Kesehatan Perempuan Terancam, CWGI Justru Kesulitan Tembus Kemenkes

Jum'at, 09/09/2022 12:00 WIB
The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) (Net)

The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) (Net)

Jakarta, law-justice.co - Kesehatan perempuan Indonesia masih menjadi isu besar dalam pemenuhan kewajiban pemerintah. Dalam hal ini pemerintah Indonesia wajib menyampaikan Laporannya kepada Komite The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) setiap 4 tahun sekali. Laporan CEDAW pemerintah ini merupakan konsekuensi dari Negara peserta (state parties) yang meratifikasi konvensi perempuan ini.

Sementara itu salah satu penyusun CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) aktivis kesehatan reproduksi gender Atashendartini justru kesulitan menembus Kementerian Kesehatan."Selama 6 tahun terakhir kami sangat kesulitan menembus kementerian kesehatan, padahal andil kemenkes dalam hal ini sangat besar," katanya Konferensi Pers Catatan CWGI atas Situasi dan Kondisi Hukum dan Kebijakan Perempuan di Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) PBB, Jumat (9/9/2022).

Atashendartini mengungkap, Kondisi kesehatan perempuan memprihatinkan, Aborsi aman masih sulit di akses, masih banyak dokter yang melakukan praktik sunat bayi perempuan." Sudah seharusnya Kemenkes pro aktif dalam komitmen dan tidak bersikap tertutup," ucapnya.

Kasus HIV di Jawa Barat beberapa waktu lalu muncul ke publik, dikatakan Atashendartini cukup mengejutkan."60 penderita HIV di Jawa Barat kebanyakan remaja, sosialisasi hingga akses layanan masih minim, G20 mereka mengatakan global heatlh arsitektur tapi kita tidak diajak bicara, ini tidak diangkat," tandasnya.

Ruby Kholifah dari AMAN Indonesia mengungkapkan, masih banyak rekomendasi CWGI masih parkir dan belum ada implementasinya."Kami terus mendorong komitmen pemerintah agar rekomendasi ini tak hanya parkir," jelasnya.

Rubi juga mendorong untuk mendeklarasikan proses Universal Periodic Review (UPR) secara terbuka."Review ini harus bersifat terbuka dimana ini bagian dari Demokrasi," jelasnya.


Sebagai informasi, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) telah membuat laporan terkait implementasi pemenuhan Hak Asasi Perempuan untuk proses mekanisme HAM International PBB (Universal Periodic Review-UPR) dan menghadiri proses sesi pemberian masukan dari kelompok masyarakt sipil sebelum sidang UPR yang akan dilaksanakan November 2022 di Dewan HAM PBB Geneva pada akhir Agustus- September 2022.

UPR merupakan mekanisme HAM international (PBB) yang mengundang negara-negara anggota PBB untuk direview terkait dengan persoalan Hak Asasi Manusia termasuk Hak Asasi Perempuan di masing-masing negara. UPR merupakan mekanisme silang review antar negara anggota PBB yang diselenggarakan oleh Dewan HAM PBB, dilakukan secara periodik 4 tahun sekali. Indonesia telah direview selama 3 kali yaitu, tahun 2008, 2012 dan 3 Mei 2017 di gedung Palais de Nations PBB Geneva.

Ada beberapa isu hak asasi perempuan yang diangkat dalam laporan UPR CWGI yaitu :


1. KESEHATAN PEREMPUAN
Fakta :
(1) Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) 300/100.000 kelahiran hidup
(2) Kriminalisasi terhadap orang yang melakukan aborsi yaitu korban kekerasan seksual dan tenaga kesehatan
(3) Akses layanan kesehatan reproduksi bagi kelompok muda yang masih sulit diperoleh


Rekomendasi :
(1) Akses layanan kesehatan yang mudah sampai level pedesaan
(2) Memastikan implementasi Peraturan Pemerintan (PP) No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi dan Peraturan Mentri Kesehatan No.3 tahun 2016 tentang pelatihan dan prosedur aborsi dalam kedaruratan dan kasus perkosaan
(3) Implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang kesehatan


2. PEREMPUAN DAN KONFLIK
Fakta :
(1) 421 perda yang diskriminatif terhadap perempuan
(2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8-9 tahun 2006 menjadi penghambat hak kelompok minoritas untuk beribadah, sehingga menimbulkan serangkaian penganiayaan terhadap kelompok minoritas, termasuk penghancuran Masjid Ahmadiyah di Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupate Sintang mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Masjid Miftahul Huda September 2021
(3) Peraturan pemeritah daerah atau sekolah yang mewajibkan seragam sekolah berhijab di sekolah negeri
(4) Kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua yang belum berpihak pada korban.
(5) Kurangnya pengarusutamaan gender khusus di PVE menghasilkan kurangnya promosi gender kesetaraan dan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan dalam struktur, kebijakan, dan intervensi.


Rekomendasi :
(1) Implementasi Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan perempuan dan Anak dalam situasi Koflik Sosial (RAN P3AKS) yang berperspektif gender
(2) Mendorong pembahasan RUU baru tentang pembentukan komisi nasional untuk kebenaran dan rekonsiliasi dengan wewenang kekuasaan yang luas untuk menerima pengaduan dan menyelidiki pelanggaran HAM berat, menjamin hak korban atas kompensasi dan reparasi, serta jaminan atas tidak terulangnya pelanggaran tersebut, termasuk praktik ketidakadilan gender di bawah hukum Syariah di Aceh dan konflik berkepanjangan di Papua.
(3) Melanjutkan Implementasi Inpres No. 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang
Mengarah pada Terorisme (RAN PE)


3. PEREMPUAN DESA DAN PEREMPUAN ADAT : HAK ATAS PANGAN DAN TANAH
Fakta :
(1) Perempuan adat dan pedesaan telah menghadapi dampak parah dari konflik sosial,
(2) penggusuran, perampasan, dan perusakan lingkungan, budaya. Menyusul pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (President Peraturan No. 109/2020). Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 59 kasus konflik agraria yang belum terselesaikan yang mempengaruhi mulai dari tahun 2003 – sampai 2021.
(3) Belum disyahkannya RUU Masyarakat Adat, implementasi Omnibus Law dengan minimnya partisipasi masyarakat, semakin terbuka potensi perusakan alam dan konflik
(4) Belum ada pengakuan hak untuk perempuan adat, perempuan pedesaan dan perempuan nelayan dalam proses pengambilan keputusan dan akses terhadap
sumber daya


Rekomendasi :
(1) Memperkuat upaya untuk mengadopsi RUU tentang Masyarakat Adat, dengan memastikan partisipasi perempuan adat dan pedesaan dalam proses pengambilan
keputusan, mendorong Prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC)

(2) Mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja dan turunannya
(3) Mengakui identitas dan penikmatan hak asasi manusia oleh perempuan adat dan pedesaan serta perempuan nelayan dan petani dalam UU No. 18/2012 tentang
Pangan, UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, dan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana direkomendasikan oleh Komite CEDAW dalam Pengamatan Penutup (Conlcuding Observations) atas laporan periodik pemerintah Indonesia ke-8.


4. KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE
Fakta :
(1) KOMNAS Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan berbasis gender online
(online) yang meningkat dari 241 kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus di
Indonesia pada tahun 2020.
(2) Data dari SAFEnet, yang menangani 620 kasus online kekerasan berbasis gender
selama dua tahun pandemi COVID19 yaitu 620 kasus pada tahun 2020 dan 677 kasus
pada tahun 2021.
(3) Angka yang mengkhawatirkan ini juga dikonfirmasi oleh laporan tahunan LBH APIK
Jakarta tahun 2021, yang menunjukkan peningkatan dramatis dalam jumlah kasus
kekerasan seksual yang meminta bantuan sepanjang tahun, terutama kekerasan
seksual online (489 kasus dari 1.321 keluhan).


Rekomendasi :
Mencabut pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 11/2008, yang mengkriminalisasi korban
kekerasan berbasis gender online dan menyebabkan korban tidak berani melaporkan
kasusnya. Artikel tersebut menyatakan, `Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.


5. PENGHAPUSAN PERKAWINAN ANAK
Fakta :
(1) Dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih ada klausul tentang dispensasi nikah, sehingga ini menjadi ruang dan legitimasi untuk terjadinya perkawinan usia anak (dibawah 19 tahun)
(2) Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas), 400-500 anak perempuan dalam rentang usia 10-17 berisiko menikah di bawah umur karena Covid-19
(3) Masih terus belangsungnya praktek-praktek pemaksaan perkawinan


Rekomendasi :
(1) Menghapuskan pasal terkait dispensasi nikah

(2) Melanjutkan upaya untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam penyadaran publik tentang pencegahan perkawinan anak, mempromosikan interpretasi agama yang ramah perempuan tentang pencegahan perkawinan anak, dan menciptakan lingkungan yang aman dan lingkungan yang mendukung untuk
mendukung korban perkawinan anak


6. PELUKAAN DAN PEMOTONGAN GENETALIA PEREMPUAN (P2GP) ATAU SUNAT
PEREMPUAN
Fakta :
(1)Indonesia menempati peringkat ketiga di antara negara-negara yang masih memiliki praktik FGM/C di seluruh dunia.
(2) Belum ada kebijakan pemerintah yang tegas melarang praktik P2GP atau sunat perempuan

Rekomendasi :
Mendesak pemerintah untuk mengesahkan peraturan yang melarang praktik sunat perempuan dengan akses penuh terhadap hak seksual dan kesehatan reproduksi, dan mengkriminalisasi siapapun yang melakukan praktik sunat perempuan.

7. PEREMPUAN DAN BENCANA
Fakta :
(1) 57 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terjadi di sejumlah bencana Sulawesi Tengah tahun 2018
(2) Pasca Topan Seroja di NTT, 26% kabupaten belum memiliki PBM (Pembelajaran Proses) kegiatan, dan 59,6% tidak memiliki alternatif tempat belajar saat terjadi kerusakan terjadi. Akibatnya, anak perempuan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memperoleh penghasilan
(3) UU Penanggulangan Bencana belum menerapkan perspektif lintas sectoral dalam memandang perempuan dan kelompok rentan (lansia, anak-anak, remaja, disabilitas, dan kelompok minoritas).
(4) Hanya 5 persen dari semua bantuan yang menargetkan kesetaraan gender sebagai tujuan utama pada 2018-2019, dan investasi pemberdayaan ekonomi perempuan, persentasenya bahkan lebih rendah.
(5) Minimnya pelibatan aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan penaggulangan situasi bencana

Rekomendasi :
(1) Meninjau dan merevisi kebijakan nasional dan local terkait pengurangan risiko bencana (termasuk : UU Penanggulangan Bencana), pedoman, prasarana, sarana, dan tindakan untuk menjamin persyaratan minimum untuk mengatasi kesenjangan gender dan inklusi sosial
(2) Pemerintah harus mengembangkan langkah-langkah konkret dalam mengoperasionalkan peraturan negara menjadi pedoman, memberikan peningkatan kapasitas bagi petugas yang bekerja di bidang manajemen kebencanaan, menyediakan data terpilah tentang dampak bencana dan pandemi terhadap perempuan dan anak perempuan dan menyediakan dana APBN untuk krisis


8. KERANGKA LEGISLASI
Fakta :
(1) Sistem hukum belum memberikan keadilan bagi orang dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Contoh dalam proses hukum pengalaman korban masih
sulit dimasukkan dalam level penyelidikan baik dia sebagai saksi maupun terdakwa.
(2) Komnas HAM tahun 2020 telah menerima 19 laporan terkait kekerasan terhadap Human Rights Defender (Pembela HAM) dan tahunn 2018 – 2021 Komnas
Perempuan telah mencatat 15 kasus kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM dan 10 tahun Rancangan Undang-undang perlindungan Pekerja Pembela HAM masih terhenti di parlemen
(3) Perpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Kementrian dan Lembaga negara belum terimplementasikan secara kuat, sehingga penting untuk memperkuat ini harus ada undang-undang yang secara khusus bicara tentang keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia. Dan Indonesia telah menerima 2 kali Rekomendasi dari Komite CEDAW PBB (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan)
(4) Data tahun 2021 terdapat 5 juta perempuan pekerja rumah tangga di Indonesia yang sampai saat ini masih belum mendapatkan perlindungan dan pengakuan sebagai seorang pekerja.
(5) Masih terjadi diskriminasi di tempat kerja bagi orang dengan disabilitas di Indonesia, misalnya pada proses rekrutmen tenaga kerja dengan adanya syarat “sehat fisik dan mental”
(6) Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM yang mempunyai mandate secara khusus untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih harus terus meningkatkan independence dan kapasitasnya dalam menjalankan mandatnya.


Rekomendasi :
(1) Memperkuat implementasi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Orang dengan Disabilitas yang memastikan orang dengan disabilitas mempunyai akses keadilan dalam proseshukum.

(2) Regulasi negara yang memastikan perlindungan keamanan dan lingkungan yang mendukung semua pekerja pembela HAM (HRD) termasuk aktivis perempuan, feminist, jurnalis perempuan, women peacebuilders dengan beragam ekspresi gender dan seksualnya serta komunitas adat.
(3) Segera disyahkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG)
(4) Segera disyahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah 18 tahun terhenti di parlemen
(5) Ratifikasi konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Konvensi Pekerja Rumah Tangga
(6) Ratifikasi konvensi ILO no. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelcehan seksual di Tempat Kerja untuk perlindungan pekerja khususnya perempuan pekerja
(7) Mendukung independence dan penyediaan sumber daya yang lebih besar untuk Komnas Perempuan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar