Pakai Jilbab Tidak Rapi, Perempuan Iran Tewas Diduga Dipukuli Polisi

Senin, 19/09/2022 18:47 WIB
Potret Mahsa Amini Sebelum dan Sesudah Ditahan Polisi Moral (Times of Israel)

Potret Mahsa Amini Sebelum dan Sesudah Ditahan Polisi Moral (Times of Israel)

Iran, law-justice.co - Perempuan Iran Mahsa Amini mengalami cedera otak parah usai ditahan ‘polisi moral’. Ia ditahan karena tidak memenuhi aturan berpakaian busana muslimah.

Dilansir dari Vice, Mahsa, sapaannya, ditangkap karena kurang rapi dalam memakai jilbab. Ia lantas dinyatakan tewas Selasa malam (13/9/2022) waktu setempat. Ia diduga mengalami cedera otak parah karena dipukuli polisi.

“Wajah Mahsa bengkak dan kakinya memar,” kata saudara laki-laki Mahsa Kiarash, Rabu (14/9/2022), pada IranWire.

Sebuah foto Mahsa di rumah sakit menunjukkan dia di tempat tidur dan diintubasi untuk bernapas. Bila foto itu diperbesar, tampaklah darah dan perubahan warna di sekitar telinganya.

Ketiga dokter rumah sakit setempat yang diwawancarai dengan tegas mengatakan bahwa ‘stroke’ tidak dapat menyebabkan perubahan warna atau pendarahan luar dengan sendirinya. Ini menunjukkan Mahsa dipukul di kepala.

Sementara pihak berwajib setempat mengatakan, Mahsa meninggal karena serangan jantung mendadak saat berada dalam tahanan. Menurut polisi, Mahsa saat itu sedang menjalani ‘sesi pendidikan ulang’ supaya tidak melanggar aturan wajib jilbab di kemudian hari.

Namun, saksi mata dan keluarga Mahsa memberikan keterangan berbeda. Menurut mereka, perempuan berusia 22 tahun itu dibawa paksa ke kantor polisi dan jatuh koma usai ditahan. Dia lantas meninggal di rumah sakit.

Kematian Mahsa sontak menyulut amarah masyarakat Iran. Dalam video yang beredar di dunia maya, sejumlah orang berkumpul di depan gedung rumah sakit pada Jumat (16/9/2022) untuk memprotes kematian Mahsa. Sementara itu, Kepolisian Metropolitan Teheran menuduh media secara sengaja menyudutkan Republik Islam dengan membuat berita dugaan penganiayaan korban.

Perempuan di Iran diketahui wajib menutup rambut secara penuh dan mengenakan pakaian tertutup yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Aturan itu diberlakukan secara ketat, sehingga memicu berbagai pemberontakan di dalam negeri, seperti perempuan yang sengaja melepas hijab atau menutupi kepala dengan selendang.

Menanggapi hal semacam itu, polisi moral lantas semakin memperkuat pengawasannya. Mereka memberikan hukuman lebih berat kepada pelanggar. Pelanggar terancam dijebloskan ke penjara, didenda, hingga dicambuk bila tidak berpakaian sesuai ‘ajaran Islam’.

Aturan berpakaian bagi perempuan Muslimdi Iran telah berlaku sejak Revolusi Islam pada 1979. Namun, penerapannya tergantung siapa yang memimpin negara pada saat itu.

Ketika Ebrahim Raisi menjabat sebagai presiden pada 2021, larangan melepas jilbab di tempat umum berjalan semakin ketat. Kebijakannya ini didukung Imam Ayatollah Ali Khamenei yang menyatakan dalam khotbahnya, perempuan tidak berkerudung sama buruknya seperti pencuri.

(Amelia Rahima Sari\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar