Kisruh Kenaikan Harga BBM Saat Harga Minyak Dunia Turun

BBM Naik Tapi Dana Subsidi Bengkak, Siapa Menikmati?

Sabtu, 03/09/2022 15:09 WIB
Harga minyak mentah Indonesia

Harga minyak mentah Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM subsidi di tengah menurunnya harga minyak dunia. Lantas apa urgensinya pemerintah menaikkan harga bbm bersubsidi dan siapa penikmat subsidi energi.

Presiden Jokowi resmi menaikkan harga BBM bersubsidi, yakni Pertalite dan Solar.

Jokowi mengatakan hal ini terkait dengan peningkatan subsidi dari APBN.

Kenaikan harga BBM langsung disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. Arifin mengatakan Pertalite naik menjadi Rp10.000 dan Solar menjadi Rp6.800.

Lalu harga Pertamax non-subsidi naik menjadi Rp14.500

Jika dilihat dari RAPBN 2023, adapun subsidi ini terdiri dari Rp210,6 triliun untuk subsidi energi dan Rp86,5 triliun untuk subsidi non energi.

Alokasi subsidi dalam RAPBN 2023 tersebut lebih tinggi 4,4% apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp284,5 triliun.

Untuk rincian anggaran subsidi energi tahun 2023, subsidi BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2023 direncanakan sebesar Rp138,3 triliun atau lebih rendah 7,4% apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp149,3 triliun.

"Melanjutkan pemberian subsidi selisih harga untuk minyak tanah dan subsidi tetap untuk BBM solar disertai dengan pengendalian volume dan pengawasan atas golongan atau sektor-sektor yang berhak memanfaatkan; dan transformasi subsidi LPG tabung 3 Kg agar lebih tepat sasaran dan berbasis target penerima serta terintegrasi dengan program perlindungan sosial," dalam catatan Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2023.

Perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun 2023 tersebut menggunakan asumsi dan parameter, antara lain: (1) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ICP; (2) subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp1000/liter; (3) volume BBM jenis solar sebesar 17,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,5 juta kiloliter; dan (4) volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,0 juta metrik ton.

Adapun untuk anggaran subsidi listrik direncanakan sebesar Rp72,3 triliun atau lebih tinggi 21,4% apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp59,5 triliun.

Peningkatan alokasi ini terutama dipengaruhi oleh peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik. Adapun penyebab kenaikan BPP sebagaimana dimaksud antara lain: (1) kenaikan fuel mix BBM; (2) peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa untuk cofiring PLTU; dan (3) kenaikan PPN 11%.

"Dalam pagu RAPBN tahun 2023 tersebut, masih dialokasikan belanja subsidi LPG tabung 3 kg dan subsidi listrik rumah tangga berbasis komoditas. Kebijakan transformasi subsidi energi menjadi subsidi berbasis orang/ penerima manfaat akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat," menurut Buku Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2023.

Adapun, dalam paparan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI-DPD RI disampaikan, gambaran besar arsitektur RAPBN 2023 adalah sebagai berikut. Belanja Negara dalam RAPBN 2023 direncanakan sebesar Rp3.041,7 triliun yang meliputi, belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.230,0 triliun, serta Transfer ke Daerah Rp811,7 triliun

Dana Talangan Subsidi Terus Meroket
Kementerian Keuangan menghitung butuh tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi hingga Rp 700 triliun untuk menahan harga BBM agar tidak naik. Namun, ruang untuk menambah anggaran tersebut bergantung pada kinerja penerimaan negara. Saat ini pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun atau butuh tambahan sekitar Rp 198 triliun bila akan menahan harga BBM subsidi.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menjelaskan belum ada kejelasan soal sumber anggaran bila hendak menambal BBM subsidi.

"Kalau kemudian penerimaan negara menjadi biasa-biasa saja, itukan berarti sudah diperhitungkan Rp 502,4 triliun, tambah lagi dari mana?" kata Isa kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Rabu 24 Agustus 2022 lalu.

Lebih lanjut Isa menyebut keputusan anggaran ditambah atau tidak juga masih membutuhkan restu dari DPR. Pemerintah pada pertengahan Mei lalu mendapat restu dari Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk menambah anggaran awal subsidi dan kompensasi Rp 350 triliun menjadi Rp 502,4 triliun.

Namun, untuk mendapatkan restu dari DPR lagi tampaknya akan lebih `alot`.

Ketua Banggar DPR Said Abdullah dalam pernyataannya beberapa waktu lalu meminta agar pemerintah mulai menaikkan harga BBM setidaknya dua kali sampai akhir tahun.

Hal itu lantaran subsidi terhadap BBM, LPG 3 Kg hingga listrik yang diberikan pemerintah selama ini justru banyak dinikmati kalangan mampu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan anggaran subsidi dan energi tahun ini bisa bengkak menjadi Rp 700 triliun jika harga tetap ditahan. Penambahan anggaran Rp 198 triliun dengan asumsi volume konsumsi pertalite bisa mencapai 29 juta kilo liter, atau jauh di atas kuota tahun ini hanya 23 juta kilo liter.

Salah Cara Kelola BBM Bersubsidi
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menyebut subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak karena pemerintah salah dalam memperkirakan harga minyak dunia yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami perubahan cepat.

Dalam sebuah diskusi Himpunan Mahasiswa Islam, Faisal Basri menjelaskan harga rata-rata patokan minyak mentah Indonesia (IC) dalam APBN adalah US$63 per barel.

Sementara harga kenyataannya adalah US$104,51 per barel. Hal ini kemudian membuat subsidi BBM melonjak hingga Rp502,4 triliun.

"Seringnya pemerintah mematok harga salah melulu, sehingga subsidinya naik. Kalau perkiraannya bagus, sebetulnya subsidinya tidak naik," ujarnya.

Lebih lanjut Faisal Basri juga menyebut kuota BBM jebol karena terjadi peningkatan jumlah kendaraan. Hal ini disebabkan karena pemerintah memberikan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

"Konsumsi naik terus karena mobil dibikin murah sama pemerintah, PPnBM bebas, uang muka bebas, sehingga pertumbuhan mobil tahun ini 22 persen. Mobil-mobil baru ini tambah banyak menyedot minyak," terang dia.

Faisal juga memperkirakan dampak yang terjadi jika BBM naik. Dia mengatakan masyarakat akan terbebani jika harga pertalite benar-benar dinaikkan menjadi Rp10 ribu per liter.

Padahal, seharusnya, ia menyampaikan penyesuaian BBM harus dilakukan perlahan sejak beberapa tahun sebelumnya.

"Kalau pertalite Rp10 ribu per liter, naik 30 persen, siapa yang enggak nyesek? Coba kalau dulu naik 100, turun 200, naik terus, gitu," ujar Faisal kepada wartawan di Jakarta Pusat, Senin (29/8).

Faisal mengatakan harga BBM tidak naik selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan harga BBM saat ini sama seperti menumpuk masalah.

"Cara pemerintah ini masalah ditimbun satu-satu. Ini sudah lima tahun harga BBM enggak naik, listrik juga tidak naik demi stabilitas harga sehingga inflasi dipuji-puji, ongkosnya ini menimbun masalah," ujar Faisal seperti dikutip media.

Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) awalnya menentukan harga BBM disesuaikan secara otomatis per tiga bulan dan listrik per bulan.

Dengan cara tersebut, maka kenaikan harga BBM dan listrik bisa diprediksi. "Sekarang aturan itu dicampakkan semua sama Pak Jokowi," pungkasnya.

DPR Kritisi Kenaikan Harga BBM

Banyak pihak yang menyatakan bila kebijakan tersebut pemerintah cenderung buru-buru dalam menentukan kebijakan.

Misal Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bila pemerintah belum pernah membahas soal rencana kenaikan harga BBM.

Mulyanto menyebut memang pada 24 Agustus kemarin, Komisi VII DPR melaksanakan Rapat Kerja bersama Menteri ESDM.

Namun itu membahas evaluasi laporan keuangan anggaran tahun 2021, progres anggaran tahun 2022, serta adanya kesimpulan untuk menambah kuota BBM Subsidi.

Mulyanto menyatakan hingga kini tidak ada persetujuan Komisi VII DPR RI atas rencana Pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi.

“Ada usulan memang dari beberapa Anggota, agar Komisi VII mengadakan Raker khusus untuk membahas persoalan pembatasan ataupun penyesuaian harga BBM bersubsidi. Namun ini masih sebatas usulan,” kata Mulyanto kepada Law-Justice.

Sehingga, sampai saat ini tidak ada satu kalimat pun dalam Kesimpulan Raker atau Catatan Rapat tentang persetujuan Komisi VII DPR RI terkait dengan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

“Raker khusus dengan pihak pemerintah terkait agenda itu saja tidak ada. Jadi mana mungkin ada persetujuan terkait dengan hal tersebut. Jelas, ini tidak ada," tegasnya.

Mulyanto menjelaskan Fraksi PKS sendiri dengan tegas menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut.

PKS lebih menyarankan, agar Pemerintah melaksanakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi kepada mereka yang benar-benar berhak.

Dari hasil simulasi Pertamina, pembatasan subsidi hanya untuk kendaraan roda dua, angkot dan angkutan sembako akan dapat menghemat anggaran subsidi sebesar 69%. Penghematan yang lumayan bagus.

Apalagi kalau langkah di atas dikombinasikan dengan pengawasan yang lebih ketat, agar tidak terjadi kebocoran BBM bersubsidi baik berupa ekspor ilegal ke negara tetangga, penimbunan, perembesan ke sektor pertambangan maupun sektor industri.

Menurut Mulyanto, strategi pembatasan dan pengawasan ini diperkirakan akan dapat mengendalikan volume distribusi BBM bersubsidi.

Untuk diketahui, kuota Pertalite dan solar untuk tahun 2022 masing-masing sebesar 23 juta kilo liter dan 15 juta kilo liter.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto turut menanggapi rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Sugeng menyebut saat pemerintah menyatakan akan menaikan BBM memiliki implikasi luar biasa terhadap negara.

Sugeng menyinggung soal daya beli masyarakat di samping naiknya harga-harga barang.

"Barang-barang sudah mulai naik. Inilah jangan salah kita. Kalau kita ingat persoalan menyangkut kemampuan dan daya beli masyarakat," ujar Sugeng kepada Law-Justice.

Selain itu, Politisi Nasdem tersebut juga menyinggung soal kemampuan negara hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Lebih lanjut, Sugeng menegaskan terkait BBM jenis Pertalite dan Solar yang berpotensi habis pada September dan Oktober 2022.

"Kenapa? Karena tadi volume yang didatangkan 23 juta kiloliter untuk Pertalite dan 14,9 juta kiloliter untuk Solar dipastikan akan habis Oktober akhir," tegasnya.

Naiknya harga BBM menandakan harga yang sebelumnya mendapat subsidi dari pemerintah, nantinya tidak akan mendapat subsidi lagi.

Sugeng pun memberi ilustrasi perhitungan terkait subsidi BBM jenis pertalite dan juga dampaknya.

"Pertalite Rp10.000/liter eksplisit dari kami dengan catatan tetap ada subsidi. Karena kan keekonomian Pertalite itu Rp 17.000-an/liter, jadi memang harus tetap disubsidi," ungkapnya.

Beberapa hari terakhir, kabar mengenai kenaikan harga BBM telah beredar ke publik. Saat ini masyarakat menunggu kepastian jadi atau tidaknya kenaikan harga tersebut.

Sinyal kuat mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi PT Pertamina juga diisyaratkan oleh sejumlah pejabat. Gaungnya nanti akan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Namun ditambahkan informasi bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi mendapat pengecualian terhadap beberapa golongan tertentu yang akan mendapatkan akses lebih murah dengan harga Pertalite Rp. 7.650 per liter.

Golongan tersebut diantaranya adalah kendaraan roda dua, transportasi umum sampai kendaraan yang mengangkut ekonimi industri kecil menengah.

"Jadi Rp 7.650 itu hanya untuk kendaraan roda dua, angkot, dan solarnya juga untuk truk roda 4 yang support ekonomi industri kecil menengah," kata Sugeng.

Kenaikan harga Pertalite akan mencapai besaran harga Rp. 10.000 maka harga jual per liternya sekitar Rp. 17.000. Pasalnya, pemerintah akan tetap memberikan subsidi jenis BBM Pertalite kepada masyarakat.

"Kenaikan bukan hapus subsidi. Kalau mau naikkan harga 30% saja. Eksplisit Nasdem, Pertalite naik jadi Rp 10.000. Subsidi tetap ada, Rp 10.000 per liter itu masih subsidi juga karena Pertalite harusnya Rp 17.000," ungkapnya.

Keterbukaan Sasaran Dana Subsidi
Pengamat dari Political Economic and Policy Study (PEPS) Anthony Budiawan turut menanggapi terkait adanya polemik subsidi BBM.

Anthony membantah anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp502 Triliun.= dan meminta pemerintah untuk jujur.

Anthony Budiawan menyebutkan bahwa subsidi yang diberikan untuk BBM ini hanya sekitar Rp11 Triliun, tak mencapai dari yang disebutkan oleh Presiden Jokowi.

Pandangan tersebut tentunya menuai banyak spekulasi hingga menjadi perbincangan publik terkait pemberitaan yang diisukan bohong itu.

Anthony Budiawan membeberkan bahwa subsidi yang besar ini bukanlah BBM, akan tetapi subsidi LPG sebesar Rp66 Triliun dan subsidi listrik sebesar Rp55 Triliun.

"Subsidi adalah kerugian yang harus diganti pemerintah karena menetapkan harga jual di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) dan Bukan Di Bawah Harga Internasional,” beber Budiawan saat dikonfirmasi Law-justice.

Anthony Budiawan membantah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan bahwa subsidi BBM pemerintah sebesar Rp502 Triliun.

Jumlah itu disebut sudah terlalu besar sehingga pemerintah dalam waktu dekat ini diisukan akan mengurangi subsidi BBM serta menaikan harga BBM Pertalite dan Solar.

“UUD Pasal 23 mewajibkan APBN ditetapkan melalui UU. Artinya, Perpres APBN, tanpa dasar UU, bertentangan dengan UUD, walaupun atas dasar Perppu, Apapun dasarnya, pemerintah harus bisa tunjukkan nilai subsidi BBM Rp502 triliun," ucapnya.

Anthony menegaskan bila pemerintah harus bertanggung jawab dan jujur terkait nilai subsidi BBM.

Anthony menyebutkan subsidi yang diberikan untuk BBM hanya sekitar Rp 11 triliun tidak mencapai dari yang disebutkan oleh Presiden Jokowi.

Namun, sangat disayangkan di dalam UU APBN 2022 tersebut tidak disebut berapa nilai dana kompensasi.

Selain itu Anthony menyebut pemerintah telah membuat rakyat bingung karena tidak ada angka pasti dan transparan soal ini.

Pasalnya, rakyat hanya diminta percaya begitu saja kepada pemerintah yang sebetulnya sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat.

"Untuk hal sepenting ini, menguasai hajat hidup orang banyak, pemerintah harus terbuka dan transparan dengan memberikan perhitungan subsidi BBM, LPG dan listrik yang sangat terperinci. Tanpa itu, klaim subsidi BBM, LPG, dan listrik tidak bisa diterima," ujarnya.

Senada dengan Anthony, Pengamat Energi Marwan Batubara yang juga merupakan koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) meminta pemerintah untuk jujur.

Marwan secara tegas menolak dengan tegas rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM.

Memang pada dasarnya, kenaikan harga BBM itu merupakan hal yang wajar terjadi karena Indonesia telah menjadi negara net-importir sejak tahun 2004.

"Yang kita konsumsi lebih banyak daripada kita produksi," kata Marwan kepada Law-Justice.

Marwan menegaskan bila ini sebenarnya bisa diatasi dengan dilakukan kontrak jangka panjang supaya harga minyak dapat lebih murah.

Dengan begitu maka tidak perlu mengikuti harga fluktuasi yang tinggi. Sehingga semua juga akan mengetahui seperti apa skemanya.

"Harus kita gugat ini, kenapa tidak kontrak-kontrak yang panjang? Karena di situ ada mafia yang bermain. Nah nanti beli harga pasar, harga pasarnya itu kita bisa ada tambahan semacam uang premannya, berapa dollar per barel misalnya," tegasnya.

Marwan menyatakan bila kontrak jangka panjang sebenarnya dapat dilakukan sejak Sudirman Said menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Termasuk juga upaya pembangunan kilang baru yang tidak ada sampai sekarang meski telah ditandatanganinya berbagai MoU atau Nota Kesepahaman.

Serta di zaman Presiden Joko Widodo ada Refining Development Master Plan (RDMP), yaitu master plan untuk membangun kilang.

"Tapi intinya, ini juga tidak jalan, kenapa bisa begitu? Karena mafia berkepentingan untuk kita terus mengimpor (minyak). Yang kedua karena Singapura juga berkepentingan untuk kita terus impor. Ketiga, kilang minyak Singapura itu ada dua pusat, ada Exxon ada Shell," paparnya.

Marwan mengatakan bila ini juga merupakan faktor bagaimana mafia bisa berperan dan ada tiga setelah bicara kontrak jangka panjang.

Beli minyak tidak transparan, beli BBM juga sama tidak transparan, bangun kilang juga tidak.

"Jadi, dengan seperti ini sebetulnya, kebijakannya itu tidak lepas dari kepentingan mafia di satu sisi dan komitmen pemerintah di sisi lain," katanya.

Marwan memberikan catatan penting bahwa dengan mengutip laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Marwan mengatakan yang dinikmati oleh keluarga miskin hanya 5 persen untuk solar dan 16 persen untuk pertalite bersubsidi.

Namun, Marwan menuturkan hal tersebut menjadi miris karena pemerintah tidak ada komitmen untuk memberantas mafia.

"Saya juga mencatat tentang ada kasus `Papa minta saham`. Ketemu ada nama orang tertentu yang dicurigai sebagai mafia. Orang ini jadi buron, lari ke London. Kalau memang mau memberantas mafia, mestinya kan dikejar. Tapi, ternyata beberapa bulan kemudian, pak Jokowi dengan orang ini, ada di acara Nasdem," tuturnya.

Dirinya juga menjelaskan tidak dapat berjalannya sistem harga berkelanjutan juga disebabkan karena pemerintah melakukan pencitraan politik di tengah tahun-tahun politik.

Tidak sekedar mengkritik pemerintah, Marwan turut memberikan solusi terhadap masalah BBM.

Ia menyarankan solusi yang berkelanjutan, salah satunya dengan subdisi tepat sasaran yang dapat dilakukan dengan teknologi informasi (TI).

Marwan juga mencoba menggaungkan masalah BBM menjadi isu bersama yang harus segera diselesaikan.

"Ini bukan isu antara oposisi dan yang berkuasa. Jadi usulnya adalah jadikan ini isu bersama, jangan dipakai untuk kepentingan politik, hilangkan yang namanya mafia-mafia sesuai komitmen Jokowi. Jangan justru bilang mau memberantas, tapi faktanya berteman dengan mafia," ungkapnya.

Marwan meminta supaya pemerintah terbuka secara adil dan benar dalam menangani BBM.

Presiden juga harus berkomitmen untuk bisa memberantas mafia ini supaya semua dapat terjawab secara jelas.

"Jika tidak ada mafianya, ya buka saja kan kita mau transparan. Jangan ada praktik-praktik mafia yang sudah berlangsung sampai saat ini," ujarnya.

Pemerintah Buka Suara
Belum lama ini, memang pemerintah terus memberikan signal bakal adanya kenaikan harga BBM bersubsidi.

Namun sampai sekarang ini masih belum jelas waktu ataupun besar kenaikan tersebut bahkan sampai menimbulkan kekisruhan di kalangan masyarakat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meminta masyarakat untuk bersabar menanti keputusan resmi dari presiden Joko Widodo.

“Sabar, tunggu keputusan dari Presiden," kata Arifin melalui keterangan yang diterima oleh Law-Justice.

Arifin pun enggan berkomentar lebih jauh ketika dikonfirmasi tentang kepastian apakah penyesuaian harga dilakukan pada pekan ini atau tidak.

Belum diputuskannya kebijakan harga BBM berimbas kekisruhan di masyarakat. Selain itu tidak sedikit antrian panjang kendaraan terjadi di berbagai SPBU Pertamina.

Pemerintah sendiri telah menyiapkan skema penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai bantalan jika nanti ada perubahan mekanisme subsidi yang menyebabkan kenaikam harga BBM subsidi.

Skema subsidi energi yang tepat sasaran untuk golongan tidak masyarakat mampu mendesak untuk diterapkan.

Jika tidak, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan terus membengkak dan membebani keuangan negara.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan adanya fakta tidak tepatnya sasaran subsidi energi khususnya bahan bakar minyak (BBM).

Subsidi solar yang beredar di pasar 89%-nya dinikmati oleh dunia usaha. Adapun untuk jenis BBM penugasan jenis Pertalite subsidinya dinikmati oleh 86% kalangan mampu.

Info Pertalite hari ini beserta Solar diungkapkan oleh Sri Mulyani, bahwa BBM bersubsidi tersebut akan habis pada September untuk pertalite dan Oktober untuk BBM berjenis Solar.

Ia menjelaskan mengenai info pertalite, bahwa pada tahun 2022 pemerintah telah menetapkan kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta kiloliter (KL), tetapi diluar dugaan konsumsi Pertalite di masyarakat hingga Juli 2022 sudah mencapai 16,84 juta KL.

"Setiap bulan (konsumsinya) 2,4 juta KL. Kalau ini diikuti, bahkan akhir September ini habis untuk (kuota) Pertalite," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI beberapa waktu lalu.

Sementara angka 14,91 juta KL untuk BBM berjenis Solar telah ditetapkan tahun 2022 oleh pemerintah, tetapi realisasi konsumsinya sudah mencapai 9,88 juta KL hingga Juli 2022.

Jika mengikuti tren konsumsi tersebut maka diperkirakan sebelum akhir tahun kuota Solar habis di bulan Oktober dan Pertalite habis di bulan September.

Sri Mulyani mengatakan hanya sedikit dari anggaran subsidi dan kompensasi BBM yang dinikmati oleh orang miskin.

Ia menyampaikan bahwa konsumsi Pertalite dan Solar yang sudah hampir memenuhi batas kuota itu, lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.

Besaran anggaran untuk alokasi Pertalite sebesar Rp93 triliun dan alokasi untuk Solar sebesar Rp 143 triliun, dari anggaran subsidi dan kompensasi energi yang telah ditetapkan tahun ini yakni sebesar Rp 502,4 triliun.

Sayangnya, anggaran Pertalite dan Solar itu malah lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dengan daya ekonomi mampu, dan lebih memilih mengkonsumsi BBM bersubsidi.

"Solar dalam hal ini dari Rp 143 triliun itu sebanyak 89 persen atau Rp 127 triliunnya yang menikmati adalah dunia usaha dan orang kaya," ungkap dia.

Begitu pula dengan Pertalite dari alokasi anggaran Rp 93 triliun, sekitar Rp 83 triliun dikonsumsi oleh orang kaya. Artinya, masyarakat yang memang berhak mendapat subsidi dan kompensasi energi hanya menikmati sedikit.

"Dari total Pertalite yang kita subsidi itu Rp 83 triliunnya dinikmati 30 persen terkaya," katanya.

Ia mengatakan jika BBM bersubsidi pada akhirnya dikonsumsi oleh orang kaya, artinya negara memberikan barang subsidi kepada mereka yang tidak berhak menerimanya, tidak tepat sasaran.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah berupaya membuat kebijakan agar konsumsi Pertalite dan Solar dapat tepat sasaran.

Dampak dari penggunaan energi bersubsidi yang tidak tepat sasaran yakni anggaran subsidi dan kompensasi energi bisa bertambah Rp 198 triliun jika tidak adanya kebijakan pengendalian dari pemerintah.

"Memang orang-orang yang tidak mampu dan miskin tetap juga menikmati barang itu namun porsinya kecil. Ini yang perlu untuk kita pikirkan nambah ratusan triliun, berarti kita menambah (subsidi) yang sudah mampu makin banyak lagi," tutupnya.

BPK Pantau Anggaran Subsidi BBM
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Achsanul Qosasi dalam keterangan di akun Twitter pribadinya beberapa waktu lalu menyebut bahwa pemerintah berhasil turunkan subsidi bbm.

"Yang pasti pemerintah telah berhasil turunkan subsidi BBM dari Rp 210 triliun menjadi Rp 79 triliun, dalam 5 tahun," ujar Qosasi.

Menurutnya, pemangkasan subsidi BBM oleh pemerintah secara tidak langsung telah membebankan biaya subsidi kepada masyarakat.

Bentuk pemangkasan tersebut, dilihat Qosasi, tidak secara langsung. Melainkan melalui kebijakan realokasi penggunaan jenis BBM oleh masyarakat yang beberapa bulan ke belakang terjadi.

"Awalnya, Pertalite ini didesain direksi lama untuk mengurangi konsumen Premium. Premium dibatasi, Pertalite digenjot. Dan sekarang Pertalite juga dibatasi. Memaksa rakyat pindah ke Pertamax," tuturnya.

Meski sampai saat ini Pertamina belum sepenuhnya menghilangkan Petralite, akan tetapi ada potensi perubahan kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menghapus penggunaannya, dan mengalihkan masyarakat untuk menggunakan Pertamax.

"Pergeseran ke Pertamax pasti suatu saat terjadi, dan Pertamax akan bersaing dengan Shell, Total, Vivo, AKR. BBM pasar bebas," katanya.

"Artinya, selama 5 tahun rakyat membantu Pertamina (negara) Rp 20 triliun per tahun. Tak ada gaduh, semua dilakukan demi membantu negara. Sebuah harmoni yang seharusnya," pungkas Qosasi.

Kompensasi Dana Subsidi Capai Rp93 Triliun
Pemerintah pada 1 Juli 2022 ini mencairkan dana kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) atas penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleun Gas (LPG) Subsidi senilai Rp 64,5 triliun. Dana kompensasi itu merupakan dana yang telah dikeluarkan Pertamina sejak tahun 2021.

Di April 2022 kemarin, pemerintah juga sudah mencairkan dana kompensasi kepada Pertamina senilai Rp 29,0 triliun. Dengan begitu, total dana kompensasi yang diperoleh oleh Pertamina sampai pada Juli 2022 ini mencapai Rp 93,5 triliun.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi atas pembayaran kompensasi yang dilakukan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Pembayaran tersebut akan berdampak positif pada keuangan Pertamina dalam menjaga ketahanan energi nasional.

"Pembayaran (kompensasi) ini dapat memperkuat cashflow untuk menjaga ketahanan energi nasional. Ini bentuk ketulusan dan dukungan penuh Pemerintah untuk menjadikan Pertamina semakin kuat dan mampu menjalankan tugas Negara dalam melindungi data beli masyarakat dari terpaan langsung harga minyak mentah dunia," ucap Nicke dalam keterangan resminya.

Dukungan besar ini, lanjut Nicke juga terlihat dengan adanya kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk penambahan Subsidi sebesar Rp 71,8 Triliun dan Kompensasi BBM Rp 234 Triliun.

Sehingga total subsidi dan kompensasi menjadi Rp 401,8 Triliun pada tahun 2022 (asumsi harga minyak mentah Indonesia / ICP USD 100 per barrel).

Hal ini merupakan upaya Pemerintah dan Pertamina dalam penyediaan dan penyaluran BBM dan LPG bersubsidi yang sangat diperlukan oleh masyarakat miskin, menengah, rentan dan UMKM. Hal ini juga merupakan wujud Negara hadir untuk melindungi masyarakat.

Menurutnya, upaya Pemerintah menghadapi tantangan harga minyak mentah ini luar biasa, apalagi bila dibandingkan dengan Negara lain. Hal ini terlihat dari harga BBM Indonesia yang termasuk dua terendah di seluruh dunia.

Atas kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut, masyarakat perlu berterima kasih dengan lebih berhemat dalam menggunakan BBM & LPG.

BBM & LPG Subsidi hanya diperuntukan utk masyarakat miskin, sehingga masyarakat mampu agar beralih menggunakan BBM & LPG non subsidi.

Untuk itu, kata Nicke Pertamina semakin termotivasi untuk melanjutkan berbagai program efisiensi dan terobosan di seluruh lini bisnis yang telah diinisiasi sehingga sepanjang tahun 2021 menghasilkan penghematan sebesar US$ 1,3 miliar. Menurutnya, capaian efisiensi ini menjadi motivasi dan akan terus berlanjut di tahun 2022.

"Pertamina akan menjalankan amanah dari pemerintah dengan terus memperkuat tata Kelola penyaluran BBM dan LPG agar lebih tetap sasaran antara lain dengan pendaftaran kendaraan di website MyPertamina," imbuh Nicke.

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar