Laporan Lengkap Investigasi KNKT soal Kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182

Kamis, 03/11/2022 21:29 WIB
Pesawat Boeing 737-500 yang digunakan Sriwijaya Air untuk penerbangan berkode SJY 182. (Kompas).

Pesawat Boeing 737-500 yang digunakan Sriwijaya Air untuk penerbangan berkode SJY 182. (Kompas).

Jakarta, law-justice.co - Terkait kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ182 yang terjadi pada 9 Januari 2021, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memaparkan hasil investigasi mereka.

Hasil investigasi itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi V DPR, Kamis (3/11).

Turut hadir dalam rapat Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Novie Riyanto dan Direktur Utama Sriwijaya Air, Anthony Raimond Tampubolon.

Sementara, Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam paparannya menyampaikan enam penyebab jatuhnya pesawat jenis Boeing 737-500 dengan registrasi PK-CLC tersebut.

Pertama, perbaikan sistem auto-throttle belum sampai bagian mekanikal. Diketahui, throttle adalah tuas untuk mengatur tenaga yang dikeluarkan mesin di pesawat.

Menurutnya, hasil investigasi mengungkap bahwa kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 disebabkan kerusakan pada bagian mekanikal, bukan pada sistem komputer pesawat.

Kedua, thrust lever kanan tidak berfungsi setelah ada permintaan autopilot dari cockpit. Nurcahyo mengatakan kondisi itu terjadi akibat gangguan pada sistem mekanikal.

Akibatnya, thrust lever kiri mengompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri atau perbedaan antara tenaga mesin sebelah kiri dan kanan.

"Thrust lever kanan tidak mundur seusai permintaan autopilot karena hambatan pada sistem mekanikal dan thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri," katanya.

Ketiga, Cruise Thrust Split Monitor (CSTM) terlambat memutus auto-throttle pada saat pesawat terjadi asimetri. Menurut Nurcahyo, setelah asimetri, CTSM mestinya bisa menonaktifkan auto-throttle.

Namun, yang terjadi justru CTSM terlambat menonaktifkan auto-throttle sehingga pesawat mendadak berbelok ke kiri.

Keempat, pilot terlalu percaya pada sistem otomatisasi. Akibatnya, pilot kurang memonitor instrumen pengendalian pesawat yang menyebabkan pesawat kehilangan kendali.

Kelima, akibat hilangnya kendali pilot, pesawat secara mendadak berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan. Sementara, kata Nurcahyo, pilot masih menyadari pesawat masih dalam kendali dan masih berbelok ke kanan.

"Kemudi miring ke arah kanan dan karena kurangnya monitor menimbulkan asumsi bahwa pesawat belok ke kanan sehingga tindakan pemulihannya tidak sesuai," jelasnya.

Keenam, kecelakaan Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak terjadi akibat belum ada panduan mengenai upset prevention and recovery training (UPRT) yang mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai terhadap pilot.

Nurcahyo menjelaskan, upset adalah kondisi di mana pesawat mengalami posisi yang tidak diinginkan: naik terlalu tinggi, menukik terlalu tajam atau berbelok terlalu besar.

Rekomendasi KNKT

Dengan sejumlah temuan itu, KNKT memberikan rekomendasi kepada PT Sriwijaya Air buntut kecelakaan salah satu maskapainya itu.

Pertama, KNKT meminta Sriwijaya berkonsultasi dengan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub untuk merevisi prosedur penerbangan, dan meminta NTO (no technical objection) dari pabrikan pesawat udara sebelum melakukan perubahan prosedur tersebut.

Kedua, meningkatkan jumlah pengunduhan data dalam Flight Data Analysis Program (FDAP) untuk peningkatan pemantauan operasi penerbangan.

Terakhir, KNKT meminta Sriwijaya Air untuk mengingatkan pelaporan bahaya (hazard) dini kepada seluruh pegawai.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar