pasaran agar masyarakat dapat mendapatkan siaran televisi digital.
"Realisasinya tidak sesuai dengan komitmen. Logikanya nih, saya beli Rp300 ribu, bahkan Rp 350 ribuan, sudah naik," kata Nurul Arifin kepada Law-Justice.
Nurul menyebut bila barang STB tersebut sudah ada di pasar sebaiknya pemerintah membagikan terlebih dahulu STB secara gratis kepada masyarakat yang membutuhkan.
"Kalau barang itu ada di pasar, harusnya yang menjadi kewajiban dari yang menjanjikan di Undang-Undang Ciptakerja, 6 juta itu harusnya sudah selesai (dibagikan) dulu dong, baru sisanya dijual," ucapnya.
Nurul mengungkapkan, adanya peralihan dari analog ke digital tersebut membuat rakyat benar-benar harus berpikir keras untuk mempunyai STB.
"Ini barangnya ke market dulu, rakyatnya teriak-teriak. Jadi ini sulap-sulap macam apa. Dijual dulu baru dibagi. Sampai kaya decoder yang dulu kita punya pengalaman dari tv nasional ke tv swasta harus pakai decoder, sampai akhirnya decoder itu tidak bermanfaat," ungkapnya.
"Jadi Anda jangan jualan dulu! Kalau ada sisa baru dijual. Kan barangnya sama, produsennya coba kita telusurilah. Produsen STB ini siapa?" tambahnya.
Politisi Golkar itu juga menyatakan dengan hanya pemberlakuan TV Digital di Jabodetabek, pemerintah seperti buang badan terhadap kewajibannya untuk menyediakan infrastruktur teknologi dari televisi analog menjadi digital.
Menurutnya, kebijakan ini sebetulnya tidak akan mempersulit masyarakat kalau pemerintah berkomitmen dalam penyebaran alat bantu siaran digital berupa set box.
“Distribusi set box sebanyak 6 juta unit harusnya bisa dilaksanakan. Apalagi Sudah tahu akan jatuh tempo pada tanggal 2 November," tegasnya.
Law-Justice mendapatkan informasi mengenai daftar perusahaan yang menjual STB dan bersertifikasi Kominfo.
Sebagai catatan, Kominfo menyertifikasi perangkat STB siaran TV digital adalah sebagai bentuk jaminan bahwa STB yang digunakan nantinya dipastikan bisa digunakan, dan semua fitur di siaran digital bisa berfungsi optimal.
Semula, STB sebagai perangkat untuk mendukung siaran TV digital yang bersertifikat kominfo hanya berjumlah kurang dari sepuluh merek.
Merek STB yang bersertifikat Kominfo di antaranya;
Nexmedia (NA1300/DVB-T2 MPEG4 HD)
Polytron (PDV 600T2)
Ichiko (8000HD)
Akari (ADS-2230, ADS-168 dan ADS-210)
Venus (Brio)
Tanaka (T2)
Matrix (Apple)
Evercross (STB1)
Nextron (NT2000-D dan TR 1000)
Evinix H1
Sementara itu terdapat salah satu perusahaan BUMN yang menjual produk STB TV Digital yakni PT INTI.
Pengamat Ekonomi Indef Nailul Huda juga memberikan beberapa catatan kritis terkait distribusi STB untuk tv digital.
Nailul mengatakan itu menyebabkan masyarakat yang tidak mampu bermigrasi ke siaran digital kehilangan hak untuk mengakses siaran televisi.
Bahkan bantuan set top box (STB) gratis dari pemerintah belum merata, bahkan berpotensi tidak tepat sasaran.
“Pertanyaannya, apakah itu tepat sasaran? Apalagi data yang digunakan sama seperti data bantuan sosial, tidak ada data yang mewakili ini (penerima) sudah memiliki TV digital atau belum, sudah memiliki STB atau belum, tidak ada data valid seperti itu,” kata Nailul saat dihubungi Law-Justice.
Nailul menuturkan persoalan besar dalam distribusi bantuan STB gratis, adalah pemerintah tidak memiliki basis data yang valid soal siapa saja masyarakat yang berhak menerimanya.
Pemerintah mengacu pada data masyarakat miskin yang juga berhak menerima bantuan sosial berdasarkan DTKS Kementerian Sosial dan data sasaran penghapusan kemiskinan ekstrem di Kemenko PMK.
Padahal dalam praktiknya, Nailul mengatakan distribusi bansos saja “penuh carut marut” dan “kerap tidak tepat sasaran”.
“Kalau kita menilik data DTKS, data bansos itu ya itu belum mencerminkan berapa yang sudah pakai TV digital atau belum, jangan-jangan mereka yang sudah punya TV digital dia dapat STB gratis lagi," tuturnya.
“Sebagian besar memang menengah ke bawah, tetapi yang dipersoalkan kan TV-nya sudah digital atau belum, ini yang pemerintah nggak punya datanya,” sambungnya.
Situasi tersebut tentu membuat sebagian masyarakat kehilangan haknya untuk mendapatkan layanan televisi.
Nailul menyatakan bila masyarakat juga sebenarnya mempunyai hak untuk memanfaatkan frekuensi televisi karena ini adalah milik negara.
"di mana kita juga punya hak untuk frekuensi ini karena itu dari penerimaan negara yang dimanfaatkan untuk frekuensi itu,” ujarnya.
“Ini yang harus kita tuntut ketika masyarakat ini tidak dapat menikmati layanan pertelevisian, masyarakat harus bersuara,” demikian tambahnya.
Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Amelia.
Komentar