Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menghakimi Hakim MK yang Kebingungan Menangani Perkaranya

Senin, 08/08/2022 06:12 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sebuah peristiwa unik terjadi saat digelarnya sidang perdana uji materi Pasal 222 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen pada Selasa (26/7/22).

Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan permohonan gugatan yang diajukan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) tersebut menuai kontroversi karena salah satu hakim Mahkamah Konsititusi (MK) yaitu Enny Nurbaniningsih mengaku bingung karena PKS kok ikut ikutan menggugat aturan tersebut ke MK.

Kebingungan itu disampaikanya karena ia  menilai PKS menjadi salah satu partai politik yang turut serta membahas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di DPR bersama sama dengan pemerintah sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi legislasinya.

Tak hanya itu, PKS juga menjadi parpol yang ikut pemilu dengan menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang digugatnya. Oleh karena itu, Enny meminta kepada PKS agar membangun argumentasi yang kuat terkait gugatan yang diajukannya.

Karuan saja pernyataan dari salah satu hakim MK yang kontoversial tersebut memunculkan tanggapan yang cukup ramai di media massa. Karena mencerminkan kondisi yang ada di kelembagaan MK saat ini yang dinilai publik memang  sedang tidak baik baik saja.

Untuk sekadar diketahui, akhir akhir ini MK memang sering mendapatkan julukan yang kurang enak didengar di telinga seperti disebut sebagai Mahkamah Kasur, Makahkamah Kompromi ada juga muncul julukan  sebagai Mahkamah Keluarga.

Lalu apakah kebigungan sang Hakim MK yang menyoal gugatan PKS terkait dengan pasal 22 UU No. 7/2017 tentang Pemilu tersebut sudah pada tempatnya ?, Persoalan apa yang kiranya sedang mendera MK terkait dengan kebingungan para hakimnya ?

Kebingungan Yang Membingungkan

Kebingungan yang dirasakan oleh seorang hakim Mahkamah Konstitusi ketika menyikapi gugatan yang diajukan oleh PKS terkait dengan Undang Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu khususnya pasal 222 tentunya telah membuat bingung kita semua. Bagaimana tidak, selama ini MK telah berulang kali mendapat perkara terkait dengan gugatan pasal 222 .

Gugatan yang diajukan oleh kelompok masyarakat terkait dengan ambang batas 20 persebut tersebut di tolak oleh MK dengan alasan yang terkesan mengada ada. Untuk diketahui gugatan itu antara lain diajukan olehmantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay.Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Angga Dwimas Sasongko, seorang sutradara.

Selain itu, ada Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, ekonom senior Rizal Ramli, Profesional Hasan Yahya dan yang lain lainnya.

Ada juga sejumlah perorangan warga negara, di antaranya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Tak ketinggalan anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris, La Nyalla Mattaliti, Yustil Ihza Mahendra  dan yang lain lainnya.

Semua gugatan yang diajukan oleh para pemohon tersebut di tolak oleh MK. Macam macam alasan yang dikemukakan untuk penolakannya. Dianta alasan yang sering di dalilkan oleh MK adalah karena  orang atau Lembaga penggugat dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonannya.  MK menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga mahkamah tidak dapat menerima permohonannya.

MK menegaskan, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik bukan yang lainnya. Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik yang menjadi pengusungnya

Sampai disini kita tentu bertanya tanya ketika seorang hakim MK menolak gugatan yang diajukan oleh PKS terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (capres) atau presidential threshold (PT) 20 persen pada hal sebagai partai politik, PKS jelas jelas memenuhi syarat sebagai Lembaga yang mempunyai legas standing untuk menggugatnya.

Alasan yang dikemukakan Enny Nurbaningsih hakim MK  yang menolak gugatan PKS karena partai ini terlibat dalam pembahasan UU NO. 7/2017 tentang Pemilu (yang didalamnya mengatur soal PT 20 persen), juga dinilai tidak tepat karena dalam proses pembahasan UU tersebut  PKS melakukan walk out. Selain itu ada Partai lain seperti Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN yang juga memperjuangkan penolakan terhadap PT 20 persen , meskipun kalah suara.

Dengan demikian ketika pengambilan keputusan dalam pengesahan Undang Undang tidak diambil secara bulat diantara fraksi di Parlemen maka berarti  ada ketidaksepahaman di dalam merumuskan kebijakan ambang batas pencalonan presiden tersebut sehingga seharusnya bisa ditangkap pesan bahwa mereka yang tidak setuju dengan Undang Undang mestinya harus dianggap wajar dan berhak untuk memajukan gugatannya ke MK.

Kalau gugatan yang diajukan oleh PKS ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi maka akan menjadi preseden yang buruk kedepannya. Sebab hal ini dikuatirkan akan memunculkan tirani mayoritas di Parlemen dimana keputusan yang telah diambil oleh Parlemen berdasarkan suara terbanyak tidak bisa di anulir oleh MK meskipun (misalnya)  Undang Undang tersebut cacat hukum baik secara subtansi maupun prosedurnya. Fenomena ini sungguh suatu yang membingungkan tentunya.

Tanda Tanya MK

Kebingungan yang mendera sebagian hakim MK mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam institusi kelembagaan MK. Diduga ada fenomena yang terjadi disana sehingga membuat hakim MK tidak leluasa menjalankan fungsi dan tugasnya. Diantara indikasinya, MK terkesan berusaha menghindar dari kewajibannya untuk mengadili suatu perkara yang berkaitan dengan kepentingan oligarki atau kepentingan penguasa.

Ditinjau dari fungsi dan tugasnya, MK adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK mengawal konstitusi dengan cara melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka sehingga hukum dapat ditegakan dengan seadil adilnya. MK antara lain berwenang menguji undang-undang terhadap UUD RI tahun 1945.

Dengan kewenangannya tersebut maka MK semestinya harus menyatakan secara tegas dan sederhana: Apakah suatu UU dalam hal pembuatannya tidak melanggar prosedur sesuai ketentuan yang ada atau tidak dan juga menyatakan apakah suatu UU materinya bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak sehingga MK tidak boleh menghindar dari kewajibannya untuk menilai suatu Undang Undang yang dihasilkan oleh Lembaga pembentuk Undang Undang baik menyangkut prosedur maupun substansinya.

Sejauh ini para Pemohon peninjauan pasal 222 Undang Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendalilkan alasan mengapa PT. 20 persen dinilai bertentangan dengan UUD 1945, diantaranya :

  1. Pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, pasal tersebut hanya mengatur soal syarat, bukan mengatur mengenai tata cara yang diamanatkan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
  2. Pengaturan mengenai syarat capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh partai politik. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur adanya syarat persyaratan oleh partai politik bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
  3. Pengusulan calon presiden dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
  4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
  5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya dinilai irasional. Oleh karenanya, pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945
  6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya dinilai telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu. Oleh karenanya pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
  7. Presidential threshold dinilai menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal. Sehingga hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
  8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena dinilai melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tetapi hakim MK berdasarkan alasan yang disampaikan oleh Pemohon tersebut berusaha untuk tidak mengadilinya. Ia  terkesan menghindar dari kewajibannya untuk memutuskan perkara dengan  menyatakan bahwa presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau akan mengubah besaran persyaratannya.

Pada hal MK  sesuai dengan kewenangannya dalam hal ini tinggal menilai/ menyatakan pendapatnya apakah secara substansi pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak dan bukan berusaha untuk menghindar dengan cara menyatakan PT. 20 persen merupakan kebijakan yang sifatnya terbuka.

Kalau soal PT. 20 persen dinilai MK sebagai kebijakan terbuka sehingga menjadi ranah pembuat Undang Undang untuk menentukan besarannya, lalu apa gunanya ada gugatan ke MK ?. Bukankah kalau dikembalikan ke pembuat Undang Undang sudah jelas peta politiknya dimana mayoritas fraksi di Parlemen bersama pemerintah yang sedang berkuasa telah memenangkan opsi untuk adanya PT. 20 persen sebagai syarat pengajuan calon Presiden atau Wakil Presiden Indonesia ?

Disini terlihat MK tidak mau direpotkan untuk menguji ambang batas pencalonan presiden karena tidak sejalan dengan kepentingan oligarki yang menjadi pendukung penguasa. Hal ini bisa dimaklumi karena bisa jadi putusan kontroversial yang terkait dengan kepentingan elite penguasa berpotensi untuk mengubah struktur jabatan Hakim  di MK.

Bisa jadi hakim hakim MK yang setuju perubahan PT. 20 Persen akan kehilangan kursinya. Mungkin fenomena inikah yang membuat hakim MK berpikir panjang untuk membuat keputusan yang   “ mengganggu” kepentingan oligarki penguasa ?

Sejauh ini dugaan MK tidak independen dan menjadi pelayan kekuasaan sudah lama terbaca sinyalnya. Sinyal itu  terbaca sejak MK berhasil memenangkan Jokowi dalam gugatan Pilpres 2019 mengalahkan pasangan Prabowo-Sandiaga. Kemudian keputusan MK terkait dengan  UU Covid 19 UU No 2 tahun 2020, begitu juga dengan UU Cipta Kerja yang sudah jelas bertentangan dengan Konstitusi ternyata masih diberi waktu hingga 2 tahun untuk keberlakuannya.Belum lagi semua gugatan terkait dengan Presidential Threshold ditolak permohohannya oleh MK.

Menurut Anis Matta, penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan. "Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara," katanya seperti dikutip media.

Sementara itu Yusril, Ketua Umum Partai PBB menyebut penolakan itu terjadi karena  MK saat ini bukan lagi  sebagai “the guardian of constitution”, melainkan telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”, begitu katanya.

Sikap yang dinyatakan oleh Anis Matta maupun  Yusril Ihza Mahendra yang menyebut MK telah menjadi alat kekuasaan karena telah menjadi kepanjangan tangan oligarki untuk menghalang-halangi warga negara mendapatkan hak konstitusinya dipilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, tentunya fenomena ini  menjadi keprihatinan kita semua.

Alhasil kalau saat ini ada sebagian hakim MK yang bingung ketika menangani perkara PT.20 persen yang dimajukan kepadanya maka rakyat saat ini juga menjadi bingung menyaksikan perilaku para hakim Mahkamah Konstitusi : untuk kepentingan siapakah sebenarnya mereka bekerja ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar