Polisi Terduga Terorisme di Lampung, Radikalisme Merebak di Polri (1)

Jum'at, 18/11/2022 14:40 WIB
Tampilan pasukan anti-teror asal Indonesia, Densus 88 (tempo)

Tampilan pasukan anti-teror asal Indonesia, Densus 88 (tempo)

Jakarta, law-justice.co - Penangkapan dua anggota Polda Lampung oleh Densus 88, yang diduga terkait dengan terorisme, mengindikasikan adanya penyebaran paham radikal di dalam tubuh Polri yang “belum seluruhnya terdeteksi”, kata sejumlah pengamat terorisme.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa penangkapan terbaru di Lampung menambah jumlah kasus keterlibatan polisi dengan terorisme menjadi 10 kasus sejauh ini.


Namun pengamat terorisme, Al Chaidar, menilai “ada kemungkinan banyak kasus lainnya yang tidak terdeteksi”.

“Karena yang mencuat ke publik hanya beberapa kasus yang dianggap menyita perhatian publik,” kata Al Chaidar kepada BBC News Indonesia.

“Ini tidak main-main. Ini adalah institusi negara, kemudian ini memfasilitasi orang untuk melakukan gol bunuh diri. Berbahaya kalau dibiarkan dan harus diambil tindakan tegas,” lanjut dia.

Sebelumnya diberitakan, dua orang anggota Polda Lampung ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat jaringan terorisme.

Kepala Bidang Humas Polda Lampung, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, membenarkan adanya penangkapan itu. Namun dia enggan merinci lebih lanjut substansi dari kasus ini.

“Untuk apa yang dilakukan adalah kewenangan Densus dan akan diberikan keterangan lebih lanjut oleh Densus, kami hanya membenarkan rangkaian kegiatan tersebut,” kata Pandra kepada wartawan Robertus Bejo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Lampung.

Melansir BBCIndonesia, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo. Namun Dedi menolak berkomentar dan mengatakan bahwa dia “belum mendapat update dari Densus”.


Dikutip dari VIVA.co.id, kedua polisi yang ditangkap itu diduga memasok senjata ke kelompok teroris. Densus 88 disebut mengamankan senjata laras panjang, revolver, tiga magazine SS1, serta 800 butir peluru berukuran 5,56 milimeter dan 9 milimeter.

Pendiri Negara Islam Indonesia Crisis Center, Ken Setiawan, menilai kasus ini menggambarkan bahwa jaringan terorisme turut menargetkan perekrutan aparat karena memiliki akses ke senjata.

Ken menduga kedua polisi yang ditangkap oleh Densus 88 itu tergabung dengan komunitas “Polisi Cinta Sunnah” sebagai salah satu cara infiltrasi paham salafi wahabi.

Ken menyebut komunitas “Polisi Cinta Sunnah” bagaikan “benalu atau parasit” di tubuh polisi, yang “tidak boleh diabaikan”.

Jumlah pengikut “Polisi Cinta Sunnah” yang kini telah berganti nama menjadi “Pembelajar Cinta Sunnah” di media sosial mencapai sekitar 170.000 orang, meski jumlah polisi yang terpapar paham radikal lewat komunitas ini perlu dikaji lebih mendetil.

Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid, mengatakan kasus ini “masih didalami lebih lanjut oleh Densus 88”, termasuk soal motif, sejauh mana paparannya, hingga keterkaitannya dengan komunitas “Polisi Cinta Sunnah” itu.

Namun dia tidak menampik bahwa paparan paham radikal telah menginfiltrasi tubuh Polri, bahkan TNI dan institusi negara lainnya.

Dia mengatakan bahwa situasinya sudah “urgent”, namun BNPT hanya bisa melakukan pendekatan lunak, salah satunya melalui kontra-radikalisasi.

BBC News Indonesia juga menghubungi mantan polisi sekaligus mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri. Namun dia enggan diwawancara karena mendapat informasi dari Densus 88 bahwa penangkapan dua polisi di Lampung ini adalah "hoaks".

Pejabat Polri maupun Polda Lampung yang dihubungi oleh BBC News Indonesia tidak satu pun yang menyatakan informasi ini sebagai "hoaks".

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar