P.M.Erza Killian, Akademisi Universitas Brawijaya

Polemik Pembelian Minyak Rusia

Jum'at, 16/09/2022 22:20 WIB
Presiden Jokowidan Vladimir Putin (rmol)

Presiden Jokowidan Vladimir Putin (rmol)

Jakarta, law-justice.co - Wacana terkait rencana pembelian minyak Rusia oleh Indonesia kembali mengemuka. Itu setelah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan melalui akun media sosialnya di Instagram bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana ini.

Minyak Rusia saat ini dijual dengan harga murah –sekitar 30 persen di bawah harga pasar dunia– untuk mendorong permintaan dan membantu menstabilkan ekonomi setelah Rusia dikenai sanksi ekonomi pasca serangannya ke Ukraina pada Februari lalu.

Sebelumnya, pada Maret 2022, Pertamina juga sempat mengutarakan keinginan untuk membeli minyak dari Rusia. Namun membatalkannya karena stok minyak dalam negeri dianggap masih mencukupi. Melihat harga minyak dunia yang semakin melonjak dan cadangan domestik yang kian menipis, opsi pembelian ini mungkin akan ditempuh.

Secara ekonomi, membeli minyak dari Rusia memang akan membantu anggaran belanja negara yang saat ini masih dalam tahap pemulihan pascapandemi. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu mengantisipasi beberapa skenario politik di tingkat global yang mungkin terjadi pasca pembelian ini.

Menakar Potensi Sanksi Ekonomi Sekunder

Kekhawatiran paling awal dan utama terkait rencana pembelian minyak Rusia ini adalah kemungkinan embargo yang akan dikenakan Amerika Serikat (AS) dan negara lain terhadap Indonesia. Praktik ini dikenal sebagai sanksi sekunder (secondary sanctions), sanksi tidak dikenakan langsung kepada aktor yang melanggar, tapi kepada entitas lain yang dianggap membantu tindakan pelanggaran.

Secara sederhana, sanksi sekunder ini merupakan ancaman kepada pihak ketiga untuk memilih apakah akan berada di sisi negara pelanggar atau negara pemberi hukuman. Sanksi sekunder ini biasanya dilakukan melalui pemutusan transaksi bisnis ataupun finansial dan telah beberapa kali diberlakukan oleh AS terhadap entitas lain.

Hingga Agustus 2021, AS tercatat telah melakukan sanksi sekunder kepada lebih dari 2.000 entitas, baik individu maupun bisnis. Sekitar 90 persen dari total sanksi sekunder itu terkait isu nuklir Iran dan Korea Utara (Bartlett & Ophel, 2021). Secara global, AS adalah negara yang paling banyak melakukan sanksi sekunder karena memiliki kemampuan paling besar untuk melakukannya. Masifnya, jaringan bisnis AS dan besarnya ketergantungan sistem finansial global terhadap dolar menyebabkan kekhawatiran yang sangat tinggi dari negara lain jika terkena sanksi ekonomi dari AS.


Untuk kasus serangan Rusia ke Ukraina, AS tercatat baru melakukan satu kali sanksi sekunder, yakni kepada perusahaan asal Uzbekistan Promcomplektlogistic, yang dituding menyediakan komponen bagi Radioavtomatika, salah satu perusahaan Rusia yang masuk daftar sanksi AS. Meskipun beberapa kali muncul wacana untuk mengenakan sanksi sekunder bagi Tiongkok dan Turki, hingga kini belum ada sanksi sekunder yang dikenakan AS bagi entitas negara.

Untuk Indonesia, pembelian minyak dari Rusia tidak akan otomatis menyebabkan jatuhnya sanksi sekunder dari AS karena ada faktor lain. Pertama, beberapa negara sekutu AS seperti Uni Eropa juga masih mengimpor minyak dari Rusia meskipun secara bertahap telah berjanji mengurangi impor. Keputusan terakhir dari Uni Eropa menyatakan bahwa impor minyak dari Rusia akan dikurangi hingga 90 persen dan seluruh impor melalui jalur laut akan dihentikan secara total dalam tahun 2022 ini. Namun, jalur impor minyak melalui pipa masih tetap diizinkan. Hal ini berarti pengenaan sanksi sekunder untuk impor energi dari Rusia juga akan berpotensi menghukum Uni Eropa dan ini bukan pilihan yang menguntungkan bagi AS.

Kedua, kondisi ekonomi dalam negeri AS yang saat ini menjurus ke arah resesi juga akan mempersulit posisi AS untuk memutus transaksi finansial dan bisnis dengan negara lain. Dengan angka inflasi yang mencapai rekor tertinggi selama 40 tahun terakhir dan akan diselenggarakannya pemilu sela pada November mendatang, pemberian sanksi sekunder akan menjadi tindakan yang cukup riskan bagi AS.


Meskipun sebelumnya AS pernah menerapkan sanksi sekunder bagi negara yang membeli minyak dari Iran, kondisi politik domestik dan geopolitik global saat ini cukup berbeda sehingga AS akan cenderung lebih berhati-hati. Namun, itu bukan berarti tidak ada implikasi lain bagi Indonesia jika pembelian ini benar terjadi.

Bisakah Tetap Mendayung di Antara Dua Karang?


Implikasi terpenting dari keputusan membeli minyak Rusia adalah akan bergabungnya Indonesia ke dalam klub negara-negara yang secara global dituding lunak terhadap Rusia seperti Tiongkok dan India. Tiongkok dan India saat ini adalah dua negara utama pengimpor minyak Rusia dan kerap dikritik karena dianggap tidak berbuat cukup banyak untuk membantu mendeeskalasi konflik di Ukraina.

Ini label yang akan memberatkan Indonesia, terlebih karena Indonesia juga dianggap tidak pernah mengutuk serangan Rusia secara langsung dan cenderung bermain aman di tengah konflik Rusia-Ukraina. Sebagai contoh, dalam posisinya sebagai presiden G20, Indonesia sempat mendapat tekanan untuk tidak mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan kepala negara November mendatang. Namun, Indonesia menolak dengan alasan ingin memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak dan memutuskan untuk mengundang juga Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di KTT G20 mendatang.


Secara diplomatik, Indonesia memang menjalankan prinsip bebas aktif –atau mendayung di antara dua karang– seperti yang pernah dicetuskan Bung Hatta di masa Perang Dingin. Ironisnya, Indonesia saat ini kembali terjepit di antara dua karang yang sama dengan era Perang Dingin, yakni AS dan Rusia, meskipun dengan konstelasi geopolitik yang jauh berbeda. Pembelian minyak Rusia akan berpotensi menggeser posisi Indonesia dan membuat strategi mendayung di antara dua karang ini menjadi dipertanyakan.

Tudingan paling keras yang mungkin muncul tentu saja adalah Indonesia ikut berkontribusi dan mendanai serangan Rusia ke Ukraina melalui pembelian minyak. Ini tentunya bukan tudingan yang ingin didapatkan Indonesia, terlebih menjelang KTT G20 di akhir tahun nanti. Karena itu, konsekuensi politik ini perlu menjadi pertimbangan selain tentu saja kalkulasi ekonomi, jika Indonesia nanti memutuskan untuk membeli minyak Rusia.

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar