Bermasalah, Jokowi Didesak Batalkan Keppres soal Pelanggaran HAM Berat

Rabu, 17/08/2022 19:24 WIB
Dalam aksinya mereka menuntut Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma`ruf Amin  untuk segera mengungkap tindak pelanggaran HAM berat masa lalu. Robinsar Nainggolan

Dalam aksinya mereka menuntut Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma`ruf Amin untuk segera mengungkap tindak pelanggaran HAM berat masa lalu. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

Alasannya menurut Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dengan ditekennya Keppres ini maka penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak sesuai dengan UU.

Seperti diketahui, belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Di situ kita bisa melihat bahwa sebetulnya tugas-tugas negara untuk memenuhi pilar-pilar keadilan dan juga bagaimana kewajiban negara dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sesuai dengan amatan UU Nomor 26 tahun 2000 (tentang Pengadilan HAM) itu tidak lagi dilaksanakan," ujar Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dalam diskusi yang dilakukan KontraS, Rabu (17/8/2022).

Kata dia, Keppres tersebut dinilai dibikin diam-diam.

Menurut Fatia, bukan hal baru ketika Jokowi membuat aturan maupun kebijakan secara diam-diam.

Fatia mengatakan aturan yang dibuat tersebut pada akhirnya tidak representatif dan menguntungkan para pelaku. Sebab, perwakilan keluarga korban tidak dilibatkan.

Sementara itu pada kesempatan yang sama, Keluarga Korban Tragedi Semanggi 1, Maria Catarina Sumarsih menilai Keppres tersebut mengukuhkan impunitas (kondisi tidak dapat dipidana).

Sumarsih juga menilai hal ini sebagai upaya untuk memutihkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Jadi memang sejak dulu banyak pihak yang menginginkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu diputihkan," kata Sumarsih.

Dia juga menilai Keppres yang diteken Jokowi sehari sebelum HUT ke-77 RI ini dapat menutup tuntutan dan upaya keluarga korban dalam mencari keadilan.

Senada dengan Fatia dan Sumarsih, Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin, menilai Keppres menghilangkan upaya korban maupun keluarga yang selama ini mencari keadilan.

Zainal juga menyebut secara tidak langsung, Jokowi mengesamingkan proses dan pertimbangan hukum di Mahkamah Konstitusi.

Poin keberatan mereka adalah jalur non-yudisial yang ditetapkan dalam Keppres ini, bukan jalur yudisial sebagaimana diharapkan koalisi masyarakat sipil dan pihak korban pelanggaran HAM berat.

"Ini seakan-akan hak korban untuk mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi itu seakan-akan menjadi ganti dari proses pidana, padahal selama ini kalau kita bicara soal korban pelanggaran HAM berat masa lalu mengalami stigma yang sedemikian rupa. Tidak hanya stigma, dalam prosesnya juga terhambat hak-hak untuk mendapat pelayanan hukum, tidak diberikan akses atau aksesnya dibatasi, saya rasa itu kerugian besar," kata Zainal.

KontraS juga menyampaikan beberapa poin dalam menyikapi Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

Salah satu diantaranya adalah meminta Jokowi untuk membatalkan Keppres hingga meminta Jokowi memerintahkan Jaksa Agung segera menindak lanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Berikut isi desakan KontraS terkait Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu:

1. Presiden RI Membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu;

2. Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;

3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc atas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu;

4. Pemerintah dan DPR RI membahas RUU KKR dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) khususnya penyintas dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat sesuai dengan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No.006/PUU-IV/2006;

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar