Rezim Taliban Larang Perempuan Kuliah Ambil Jurusan Jurnalistik

Senin, 24/10/2022 09:00 WIB
Protes perempuan Afghanistan (Reuters)

Protes perempuan Afghanistan (Reuters)

Afghanistan, law-justice.co - "Saya mengikuti ujian masuk dengan banyak harapan. Tetapi ketika saya melihat kertas seleksi, saya tidak menemukan jurusan favorit saya," kata Fatima sambil menangis.

Fatimah (Bukan nama asli) berusia 19 tahun itu adalah mahasiswa dari Provinsi Laghman di Afghanistan timur.


Impian Fatima untuk mengejar karier di bidang jurnalistik terancam karena tatanan baru yang diterapkan penguasa Taliban di negara itu.

Setahun setelah melarang sebagian besar remaja perempuan untuk bersekolah, Taliban memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap jurusan di universitas yang bisa mereka ambil.

"Saya bermimpi menjadi jurnalis. Saya ingin bekerja di radio dan TV. Saya ingin memperjuangkan hak-hak perempuan," kata Fatima dilansir dari BBC.

Dia tidak bisa menyelesaikan tahun terakhirnya di sekolah karena anak-anak perempuan Afghanistan dilarang masuk sekolah menengah oleh Taliban setelah mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021.

Kelompok militan itu mengatakan "lingkungan Islam" yang benar perlu diciptakan untuk remaja-remaja perempuan yang lebih tua, supaya mereka bisa diizinkan kembali ke sekolah.

Tetapi, lebih dari setahun setelah mereka kembali berkuasa, hal itu masih belum terwujud di sebagian besar provinsi, dengan laporan menunjukkan kelompok garis keras di dalam tubuh Taliban masih menentangnya.


Taliban memang membuat keputusan bahwa perempuan-perempuan yang berada di tahun terakhir sekolah juga bisa mengikuti ujian masuk universitas.

Namun, kegembiraan Fatima tidak berlangsung lama.

Konsesi Taliban membatasi jurusan yang dapat dipilih oleh para perempuan.

Misalnya, di Universitas Nangarhar, di mana Fatima berharap bisa belajar jurnalistik, di provinsi tetangganya, para perempuan sekarang diberi hak untuk memilih hanya tujuh dari 13 fakultas.

Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil jurusan seperti jurnalisme, pertanian, kedokteran hewan, teknik, atau ekonomi.

"Sekarang, semua harapan mereka hilang," kata Fatima, merujuk pada perempuan lainnya yang akan melanjutkan studi di bidang ini jika mereka lulus ujian masuk.

Dia dan yang lainnya diberi pilihan untuk mengikuti tes di jurusan seperti keperawatan, kebidanan, maupun sastra, yang merupakan salah satu jurusan yang ditawarkan di tujuh fakultas yang terbuka bagi mereka di Nangarhar.

Profesor universitas yang mengawasi ujian masuk di sana mengkonfirmasi kepada BBC bahwa laki-laki akan diizinkan untuk memilih mata pelajaran apa pun yang mereka inginkan.

"Surat seleksi tidak diberikan kepada kami sebelumnya. Ketika kami - sekitar 10 anak perempuan - melihat kertas dan tidak dapat menemukan fakultas yang kami inginkan, kami semua menangis," kenang Fatima.

Pilihan untuk para perempuan bisa bervariasi dari satu universitas ke universitas lainnya, dan tergantung di bagian negara mana mereka tinggal, demikian temuan BBC.

Perempuan diperbolehkan untuk mengambil kedokteran dan keperawatan di semua provinsi, serta pelatihan guru dan studi Islam.

Namun, ilmu kedokteran hewan, teknik, ekonomi, dan pertanian tampaknya terlarang bagi perempuan di seluruh negeri, sementara kesempatan untuk mempelajari jurnalisme sangat terbatas.

Ini merupakan perjalanan yang berat bagi Fatima dan teman-temannya. Karena sekolah ditutup, mereka harus mempersiapkan diri untuk masuk universitas di rumah.

Fatima pun membuat kelompok-kelompok belajar dengan para perempuan lainnya.

"Di daerah kami tidak ada kesempatan untuk mengambil kelas di universitas. Semuanya ditutup."


Para pejabat memperkirakan 100.000 siswa (termasuk 30.000 perempuan) akan mengikuti ujian masuk universitas di Afghanistan tahun ini.

Tahun akademik dimulai pada Maret atau Agustus, dan biasanya membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan untuk mengumumkan hasil ujian masuk.

Sekarang, setelah Taliban kembali berkuasa, tidak ada yang yakin kapan hasil ujian masuk akan dirilis.

Siswa laki-laki dan perempuan telah mengikuti ujian secara terpisah - sesuai dengan aturan Taliban tentang pemisahan siswa berdasarkan jenis kelamin - misalnya anak laki-laki di pagi hari, anak perempuan di sore hari, atau dengan menggunakan pembatas ruangan.

Di beberapa provinsi di mana jumlah kandidat tinggi, ujian masuk diadakan selama dua atau tiga hari.

Aktivis mengatakan jumlah siswa perempuan yang mendaftar ke universitas akan turun secara drastis di tahun-tahun mendatang, kecuali jika Taliban membuka kembali sekolah menengah untuk anak perempuan dari kelas enam hingga 12.

Tahun lalu di provinsi Laghman, hampir 1.200 anak perempuan mengikuti tes, sementara tahun ini jumlahnya turun menjadi hanya 182 anak perempuan.


Para pejabat Taliban meremehkan pembatasan itu.

Abdul Qadir Khamush, Kepala Divisi Ujian di Kementerian Pendidikan Tinggi, mengatakan anak perempuan dapat memilih mata kuliah favorit mereka, kecuali hanya tiga atau empat.

"Kami perlu menyediakan kelas terpisah untuk perempuan. Di beberapa daerah jumlah calon perempuan rendah. Jadi kami tidak mengizinkan perempuan untuk melamar mata kuliah tertentu."

Para pejabat belum mengungkapkan jumlah universitas yang dibuka tahun ini.

Sektor pendidikan Afghanistan sangat terpengaruh setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Para akademisi terlatih melakukan eksodus setelah penarikan pasukan AS tahun lalu.

Perekonomian negara itu sebagian besar bergantung pada bantuan asing dalam beberapa dekade terakhir, tetapi badan-badan bantuan telah sebagian - dan dalam beberapa kasus sepenuhnya - menarik dukungan ke sektor pendidikan, setelah Taliban menolak untuk mengizinkan anak perempuan masuk ke semua sekolah menengah.

Banyak staf pengajar yang belum digaji selama berbulan-bulan.

Pembatasan Taliban terhadap mata kuliah yang bisa diambil para anak perempuan tidak selalu diterapkan secara seragam di seluruh negeri, demikian temuan BBC.

Misalnya, di Universitas Kabul, perempuan masih diperbolehkan mengikuti beberapa mata kuliah di fakultas jurnalistik.

Namun, Fatima tidak bisa menghindari aturan dengan mendaftar ke universitas di tempat-tempat yang jauh dari ibu kota.

Taliban telah membagi negara itu menjadi beberapa zona dan anak perempuan tidak diizinkan untuk belajar di luar zona mereka, yang merupakan pembatasan yang sangat serius berdasarkan jenis kelamin.

"Saya hanya bisa mempelajari apa yang mereka tawarkan kepada saya. Saya tidak punya pilihan," kata Fatima, meski dia belum menyerah pada mimpinya.

"Jika pemerintah mengubah kebijakannya tahun depan, saya akan memilih jurnalisme."

Tetapi jika itu tidak terjadi, Fatima dan anak-anak perempuan lain yang bernasib sama seperti dia tidak akan punya pilihan selain mempelajari apa yang diberikan Taliban jika mereka ingin kuliah.

Bagi puluhan ribu remaja perempuan yang saat ini ditolak pendidikan menengah, bahkan pilihan itu mungkin tidak terbuka di masa depan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar