Dibui Akibat Protes Anti Rasis, RI Harusnya Bebaskan Aktivis Papua

Selasa, 16/08/2022 11:20 WIB
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) menggelar aksi perayaan 60 tahun deklarasi kemerdekaan Papua Barat di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (1/12). Mereka menuntut agar pemerintah dapat segera menarik aparat militer atau TNI yang diterjunkan di Bumi Cendrawasih. Robinsar Nainggolan

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) menggelar aksi perayaan 60 tahun deklarasi kemerdekaan Papua Barat di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (1/12). Mereka menuntut agar pemerintah dapat segera menarik aparat militer atau TNI yang diterjunkan di Bumi Cendrawasih. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah Indonesia harus segera mencabut tuduhan makar bermotif politik dan membebaskan orang Papua yang ditahan karena pelaksanaan hak-hak mereka secara damai di provinsi Papua dan Papua Barat, kata Human Rights Watch hari ini.

Pada 17 Agustus 2019, massa rasis yang terdiri dari pasukan keamanan dan anggota kelompok militan menyerang mahasiswa di asrama universitas Papua Barat di kota Surabaya, Java Timur. Tiga tahun kemudian, pihak berwenang Indonesia terus membuat penduduk asli Papua mengalami diskriminasi dan intimidasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan pemindahan paksa massal.

"Pasukan keamanan Indonesia selama beberapa dekade secara rutin membuat penduduk asli Papua melakukan penangkapan dan kekerasan yang salah, namun tidak pernah diadili atas pelanggaran hak-hak ini," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch, dilansir dari HNW, Selasa (16/8/2022)

"Pemerintah Indonesia harus berhenti melecehkan dan menangkap pengunjuk rasa damai Papua, dan segera membebaskan para aktivis yang dituntut karena secara damai menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul."

Rekaman video penyerangan tiga tahun lalu menunjukkan petugas meneriakkan penghinaan rasis kepada mahasiswa Papua Barat sambil memaksa masuk ke asrama dan menembakkan gas air mata.

Polisi menangkap 43 mahasiswa Pribumi Papua karena diduga gagal mengibarkan bendera Indonesia di luar asrama untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Pihak berwenang membebaskan para siswa pada hari itu juga. Namun selama hampir sebulan, para siswa harus tidur di luar asrama karena bau gas air mata yang masih tertinggal.

Protes meluas terjadi di setidaknya 30 kota di seluruh Indonesia setelah rekaman video menyebar secara online dan berita tentang acara tersebut dilaporkan. Beberapa protes berubah menjadi kekerasan, dan baik pemukim Indonesia maupun penduduk asli Papua dibunuh di tempat-tempat seperti Wamena dan Jayapura. Pihak berwenang Indonesia menanggapi protes di bulan-bulan berikutnya dengan menangkap setidaknya 22 pengunjuk rasa damai atas tuduhan makar.

Situasi hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat terus memburuk di tengah iklim meningkatnya pertempuran antara pemberontak pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia.


Hampir dua tahun setelah ditangkap, Victor Yeimo, 39, juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), masih ditahan polisi. Polisi menangkapnya pada 9 Mei 2021 di Jayapura dan menuduhnya makar karena menyerukan referendum kemerdekaan selama protes anti-rasisme setelah serangan di Surabaya. Setelah penangkapan Yeimo, media melaporkan bahwa hingga 130 pengunjuk rasa ditangkap di ibukota Papua Barat, Manokwari.

Selama di penjara, Yeimo tidak diberi akses ke perawatan medis vital, dan akibatnya, pada Agustus 2021, kesehatannya memburuk ke tingkat yang mengancam jiwa. Dia didiagnosis menderita tuberkulosis setelah penangkapannya, dan baru-baru ini dirawat di rumah sakit untuk penyakit itu.

Pada bulan September 2021, pelapor khusus PBB untuk pembela hak asasi manusia, Mary Lawlor, secara terbuka menyatakan keprihatinannya kepada pihak berwenang Indonesia mengenai tuduhan terhadap Yeimo dan pengabaian kebutuhan medisnya.

Dalam surat 26 Juni 2020 kepada pemerintah Indonesia, sekelompok pelapor khusus PBB menyuarakan keprihatinan mereka tentang pelecehan, intimidasi, dan kriminalisasi para pembela hak asasi manusia di Papua. Mereka juga mengangkat dugaan tindakan intimidasi terhadap Wenislaus Fatubun, penasihat komunikasi resmi Majelis Rakyat Papua. Polisi Indonesia menangkap Fatubun pada 17 November 2020, bersama 84 orang lainnya, menjelang serangkaian pertemuan yang diselenggarakan oleh MPR di Merauke. Dia dibebaskan keesokan harinya.

Pemerintah Indonesia berturut-turut, termasuk pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, telah berusaha untuk menghentikan gerakan kemerdekaan Papua dengan meningkatkan pasukan dan polisi Indonesia di wilayah tersebut. Pihak berwenang secara teratur melanggar hak orang Papua atas kebebasan berekspresi dan berserikat, termasuk dengan menjadikannya sebagai pelanggaran pidana untuk mengibarkan bendera "Bintang Kejora" Papua, yang melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia adalah salah satu pihak.

Pada 15 Agustus, jaksa menuntut hukuman satu tahun untuk tujuh mahasiswa Papua yang ditahan sejak 1 Desember 2021 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora. Mereka adalah Melvin Yobe, 29; Melvin Fernando Waine, 25; Devio Tekege, 23; Yosep Ernesto Matuan, 19; Maksimus Simon Petrus You, 18; Lukas Kitok Uropmabin, 21; dan Ambrosius Fransiskus Elopere, 21.

Pada 1 Maret, pakar PBB kembali menyatakan keprihatinan, menyerukan penyelidikan independen atas laporan bahwa pasukan keamanan Indonesia telah melecehkan penduduk asli Papua, dan agar pihak berwenang Indonesia mengizinkan akses kemanusiaan tanpa batas ke wilayah tersebut.

Pada bulan Juni, pihak berwenang menangkap 44 pengunjuk rasa yang secara damai memprotes rencana kontroversial pihak berwenang Indonesia untuk menciptakan tiga provinsi baru di Papua. Banyak aktivis memandang ini sebagai upaya pemerintah untuk "membagi dan menaklukkan" identitas dan gerakan Adat Papua.

Alih-alih berusaha untuk mengurangi ketegangan dan menanggapi kekhawatiran masyarakat adat di Papua, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk lebih membagi wilayah tersebut dengan memecah provinsi Papua menjadi empat provinsi terpisah. Aktivis menyuarakan keprihatinan bahwa rencana ini akan mengarah pada peningkatan militerisasi Papua sementara memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar atas wilayah yang kaya sumber daya tersebut.

Human Rights Watch tidak mengambil posisi atas klaim Papua atas penentuan nasib sendiri, tetapi mendukung hak setiap orang, termasuk pendukung kemerdekaan, untuk mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai tanpa takut ditangkap atau bentuk pembalasan lainnya.

"Pada peringatan ketiga serangan tahun 2019 yang menjijikkan, pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa menangkap dan memenjarakan aktivis Papua yang damai melanggengkan masalah dan kerusuhan," kata Robertson.

"Operasi polisi dan militer Indonesia harus dilakukan secara sah dan dengan cara yang menghormati dan menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berserikat bagi penduduk Pribumi."

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar