Didik J. Rachbini Ekonom INDEF & Rektor Paramadina

Hadapi Krisis Ekonomi, Masyarakat Harus Berhemat

Rabu, 09/11/2022 14:58 WIB
Ekonom Senior Didik Rachbini (Swa)

Ekonom Senior Didik Rachbini (Swa)

Jakarta, law-justice.co - Siapa yang tidak kenal dengan nama ekonom senior Profesor. Didik Junaidi Rachbini. Rektor yang juga ekonom ini dikenal kritis terhadap kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah.

Didik J. Rachbini juga pernah berkecimpung di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahkan dirinya pernah mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 untuk mendampaingi Hidayat Nur Wahid.

Berbicara soal ekonomi dari hulu ke hilir Prof. Didik. J Rachbini sudah kelotokan alias di luar kepala. Analisa kebijakan ekonominya banyak digunakan dan jarang sekali meleset.

Ketika berbincang dengan Jurnalis Law-Justice.co, Didik J. Rachbini lebih banyak berbincang soal dampak ekonomi dan analisa ekonomi di tahun 2023. Hal itu terkait dampak ekonomi global pasca covid-19 dan juga akibat perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.

Banyak negara-negara di Asia Tenggara sudah mengalami inflasi tinggi dan mengakibatkan pemerintahannya roboh. Lantas bagaimana dengan ekonomi Indonesia di tahun 2023?

Prof. Didik J. Racbini menjawab dan memberikan analisanya. Kata dia, masyarakat harus berhemat untuk mengantisipasi adanya resesi yang diprediksi beberapa kalangan akan terjadi di tahun 2023.

"Dampaknya ya besar. Satu Covid, sudah tahu semua. Kedua, perang Ukraina-Rusia. Ketiga, ekonomi China turun ke level 34%, sebelumnya 79%. Semua itu berdampak, termasuk kepada kita. Untuk sementara, kita mendapatkan durian runtuh. Harga batubara, harga sawit, harga barang komoditas yang diekspor itu kan cukup bagus. Nah, ini tidak boleh boros, harus dipertahankan ketika nanti, bahkan sampai sekarang, harga-harga itu turun. Kelapa sawit kan sudah tinggal 1.000 sekarang, dari 1.700-1800. berhemat, untuk masyarakat berhemat. Tidak perlu ekspansi besar-besaran, berhemat itu yang paling penting," ungkapnya.

Dalam data Regional Economic Outlook Asia and Pasific IMF edisi Oktober 2022, menyebutkan Indonesia masuk dalam tiga besar dengan sovereign borrowing costs atau bunga pinjaman Indonesia terlalu besar. Indonesia disejajarkan dengan Bangladesh, dalam besaran sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun dalam local currency yield.

Risiko krisis ekonomi dan resesi tetap mengintai Indonesia, meskipun kondisinya berbeda dengan Sri Lanka. "Indonesia dengan Srilanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan, jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras," ujarnya dalam acara diskusi online dengan tema "Ketahanan Indonesia di Tengah Ancaman Krisis".

Rektor Universitas Paramadina ini juga bilang bahwa, Indonesia bersyukur ada dalam kondisi pangan masih tercukupi dan harganya relatif terjangkau. Dari hasil penelitiannya bersama INDEF, dia memperkirakan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia tidak separah tahun 1998 karen ada beberapa poin yang menguntungkan ekonomi nasional.

"Enggak, penelitian saya dengan teman-teman di Indef itu tidak menunjukkan begitu. Masyarakat relatif biasa-biasa saja dalam diskusi-diskusi di media sosial. Jadi tidak banyak, hanya sedikit yang khawatir terhadap krisis. Karena apa? Karena pangan relatif tercukupi, harga relatif terkendali walaupun naik. Dibandingkan Sri Lanka, Pakistan, Turki, Argentina, itu nggak ada apa-apa kenaikan kita. Jadi, masyarakat tidak merasa bahwa ini akan hancur seperti `98. Enggak," ujarnya.

Dia pun mengomentari soal pandangan Menteri Ekonomi Sri Mulyani soal potensi krisis ekonomi karena dampak resesi dunia. Menurut dia, apa yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya sebagai peringatan agar seluruh stake holder bisa mengambil langkah antisipasi untuk memperkuat ekonomi di seluruh sektor.

" Kemenkeu itu kan kayak dokter, `oh penyakitmu banyak, besar, gede` gitu kan? Pasiennya takut. Kayak dokter kan kita nggak ngerti, masyarakat awam tidak mengerti detailnya, dia tahunya harga-harga naik apa enggak, orang-orang nganggur apa enggak. Nah, ini relatif kita terkena dampaknya juga. Tetapi, tidak seperti negara-negara sebelah, ya relatif bisa dikendalikan, tidak akan jungkir balik kayak `98," jelasnya yang juga pernah menjadi aktivis di Partai Amanat Nasional.

" Bukan fundamental, dikasih oleh Tuhan, dikasih rezeki. Kebijakannya ya nggak begitu. Tapi, kan Tuhan memberikan sayang untuk Indonesia," tambahnya.

Lantas bagaimana soal stabilitas di tahun politik pada tahun 2023 dan 2024 yang berpotensi membuat ekonomi makin kisruh dan krisis seperti 1998?

"Ya kalau tidak stabil, yang kaya ngeluarin duit jadi konsumsinya naik. Kan bagus. Bikin bendera, bikin program di sosial media, bikin program tv, iklan ini, nambah dong. Ekonominya ketarik kan bagus, asal stabilitasnya baik, tidak berkelahi satu sama lain. Ya nggak usah lah, nggak usah galau," tegasnya.

Prof Didik J. Racbini mengibaratkan krisis ekonomi global yang terjadi di dunia termasuk di Asia Tenggara seperti fenomena angin ribut. Kata dia, dampak angin ribut pasti akan mengenai sekitarnya. Namun apakah berdampak parah, menurutnya itu yang harus dipersiapkan pemerintah dengan menjaga agar ekonomi masyarakat bisa berjalan normal.

Apakah Pemerintah Siap Hadapi Krisis Ekonomi?
Analisis yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, dalam diskusi bertajuk "Ketahanan Indonesia di Tengah Ancaman Krisis" yang disiarkan kanal Youtube Forum Insan Cita.

Dijelaskan Didik, kemampuan pemerintah dalam menangani krisis bisa diukur dari penanganan krisis multidimensi akibat Covid-19 yang terjadi selama dua tahun belakangan.

"Pemerintah tidak bisa lari dari dampak krisis Covid, krisis multidimensi yaitu kesehatan dan ekonomi. Ini kebijakan yang tidak karuan," ujar Didik.

Berkaca dari penanganan yang dilakukan pemerintah dari ancaman krisis multidimensi akibat Covid-19, Didik tidak begitu yakin kejadian politik yang menimpa Sri Lanka hingga krisis ekonomi di Amerika Serikat sekarang ini bisa menimpa Indonesia.

"Itu (dari pengalaman penanganan krisis multidimensi Covid-19) artinya pemerintah tidak punya kapabilitas yang baik dalam merespon krisis," imbuhnya menegaskan.

Karena itu, Ketua Dewan Pegurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini melihat adanya keterkaitan antara kemampuan menghalau ancaman krisis dengan pola kerja dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan.

"Kapasitas kebijakan bisa menjadi bagian dari masalah ekonomi. Kapasitas kebijakan pemerintah yang tidak teknokratis, tidak prima seperti mesin yang kalau kinerjanya boros, jelek, maka kinerjanya jelek juga," papar Didik mengilustrasikan pemerintahan saat ini.

Untuk memperoleh kebijakan yang andal dalam menghalau hingga mengatasi krisis yang ada, pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini memandang perlu adanya kemampuan teknokratis dari tim kabinet yang bekerja di pemerintahan.

Biografi
Prof. Dr. Didik Junaidi Rachbini yang lahir dari pasangan Rachbini dan Djumaatijah di Pamekasan, Madura pada tanggal 2 September 1960 adalah seorang akademisi, pengajar dan ekonom yang telah banyak menulis buku, makalah dan artikel di berbagai media massa.

Didik, panggilan akrabnya, juga merupakan tokoh Partai Amanat Nasional yang menjabat sebagai anggota DPR RI untuk masa bakti 2004-2009. Didik menyelesaikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atasnya di Pamekasan.

Sebenarnya saat remaja, Didik memiliki mimpi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mengambil ilmu pertambangan.

Namun hal itu tidak dia lakukan. Dia justru masuk ke Institut Pertanian Bogor dan lulus di tahun 1983. Setelah menyelesaikan seluruh studinya hingga jenjang S3 pada tahun 1991, Didik mengabdikan dirinya untuk menjadi pengajar di beberapa universitas hingga akhirnya dia dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana dan selanjutnya ditunjuk untuk menjabat sebagai Pembantu Rektor I, Universitas Mercu Buana sejak 1997.

Didik mulai memasuki dunia politik pada tahun 1998 ketika dia diangkat menjadi Anggota MPR Utusan Golongan. Kala itu, Didik mewakili Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Setahun kemudian pada tahun 1999, setelah terpilihnya dia sebagai anggota MPR, Didik memutuskan untuk bergabung dengan Partai Amanat Nasional. Dia bergabung sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) sebelum akhirnya dia menjadi Ketua DPP Partai Amanat Nasional untuk periode jabatan tahun 2000 hingga tahun 2005. Pada pemilihan umum tahun 2004, Didik terpilih menjadi anggota DPR mewakili daerah pemilihan Batu dan Malang, Jawa Timur.

Dia menjadi anggota DPR RI hingga tahun 2009. Pada tahun 2012 ini, Didik kembali muncul di dunia politik dengan turut meramaikan bursa pemilihan kepala daerah.

Bersama dengan Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sosial, Didik mencalonkan dirinya untuk maju sebagai Gubernur Jakarta.

Pendidikan
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Pamekasan, Madura
S1 Institut Pertanian Bogor (1983)
S2 Studi Pembangunan, Central Luzon State University, Filipina (1988)
S3 Studi Pembangunan, Central Luzon State University, Filipina (1991)

Karir
Ketua HMI Cabang Bogor (1982-1983)
Ketua Pengurus besar HMI (1984-1985)
Pengurus Pusat ICMI (1995-2000)
Pengurus Pusat HA IPB (1998-2003)
Pengurus Pusat PERHEPI (1997-2001)
Anggota ISEI (1990-sekarang)
Anggota KKPU (1999-2003)
Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Nasional (1998-2003)
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (2000-2005)
Cawagub Pilkada DKI Jakarta 2012 mendampingi Hidayat Nur Wahid.

Buku :
Ekonomi Politik Utang, INDEF, Jakarta (2001)
Politik Pembangunan: Pemikiran ke Arah Demokrasi Ekonomi, LP3ES, Jakarta (1990)
Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta (1999)
Politik Ekonomi: Paradigma, Teori, dan Perspektif Baru, CIDES-INDEF, Jakarta (1996)
Risiko Pembangunan yang Dibimbing Utang, Grasindo, Jakarta (1995)
Employment and Income Distribution in Rural West Java, LP3ES, Jakarta (1995)
Politik Deregulasi dan Agenda Kebijakan Ekonomi, Infobank, Jakarta (1994)

 

(Yudi Rachman\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar