KPPU Soroti Google, Diduga Monopoli Buat Startup Tercekik

Rabu, 12/10/2022 08:36 WIB
Google Indonesia (net)

Google Indonesia (net)

Jakarta, law-justice.co -
Google sedang disorot oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) karena diduga menerapkan kebijakan monopoli. Pelaku di industri startup teknologi di Indonesia bercerita tentang komisi mencekik yang diambil Google untuk aplikasi tertentu di Play Store.


Salah seorang eksekutif di startup Indonesia menjelaskan bahwa Google mewajibkan penggunaan sistem Google Pay Billing (GPB) pada aplikasi tertentu. GPB merupakan sistem pembelian produk atau layanan di dalam aplikasi atau in-app purchase.


Google membebankan tarif layanan pada aplikasi 15-30 persen dari pembelian dengan sistem GPB dan hal ini wajib serta melarang penggunaan opsi bayar lain.

Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa aturan tersebut dibuat secara global, dengan presentasi yang bervariasi di setiap negara.

"Revenue yang diperoleh oleh perusahaan tersebut 1 juta dolar maka komisi yang diambil 15 persen," ujarnya. "Dan ketika revenue di atas 1 juta dolar, revenue yang setelah 1 juta, jadi kalau misalnya revenue 5 juta berarti yang 4 juta masuk ke 30 persen dari nilai transaksi," imbuhnya.

Aturan ini, menurutnya sangat merugikan baik dari sisi industri maupun konsumen. Industri dibebankan oleh biaya yang mencekik, padahal banyak dari aplikasi yang terkena aturan ini hanya punya margin di bawah 30 persen.

Dari sisi konsumen, mereka harus membayar biaya yang seharusnya tidak perlu ada.

"Beban yang diberikan kepada industri, akhirnya yang terjadi player naikin harga, dan itu sudah kelihatan dari semua lah. Akhirnya konsumen mesti bayar sesuatu yang mereka enggak perlu bayar," tuturnya.


Menurut sumber tersebut, Google menggunakan kekuatan pasar yang mereka miliki untuk memaksa aplikasi yang ada di PlayStore mengikuti aturan yang tidak lazim.

Meski kini Google memberikan opsi pembayaran di luar ekosistemnya, tetap saja mereka menarik biaya tambahan di setiap transaksi. Ujungnya, perusahaan yang menggunakan payment gateway lain malah membayar lebih banyak karena harus membayar ke dua pihak, yaitu Google dan payment gateway alternatif.

"Tapi ini sebenarnya agak akal-akalan menurut kita. Kami mesti bayar lagi ke Google. Sama kayak metode yang tadi dengan rate yang sebelumnya minus 4%," ia menjelaskan.

"Jadi kalau kita masuk kategori 15% kita bayarnya jadi 11%, kalau kita bayar 30% jadi 26%. Di mana kalau 26% ditambah payment gateway tambah biaya lain-lain itu mungkin udah 28-29%. Jadi tetap mencekik."

"Ya itu akal-akalan mereka supaya seolah-olah mereka memberikan alternatif. Mereka memberikan alternatif tapi tetap mengikat kita, ya sama aja."

Selain itu, Google mengaku hanya 3 persen dari seluruh aplikasi di Play Store yang dibebankan biaya tambahan ini. Namun menurut sumber yang mengetahui hal ini, 3 persen yang harus membayar adalah perusahaan yang bersaing dengan produk Google.

Sudah mengadu ke pemerintah


Praktik Google Pay Billing (GPB) pada aplikasi tertentu ini lah yang menjadi sorotan KPPU. Menurut KPPU, Google membebankan tarif layanan pada aplikasi 15%-30% dari pembelian dengan sistem GPB dan hal ini wajib serta melarang penggunaan opsi bayar lain.

Google telah merilis pernyataan soal langkah KPPU membuka penyelidikan atas aktivitas bisnis mereka di Indonesia.

"Kami berharap dapat bekerja sama dengan KPPU untuk menunjukkan bagaimana Google Play telah dan akan terus mendukung para developer Indonesia," kata perwakilan Google dalam keterangan resmi yang diterima.


Menurut perwakilan Google, perusahaan memastikan memberikan akses ke berbagai alat untuk pengembang asal Indonesia. Yakni dalam rangka mereka bisa mengembangkan aplikasi serta bisnisnya dan mendukung pengembang bisa terus berkembang.

Seorang eksekutif dari startup di Indonesia berharap agar KPPU bisa menemukan jalan keluar. Para pelaku industri digital, menurutnya, sebelumnya sudah menempuh berbagai cara termasuk mengadu ke pemerintah. Namun, tidak ada tanggapan yang berarti.

"After all they are Google. Kita player sudah melakukan beberapa cara, dari B2B negotiation, udah ke pemerintah juga. [Tapi], ya susah," jelasnya. "Semua laporan itu udah dikasih, maksudnya, kenapa [aturan] Google merugikan, akhirnya masih mandek."

Menurutnya, jika tidak dibahas lebih lanjut, dampaknya bisa makin besar ke ekosistem digital di tanah air. Saat ini, memang hanya 3 persen yang dikenakan aturan ini, tapi bisa saja meluas ke depannya.

"Mungkin bagi pemerintah ini bukan prioritas, kan soalnya yang pemain besar-besar enggak kena ya. Kalau mungkin mereka kena mungkin semua orang jadi gerah. Cuma ini yang kecil-kecil justru yang kasihan," pungkasnya.

Aturan komisi 15%-30% yang ditetapkan Google hanya berlaku ke beberapa vertikal seperti layanan berlangganan, transaksi konten, dan komputasi awan. Platform e-commerce dan layanan on-demand seperti transportasi online atau pesan antar makanan tidak dikenai pungutan serupa.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar