Buruh Ancam Aksi Besar-besaran Jika UMP 2023 Mengacu PP 36/2021

Kamis, 17/11/2022 23:19 WIB
Aliansi buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar demo di kawasan di Patung Kuda, Jakarta Pusat hari ini, Kamis (20/10/2022). Mereka menuntut harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan hingga mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja (Ciptaker). Robinsar Nainggolan

Aliansi buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar demo di kawasan di Patung Kuda, Jakarta Pusat hari ini, Kamis (20/10/2022). Mereka menuntut harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan hingga mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja (Ciptaker). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Buruh yang diwakili Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam bakal melakukan aksi besar-besaran jika Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 Tahun 2021.

"Dua konfederasi buruh besar menolak dengan sangat keras jika Pemerintah menggunakan PP No. 36 Tahun 2021 sebagai dasar acuan penetapan upah," kata Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea dalam keterangan tertulis, Kamis (17/11/2022).

Andi yakin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mendengarkan aspirasi buruh. Sebabnya, PP No 36 Tahun 2021 yang digunakan sebagai patokan kenaikan upah sangatlah kecil.

Sementara itu, ia mengatakan, kondisi ekonomi buruh sangat terpukul dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kenaikan harga bahan pokok.

"Kami meminta kepada Pemerintah segera menerbitkan formula pengupahan yang baru untuk menggantikan PP No. 36 Tahun 2021," tegas Andi.

Ia melanjutkan, komunikasi intensif dengan Presiden Jokowi sudah dilakukan selama empat hingga lima bulan ini. Bukan hanya soal upah, tapi juga Omnibus Law, masa depan buruh, produktivitas, peningkatan skill, dan vokasi.

"Kami menyampaikan dasar-dasar yang logis ke Presiden Jokowi dan mudah-mudah dapat diterima. Tapi, dapat saya pastikan PP No. 36 tidak lagi dipakai sebagai formula penetapan upah," ujar Andi.

"Saya juga pastikan akan ada kabar yang sangat baik bagi buruh Indonesia terkait UMP ini," sambungnya.

Sedangkan Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, dasar hukum yang bisa digunakan jika PP No. 36 Tahun 2021 tak lagi dipakai adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permanker) yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), khusus untuk penentuan UMP 2023.

"Buruh menyarankan agar Menaker membuat Permenaker, khusus untuk kenaikan UMP 2023," kata Iqbal.

Selain itu, Iqbal mengusulkan kenaikan UMP bisa 13 persen. Ia menjelaskan, angka 13 persen tidak muncul begitu saja.

Menurutnya, daya beli buruh sudah turun 30 persen karena tidak ada kenaikan upah dalam tiga tahun ini. Belum lagi kenaikan harga BBM yang membuat inflasi tembus lebih dari 6,5 persen.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi saat ini dapat dikatakan sangat bagus di angka 5,72 persen. Oleh sebab itu, menurut Iqbal kenaikan 13 persen sangat wajar.

"Jadi, tidak masuk akal kalau kenaikan UMP di bawah nilai inflasi dengan rumus PP No. 36," pungkasnya.

Seperti yang diketahui, tenggat penetapan UMP 2023 itu harus disampaikan Pemerintah pada 20 November 2022. Namun, hingga kini belum ada keputusan dari Pemerintah terkait penetapan upah itu.

 

(Amelia Rahima Sari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar