Polisi Intimidasi Keluarga Korban Kanjuruhan yang Ajukan Autopsi

Selasa, 18/10/2022 16:37 WIB
Suporter Arema FC, Aremania masuk kedalam area dalam stadion yang menyebabkan kerusuhan usai laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1 2022 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022). Puluhan orang meninggal dalam tragedi ini. Arema FC kalah melawan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3. Foto: Tunggadewi

Suporter Arema FC, Aremania masuk kedalam area dalam stadion yang menyebabkan kerusuhan usai laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1 2022 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022). Puluhan orang meninggal dalam tragedi ini. Arema FC kalah melawan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3. Foto: Tunggadewi

Jakarta, law-justice.co - Keluarga korban Tragedi Kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang mengajukan permohonan autopsi disebut mengalami intimidasi oleh aparat kepolisian.

Pendamping Hukum Tim Gabungan Aremania, Andy Irfan mengatakan, dia dipaksa mencabut permohonan autopsi itu.

Dia menyebut mulanya seorang anggota keluarga korban sudah bersedia agar jenazah dua anaknya yang meninggal di Kanjuruhan diautopsi.

"Itu atas nama Mas D, ayah dari dua korban tadinya sudah bersedia dan membuat pernyataan kesediaan untuk autopsi atas dua anaknya," kata Andy yang juga Sekjen Federasi Kontras, Selasa (18/10).

Ternyata setelah permohonan itu dilayangkan, rumah D didatangi sejumlah aparat kepolisian, rama-ramai. Hal itu berlangsung hingga berhari-hari.

"Ternyata setelah surat itu diketahui kepolisian, justru kemudian sejumlah personel polisi, pernyataan dari rumah beliau dan keluarga, itu menyatakan ada polisi polres, polda dan Mabes Polri datang berhari-hari, ramai-ramai," ucapnya.

Para polisi yang mendatangi rumah D itu kemudian meminta keluarga korban untuk membatalkan autopsi.

Andy mengatakan meski tak disertai dengan ancaman atau aksi kekerasan, keluarga korban tetap merasa terancam dan terintimidasi.

"Pada intinya menyarankan Mas D untuk mencabut surat untuk autopsi. Walaupun tidak ada intimidasi yang mengarah kekerasan, kehadiran aparat polisi dengan jumlah lumayan banyak ke lokasi rumah itu menimbulkan keresahan dan kepanikan keluarga," ujarnya.

Hingga akhirnya, oleh sejumlah aparat kepolisian, D pun didikte untuk membuat surat pencabutan permohonan autopsi kedua anaknya.

"Akhirnya kemarin siang Mas D didikte untuk membuat surat pernyataan yang isinya membatalkan rencana autopsi. Padahal beliaunya mau, terus didesak oleh aparat keamanan di lapangan, terus keluarga merasa diintimidasi dan merasa enggak aman, akhirnya pernyataan kesediaan itu dicabut," ucapnya.

Andy pun menyayangkan aksi itu. Menurutnya, mendatangi rumah korban dengan beramai-ramai sampai berhari-hari merupakan bentuk intimidasi ke keluarga korban.

Dia pun mendesak kepolisian terbuka soal upaya autopsi tersebut.

"Seharusnya polisi membuka siapa yang diautopsi, benar atau tidak," katanya.

Terpisah, orang tua korban, D, tak mau berkomentar soal intimidasi pencabutan permohonan autopsi dua anaknya itu.

Dia hanya berharap Allah membalas segala perlakuan yang dialaminya dan keluarganya.

"Biar baju korban jadi buktinya. Dan azab Allah yang membalas," kata D.

Disisi lain, Kabid Dokkes Polda Jatim, Kombes Pol dr Erwinn Zainul Hakim mengatakan saat ini sudah ada dua jenazah korban Tragedi Kanjuruhan, yang keluarganya mengajukan proses autopsi.

Dia menyebut proses autopsi yang melibatkan dokter-dokter dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) itu akan dilakukan dengan cara ekshumasi. Prosesnya yakni dengan penggalian makam korban, dan pemeriksaan langsung dilakukan di tempat.

"Kami dapat informasi, dapat perintah, memang ada dua pihak keluarga yang sudah sepakat setuju melaksanakan autopsi," kata Erwinn, di Mapolres Malang, Kamis (13/10).

Hingga kini, total korban meninggal dunia atas Tragedi Kanjuruhan berjumlah 133 orang. Sementara korban luka mencapai 575 orang.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar