Komnas HAM Didesak Buka Penyelidikan Extrajudicial Killing Brigadir J

Rabu, 28/09/2022 08:19 WIB
Susi ART Ferdy Sambo jadi saksi kunci pembunuhan brigadir J (Net)

Susi ART Ferdy Sambo jadi saksi kunci pembunuhan brigadir J (Net)

Jakarta, law-justice.co - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan pro justicia terkait peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum dalam kasus Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Kata dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, extrajudicial killing termasuk pelanggaran HAM berat.

Namun, belum tentu termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Karena itu perlu penyelidikan pro justicia oleh Komnas HAM untuk menguji apakah peristiwa extrajudicial killing dalam kasus Josua itu dapat tergolong ke dalam pelanggaran HAM yang berat menurut Undang-Undang Pengadilan HAM," jelas Usman saat ditemui usai diskusi di Hotel Gran Mahakam, Selasa (27/9) malam.

Menurutnya, kasus Brigadir J termasuk extrajudicial killing jika berdasar pada perspektif hukum internasional dan kesimpulan Komnas HAM.

"Kalau kita menggunakan perspektif hukum internasional tentang hak asasi manusia, saya bertitik-tolak dari kesimpulan Komnas HAM yang mengatakan ini adalah extrajudicial killing," kata Usman.

Hal yang paling mungkin dilakukan, kata Usman, adalah pendapat Komnas HAM diserahkan kepada Jaksa Agung. Lalu, Jaksa Agung berbicara dengan Kapolri untuk menimbang penyidikan lanjutan.

Sidang Etik ke Pidana

Di sisi lain, Usman menyebut sidang etik dugaan obstruction of justice kasus pembunuhan Brigadir J seharusnya dialihkan ke persidangan pidana. Menurutnya, perbuatan menghalangi proses penegakan hukum jelas melanggar hukum pidana.

"Persidangan etik itu saya kira harus diarahkan ke dalam proses persidangan yang sifatnya pidana karena yang dilanggar jelas hukum pidana," ujar Usman.

Usman menilai upaya obstruction of justice yang dilakukan para personel kepolisian sangat mendalam. Contohnya, intimidasi dan serangan yang dialami pihak-pihak yang bersikap kritis dalam kasus Brigadir J.

"Itu menurut saya adalah intimidasi terhadap mereka dan salah satu yang menurut saya membuat mereka diserang itu karena liputan liputan mereka suara mereka yang kritis terhadap kepolisian termasuk pada kasus Josua," ujarnya.

Lebih lanjut, menurut Usman, pelaku obstruction of justice pada kasus ini dapat dikenakan pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 52 KUHP. Selanjutnya, Pasal 52 dapat menambah masa hukuman dari sepertiga hukuman yang diputuskan apabila dilakukan oleh pejabat.

"Jadi dasar pemberat pidana dalam pasal 52 tersebut terletak pada keadaan jabatan dari pembuat obstruction of justice itu, jadi petugas kepolisiannya itu," katanya.

Oleh karena itu, aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam upaya obstruction of justice dapat dikenakan pasal berlapis dan dipenjara karena masa hukumannya telah lebih dari 5 tahun.

Sebagai informasi, sebanyak 97 personel kepolisian telah diperiksa terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam penanganan kasus Brigadir J. Adapun 35 personel di antaranya terbukti melanggar etik.

Sebelumnya Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyebut berdasarkan penyelidikan, kematian Brigadir J merupakan extrajudicial killing. Hal ini menjadi salah satu simpulan Komnas HAM dalam kasus kematian Yosua.

"Pembunuhan Brigadir J merupakan extrajudicial killing," kata Beka dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (1/9).

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar