Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch (IPW)

Ketidakpercayaan Rakyat Harus Dijawab dengan Reformasi Total Polri

Rabu, 05/10/2022 00:01 WIB
Potret Ketua IPW sekaligus pengacara Sugeng Teguh Santoso saat diwawancarai Law Justice pada Rabu, 21 September 2022 (Foto: law-justice.co)

Potret Ketua IPW sekaligus pengacara Sugeng Teguh Santoso saat diwawancarai Law Justice pada Rabu, 21 September 2022 (Foto: law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Nama Sugeng Teguh Santoso sering berseliweran di media massa belakangan ini, terutama karena lantang bersuara terkait kasus Brigadir J yang menyeret eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo. Ternyata ia sudah tiga puluh tahun malang melintang membela suara rakyat tertindas.

Sugeng, begitulah ia disapa, adalah Ketua IPW atau Indonesia Police Watch sekaligus seorang pengacara. Jauh sebelum itu, ia dan keluarganya pernah mengalami penggusuran.

Namun, justru itulah yang menjadi titik balik hidupnya. Ia yang mulanya ingin menjadi ahli komputer, malah ingin berprofesi sebagai pembela rakyat miskin. “Tahun 1985 itu rumah kami di Mangga Dua, Jakarta digusur. Berubah pikiran saya, saya harus berprofesi yang bisa membela rakyat miskin,” kata Sugeng pada Law Justice, Rabu lalu (21/9/2022).

“Karena keluarga kami kan tinggal di pemukiman miskin, ketika digusur tidak ada yang membela. Itulah yang membuka spirit saya menjadi pengacara,” imbuhnya. Pada waktu itu, Sugeng telah lulus SMA. Lalu, orang tuanya memberikan uang Rp 100 ribu.

Ibunya mengatakan, kalau kamu (Sugeng) mau kuliah, pakai uang 100 ribu ini, kalau tidak bisa kuliah, kamu pakai untuk modal jualan rokok (asongan). Sugeng lantas menggunakan sebagian uang itu untuk membeli formulir Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Ia pun diterima masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

“Setelah kuliah saya harus kerja untuk mencukupi kebutuhan. Waktu kuliah saya kerja segala macem lah,” kata Sugeng mengenang masa lalu.

Advokat pro rakyat dan pembela rakyat miskin

Sebelum mendapat gelar Sarjana Hukum, Sugeng magang di lembaga bantuan hukum, yaitu LBH Jakarta. Di sinilah ia mendapatkan pengalaman keberpihakan pada rakyat kecil.

Salah satu kasus yang paling berkesan adalah saat ia membela pedagang asongan yang ditangkap Satpol PP pada sekitar tahun ’90-an. Pedagang asongan itu masih anak-anak, usianya sekitar 12 - 13 tahun.

Ia ditangkap karena berjualan di lampu merah, sehingga dianggap melanggar Perda Ketertiban Umum. Pada waktu itu, para pedagang asongan memang banyak yang ditangkap.

Hal itu supaya jalanan menjadi ‘bersih’. Setelah ditangkap, mereka akan disidang di Polres-polres.

“Sidangnya tidak seperti sidang-sidang biasanya. Ditanya ‘kamu berjualan di jalan nggak? Ngaku bersalah nggak?’, langsung diketok,” ujar Ketua IPW itu.

Setelah dinyatakan bersalah, pedagang asongan lantas disuruh membayar denda sekitar Rp 4 ribu, jika tidak maka akan ditahan selama tiga hari. Nah, pedagang asongan cilik yang dibela Sugeng tidak punya uang untuk membayar denda.

“Jadi, karena nggak punya uang ditarik dia, mau dimasukkan ke sel. Saya karena masih muda kan, saya pegang, jadi tarik-tarikan. ‘Nggak boleh pak, ini masih di bawah umur!’,” kata pria berusia 56 tahun itu.

Sugeng melanjutkan, waktu itu ia merefleksikan pedagang asongan cilik itu. Jika tidak bisa kuliah, maka ia akan jualan asongan seperti pedagang itu.

Setelah lama berdebat dengan aparat, akhirnya ketemulah jalan keluarnya. Menurut Sugeng, para aparat itu sebenarnya kasihan, tapi harus menjalani putusan pengadilan.

Akhirnya, Sugeng dan beberapa aparat patungan supaya pedagang asongan cilik itu tidak ditahan. Itulah salah satu dari sekian banyak kasus Sugeng yang ia rasa sangat berkesan.

Sementara itu, ia mendirikan kantor pengacara bernama ‘Sugeng Santoso dan Rekan’ pada 1992. Ia juga mendirikan Yayasan Satu Keadilan pada 2012. “Saya membentuk Yayasan Satu Keadilan untuk membela masyarakat miskin, masyarakat yang ditindas secara politik, ditindas karena keyakinannya. Jadi, kebebasan berkeyakinan dan beragama saya bela sampai hari ini,” papar Sugeng.

Ketua IPW yang vokal menyuarakan kebenaran

Sugeng ditunjuk menjadi Ketua IPW pada Juli 2021 lalu, meskipun ia bukan pendiri atau pengurus IPW. Menurutnya, kemungkinan ia dipilih karena konsistensinya membantu masyarakat.

“Pengurus IPW memilih saya karena saya sering membantu anggota-anggota IPW dan masyarakat yang minta bantuan ke IPW secara hukum, gratis ya. Walau tidak ada uang tetap saya bela, sampai sekarang,” ujarnya.

Sebagai Ketua IPW, Sugeng lantang bersuara membela kebenaran. Misalnya, dalam kasus Brigadir J. Ketika kasus masih gelap gulita, IPW sudah menyampaikan beberapa poin.

“Jadi, 11 juli 2022 ketika masih gelap gulita terkait kasus matinya Brigadir Yosua, IPW melansir 3 poin. Satu, perkara yang sedang terjadi penuh dengan kejanggalan. Dua, IPW meminta dibentuknya tim gabungan pencari fakta. Tiga, nonaktifkan Sambo,” kata dia.

Ia jugalah salah satu orang yang vokal menuntut audit Satgasus Merah Putih serta pengusutan Konsorsium 303. Tak hanya vokal terhadap kasus Sambo, ia juga menyoroti hal lain seperti tragedi Kanjuruhan yang terjadi Sabtu lalu (1/10/2022).

Diintai saat kawal kasus Brigadir J

Ancaman bukan hal baru bagi Sugeng dan pada Juli lalu, mengaku sempat diintai. Pada saat itu, ia tengah mengawal kasus pembunuhan Brigadir J. “Saya mendapat informasi adanya potensi pengintaian tiga minggu lalu, kemudian menjadi nyata pada seminggu yang lalu,” kata dia dalam salah satu program di stasiun televisi swasta.

Ia mendapatkan informasi dari tiga orang yang berbeda, namun ketiganya mengatakan hal yang sama. “Padahal di dalam alat komunikasi saya tidak ada ancaman. Tapi mereka mengatakan ada tim yang sedang melingkari Pak Sugeng, jadi hati-hati", jelas Sugeng.

Meski begitu, ia mengaku tak menyerah dan tetap semangat mengawal kasus. Menurutnya, Tuhan akan memberikan perlindungan. “Kayak hari ini kan saya mau dilaporin ke polisi oleh RBT (Robert Priantono Bonosusatya). Nah, itu bagaimana sikap saya? Saya harus terbuka, jujur, kalau ada kekeliruan saya harus mengakui,” ujar pria kelahiran Semarang itu.

Ia mengatakan, siap bila memang dilaporkan. Proses hukum itu harus ia jalani. “Hidup ini mengalir seperti kehendak Tuhan. Dijalani saja,” kata dia. Hal yang mendasari semangatnya adalah prinsip keimanan yang ia anut. Sebagai murid Kristus, ia sudah diberikan berkat keselamatan jiwa raga.

“Oleh karena itu saya harus mengucapkan terima kasih sama Tuhan dengan berbuat baik. Dengan wujudnya apa? Ya pelayanan di masyarakat,” tuturnya. Layanan itu bisa berupa layanan hukum maupun layanan sosial. Menurutnya, spirit Kristus itu melayani kemanusiaan karena manusia perlu melindungi orang yang tertindas.

Ia melanjutkan, orang miskin jika terkena masalah hukum, dia tidak punya uang, beking, atau bantuan politik. Dia hanya punya Tuhan. “Nah, kalau dia berdoa pada Tuhan, maka kita ini umatnya yang lain yang punya kemampuan ini sedapat mungkin menjadi jawaban itu. Supaya mereka (tahu) bahwa Tuhan itu ada, Tuhan ada melalui kehadiran kita,” ujar Sugeng.

Itulah yang berusaha ia lakukan. Ia berusaha membantu orang-orang yang kesulitan. Jika tidak bisa, ia akan menyampaikan, tapi tetap berusaha menyampaikan jalan bantuan.

“Jadi itu, itu moto hidup saya. Bagaimana melayani sesama manusia agar manusia-manusia itu bersyukur bahwa Tuhan itu ada,” kata Sugeng. Hal itu yang membuatnya semangat. Ia tidak pernah takut, selagi berangkat dari niat dan hati nurani yang bersih. Makanya, ia merasa bebas mengkritisi apapun.

“Jangan kita mengkritisi untuk misalnya memeras, mencari keuntungan, mengkritisi dengan niat jahat. Kalau itu terjadi kita pasti mengalami celaka. Itu saya percaya,” kata Sugeng Teguh Santoso.

Buntut tragedi Kanjuruhan, IPW Tagih Tanggungjawab Pimpinan Polri

Tragedi Kanjuruhan mengakibatkan sekitar 125 orang tewas dan ratusan lainnya dirawat karena terluka. Menurut Sugeng, salah satu penyebabnya adalah penembakan gas air mata secara membabi buta oleh aparat kepolisian.

Akibatnya, banyak penonton yang sulit bernapas dan pingsan, sehingga banyak jatuh korban yang terinjak-injak di sekitar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

"Padahal, penggunaan gas air mata di stadion sepak bola sesuai aturan FIFA dilarang. Hal itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pada pasal 19 huruf b disebutkan bahwa sama sekali tidak diperbolehkan mempergunakan senjata api atau gas pengendali massa," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (4/10/2022).

Sugeng lantas meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat. Menurutnya, Kapolres Malang itu bertanggung jawab mengendalikan pengamanan pada pertandingan antara tuan rumah Arema FC Malang melawan Persebaya Surabaya.

Ketika ditanya `kenapa Kapolda dan Kapolri tidak diminta mundur atau dicopot sekalian`, Sugeng menjelaskan bahwa hal itu tidak bisa. Jika hal itu terjadi, maka akan timbul kondisi yang tidak sehat.

"Kenapa tidak sehat? Kan kalau orang ditindak dengan tindakan disiplin atau administratif itu harus jelas kesalahannya. Pak Kapolri salahnya apa di sini? Sama juga dengan Kapolda Jatim," kata Sugeng pada Law Justice, Selasa (4/10/2022).

Ia menjelaskan, harus dibuktikan kesalahan Kapolda Jatim dan Kapolri dalam tragedi Kanjuruhan. Jika memang ada surat perintah dari Kapolri atau Kapolda Jatim untuk menembakkan gas air mata, hal itu sudah bisa dikenakan tindakan.

"Jadi, tidak bisa Kapolri diminta mundur karena tidak jelas kesalahannya apa. Dasar untuk dinyatakan dicopot atau mundur apa? Tidak ada, tidak ada dasar memberikan hukuman," jelas Sugeng.

Sugeng mengatakan, mundur dari jabatan adalah keputusan personal dan bentuk tanggung jawab moril. Menurutnya, Ketum PSSI Iwan Bule yang harusnya mundur.

Sentil Ketua PSSI supaya mundur

"Tanggung jawab moril itu harusnya Ketua PSSI, sudah dua kali nih. Kejadian yang di Bandung kan dua orang mati tuh," kata dia.

Kejadian di Bandung itu terjadi pada Jumat (17/6/2022). Dua suporter Persib Bandung Ahmad Solihin dan Sopiana Yusup meninggal dunia dalam pertandingan Persib Bandung melawan Persebaya Surabaya pada gelaran Piala Presiden 2022. Kedua suporter itu diketahui tewas karena terjatuh dan terinjak-injak saat hendak memasuki Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).

"Jatuhnya korban tewas di sepakbola nasional ini, harus diusut tuntas pihak kepolisian. Jangan sampai pidana dari jatuhnya suporter di Indonesia menguap begitu saja seperti hilangnya nyawa dua bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada bulan Juni lalu," ujarnya.

Selain itu, ia bahkan meminta Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta untuk mempidanakan panitia penyelenggara pertandingan antara Arema FC vs Persebaya saat tragedi Kanjuruhan terjadi. Ia juga meminta Presiden Joko Widodo supaya memberikan perhatian terhadap dunia sepakbola di Indonesia yang selalu ricuh dan menelan korban jiwa.

"Kemudian, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (Iwan Bule) seharusnya malu dan mengundurkan diri dengan adanya peristiwa terburuk di sepak bola nasional," tegasnya lagi.

 

 

(Amelia Rahima Sari\Tim Liputan News)

Share:




Berita Terkait

Komentar