Catat, Ini Sejumlah Sinyal Harga Pertalite Bakal Segera Naik

Minggu, 14/08/2022 08:25 WIB
Ilustrasi: Petugas SPBU melayani masyarakat dengan mengisi BBM jenis Pertalite. (Foto: Antara)

Ilustrasi: Petugas SPBU melayani masyarakat dengan mengisi BBM jenis Pertalite. (Foto: Antara)

Jakarta, law-justice.co - Hingga saat ini, sejumlah sinyal dari pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pertalite kian kuat.

Tanda-tanda itu pun mulai diperlihatkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pembantunya.

Yang terkini, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia mengatakan kemungkinan kenaikan harga pertalite terbuka mengingat harga minyak dunia sekarang ini cukup tinggi.

Per Jumat ini saja misalnya, harga minyak mentah jenis Brent naik US$2,20, atau 2,3 persen menjadi US$99,60 per barel.

Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup naik US$2,41, atau 2,6 persen menjadi US$94,34 per barel.

Berikut sejumlah sinyal yang makin memperkuat bahwa pemerintah bakal segera menaikkan harga Pertalite seperti melansir cnnindonesia.com:

1. Harga Minyak Dunia Melambung

Bahlil menyebut harga minyak mentah saat ini jauh di atas asumsi APBN 2022 yang hanya US$63 hingga US$70 per barel.

"Sekarang harga minyak dunia rata-rata dari Januari sampai Juli US$105 per barel. Hari ini kalau US$100 per barel subsidi kita itu bisa mencapai Rp500 triliun. Tetapi kalau harga minyak per barel di US$105 kemudian dengan asumsi kurs dollar APBN rata-rata Rp14.750 dan kuota kita dari 23 juta kilo liter menjadi 29 juta maka terjadi penambahan subsidi," katanya dalam konferensi pers Jumat (12/8).

Bahlil mengatakan pemerintah masih menghitung semua kemungkinan terkait jebolnya kuota subsidi BBM itu.

Hasil perhitungan sementara menunjukkan, anggaran yang dibutuhkan untuk subsidi BBM mencapai Rp500 triliun sampai dengan Rp600 triliun.

Dia menambahkan kalau ini terjadi APBN lama-lama akan bermasalah. Pasalnya anggaran Rp500 triliun hingga Rp600 triliun mencapai 25 persen dari total APBN.

"Jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat rasa-rasanya sih untuk menahan terus harga BBM seperti sekarang, feeling saya (tidak kuat). Ini tidak sehat. Mohon pengertian baiknya. (Jadi) harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," katanya.

2. Subsidi Terancam Jebol

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan subsidi energi berpotensi tembus Rp1.000 triliun tahun ini.

Arifin mengungkapkan proyeksi itu dihitung dengan skenario terburuk jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mencapai US$200 per barel.

Terakhir, Kementerian ESDM menetapkan ICP turun US$10,89 dari US$117,62 per barel menjadi US$106,73 per barel pada Juli 2022.

"Kalau worst case bisa jadi US$200 per barel. Kalau jadi US$200 per barel, kalikan saja sekian triliun (subsidi energi saat ini) kali dua saja. Gampang-gampangnya begitu," ujar Arifin.

Jika mengikuti skenario Kementerian ESDM dengan asumsi ICP bakal tembus US$200 per barel, maka subsidi energi berpotensi bengkak mencapai lebih dari Rp1.000 triliun.

Potensi pembengkakan itu juga ternyata disadari betul oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Ia menyebut pemerintah saat ini tengah menghitung ulang kebijakan subsidi BBM.

Rencana itu pun muncul terkait subsidi yang selama ini masih banyak `dimakan` orang kaya.

"Apakah subsidi yang sekarang diberikan pemerintah sudah tepat sasaran? Apakah kita harus menutup mata memberikan subsidi kepada yang mampu, sedangkan rakyat yang mayoritas memerlukan subsidi lebih, ini yang sedang dicarikan jalan oleh pemerintah, menkeu, menteri ESDM," katanya.

Selain itu, evaluasi kebijakan subsidi BBM juga dilakukan terkait perkembangan harga minyak dunia belakangan ini.

"Khususnya harga BBM, pemerintah sudah memberikan subsidi sampai Rp520 triliun, itu untuk BBM dan listrik. Saya rasa tidak banyak negara seperti itu. Tapi saya lihat harganya tidak turun turun, makanya ini jadi pemikiran," imbuh Erick.

3. Berat Tahan Harga BBM

Beban subsidi ini pun dirasakan langsung oleh Jokowi. Dia mengatakan upaya pemerintah untuk menahan harga BBM cukup berat.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura dan Jerman, harga BBM di Indonesia masih tergolong murah.

Di Singapura harga bensin mencapai Rp27 ribu per liter. Sedangkan di Jerman, harga BBM mencapai Rp31 ribu per liter.

"Kita ini Pertalite Rp7.650 (per liter), Pertamax Rp12.500 (per liter). Negara lain sudah jauh sekali. Kenapa harga kita masih seperti ini ? Karena kita tahan terus, tapi subsidi makin besar. Sampai kapan kita begini? Ini PR kita semua, menahan harga itu berat," kata Jokowi.

Dalam kesempatan lain, dia mengatakan tidak ada negara mana pun yang sanggup menyubsidi BBM hingga Rp502 triliun seperti Indonesia.

"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 triliun sekarang sudah Rp502 triliun. Negara mana pun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi.

Untuk mencegah agar beban subsidi itu tak semakin berat, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta PT Pertamina (Persero) segera mengendalikan konsumsi BBM subsidi.

"Tentu saya berharap Pertamina untuk betul-betul mengendalikan volumenya, jadi supaya APBN tidak terpukul," ujar Ani, sapaan akrabnya.

Dia menuturkan peningkatan volume penyaluran BBM bersubsidi yang di luar kontrol dapat menyebabkan alokasi subsidi dan kompensasi energi melebihi dari pagu anggaran APBN yang sebesar Rp502 triliun pada tahun ini.

"Meskipun APBN-nya bagus, surplus sampai Juli, tapi tagihannya nanti kalau volumenya tidak terkendali akan semakin besar di semester dua," ujar Ani.

Sementara itu, mengutip data Pertamina penyaluran bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter (kl) hingga Juli 2022. Artinya kuota pertalite hingga akhir tahun hanya tersisa 6,25 juta kl dari total kuota yang ditetapkan tahun ini, 23,05 juta kl.

Lalu, penyaluran BBM subsidi jenis solar telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Dengan demikian, sisa kuota solar hingga akhir tahun hanya tersisa 5, juta kl dari total kuota 15,1 kl.

Secara terpisah, Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan jika tidak dibatasi, maka kuota BBM subsidi yang sudah ditetapkan bakal habis sebelum akhir tahun.

Apalagi, sejak harga pertamax naik, tren konsumsi BBM subsidi menanjak karena banyak masyarakat yang beralih ke pertalite.

"Tentu jika tidak dikendalikan maka kita akan hadapi solar habis di Oktober atau November. (Pertalite) juga, jika tidak dilakukan pengendalian maka kita prognosa di akhir 2022 kuota kita akan di atas realisasi," kata Saleh.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar