Terkuak 6 Temuan KNKT Penyebab Sriwijaya Air SJ 182 Jatuh

Jum'at, 11/11/2022 22:00 WIB
Serpihan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dan potongan tubuh yang berhasil ditemukan Tim SAR Gabungan dikumpulkan di Dermaga JICT 2, Jakarta, Senin (11/1). Petugas KNKT juga memeriksa serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Seribu. Robinsar Nainggolan

Serpihan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dan potongan tubuh yang berhasil ditemukan Tim SAR Gabungan dikumpulkan di Dermaga JICT 2, Jakarta, Senin (11/1). Petugas KNKT juga memeriksa serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Seribu. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) telah merilis laporan akhir investigasi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di Perairan Kepulauan Seribu pada tanggal 9 Januari 2021 silam, sudah hampir dua tahun pasca insiden tersebut terjadi.


Mengutip dari berbagai sumber, KNKT menyebut terdapat sebanyak enam faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan, berdasarkan pada urutan waktu kejadian.


Apa sajakah enam faktor yang dimaksud oleh KNKT tersebut?

1. Tahapan perbaikan sistem autothrottle yang sudah dilakukan masih belum mencapai bagian mekanikal.

Melansir dari berbagai sumber, Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo, menjelaskan bahwa faktor utama terkait dengan perbaikan autothrottle atau throttle otomatis yang mengalami kerusakan, tetapi masih belum dilakukan perbaikan secara menyeluruh.

2. Terkuak bahwa thrust lever kanan tidak mundur sesuai dengan permintaan autopilot. Hal tersebut karena adanya hambatan di bagian sistem mekanikal, oleh karenanya thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur, sampai akhirnya terjadi asymmetry.

3. Adanya keterlambatan CTSM atau cruise thrust split monitor sebagai alat untuk menonaktifkan autothrottle pada saat asymmetry disebabkan karena flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah. Hal tersebut berakibat pada asymmetry yang semakin besar.

4. Complacency pada otomatisasi dan confirmation bias mungkin saja berakibat kurangnya monitoring. Sebagai penyebabnya, adanya asymmetry tidak disadari dan penyimpangan arah penerbangan.

Diketahui adanya dugaan bahwa pilot percaya pada otomatisasi atau dikenal dengan istilah complacency. Hal tersebut berakibat pilot kurang melakukan monitoring terhadap apa yang terjadi di kokpit. Nurcahyo menyebut bahwa pilot berasumsi pesawat miring ke kanan, padahal pesawat miring ke kiri.

5. Pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke arah kanan. Sementara itu, kemudi miring ke kanan dan kurangnya monitoring mungkin menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan. Oleh karenanya, pemulihan tidak sesuai.

6. Belum adanya aturan serta panduan tentang adanya upset prevention and recovery training (UPRT) yang kemudian berpengaruh pada proses pelatihan oleh maskapai untuk menjamin kemampuan, serta pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan atau recovery kondisi upset secara efektif dan tepat waktu terkait dengan kondisi kemiringan pesawat.

Lebih lanjut, Nurcahyo menjelaskan bahwa seluruh pihak telah melakukan tindakan keselamatan (safety action) sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan.

Diketahui, Dirjen Perhubungan Udara bahkan telah melakukan inspeksi khusus pada seluruh pesawat Boeing 737-300/400/500.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar