Alarm Bahaya Perbankan Nasional Akibat Praperadilan Bank Mandiri

Senin, 25/07/2022 22:15 WIB
Gedung Bank Mandiri (foto: sindonews)

Gedung Bank Mandiri (foto: sindonews)

Jakarta, law-justice.co - Sengketa kredit fasilitas antara PT Titan Infra Energy dan Bank Mandiri menuai sejumlah komentar dari berbagai kalangan. Terakhir, pihak Bank Mandiri mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan pada Senin, 11 Juli 2022.

Sekretaris Dewan Penasihat Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Adi Marwan menilai permohonan praperadilan dengan registrasi nomor perkara 59/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL itu sebagai embrio persoalan hukum baru.

"Coba bayangkan saja, kalau permohonan petitum Bank Mandiri itu diterima oleh Hakim yang terjadi adalah Pengadilan justru menghasilkan putusan hukum yang saling bertentangan," kata Adi di Jakarta, Senin, 25 Juli 2022.

Pernyataan Adi tersebut mengacu pada keputusan hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Anry Widio Laksono, pada 21 Juni 2022. Dalam putusannya pengadilan menerima tujuh dari sebelas petitum yang dimohonkan PT Titan Infra Energy.

Adi Marwan sependapat dengan dalil yang diajukan pengacara Titan Energy Haposan Hutagalung. "Tindakan penggeledahan, penyitaan hingga penutupan rekening debitur (Titan Infra Energy) dilakukan tanpa ada putusan pengadilan," kata Adi.

Menurut Adi, jika sekarang dilakukan permohonan praperadilan dan dikabulkan hakim maka kasusnya tidak selesai. Keputusan itu justru memicu problem hukum baru.

"Keputusan pengadilan seharusnya membawa angin penyelesaian dan bukannya saling mempertentangkan pihak satu dengan yang lainnya," kata Adi.


Titan Infra Energy dan Sindikasi Bank yang terdiri dari Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Credit Suise melakukan perjanjian kredit fasilitas pada Agustus 2018. Selain dokumen kontrak kredit, ada perjanjian pengelolaan rekening Cash Account Management Agreement (CAMA) yang ditandatangani pra pihak. Titan sebagai debitur dan Sindikasi Bank selaku kreditur.

"Ranah persoalan yang ada sebenarnya adalah murni pada bidang perdata," kata Adi.

Adi menyebut dalam melakukan perjanjian perikatan maka acuan utamanya adalah Kitab Undang Undang Hukum (KUH) Perdata. Setidaknya ada sejumlah pasal yang mengatur perikatan para pihak, yaitu Pasal 1320, 1338, 1238, 1243 KUHPerdata.

Kontrak antara pihak debitur dan kreditur dapat dilakukan jika memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Artinya, Bank Sindikasi termasuk Bank Mandiri telah menilai Titan Infra Energy memenuhi persyaratan.

Mulai dari objek yang diperjanjikan, kecapakapan para pihak yang terlibat, suatu sebab yang tidak dilarang, hingga yang terutama adalah kesepakatan para pihak. Saat kreditur dan debitur telah menandatangani, kata Adi, artinya mereka telah diikat secara hukum yang sah, yaitu Undang-Undang Hukum Perdata.

"Jika sudah sah maka berlakulah Pasal 1338, yaitu semua persetujuan yang dibuat secara undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya," kata Adi.

Apabila dalam pelaksanaannya Bank Mandiri menganggap debiturnya melakukan tindakan yang masuk kategori wanprestasi maka pihak tersebut harus melihat aturan tentang pasal wanprestasi dalam kontrak yang sudah ditandatangani.

"Itu sudah jelas diatur dalam Pasal 1238. Kalau benar Bank Mandiri telah mengirimkan surat teguran resmi maka PT Titan harus mematuhinya," kata Adi.

Apabila pihak debitur tidak patuh setelah mendapat surat teguran dari kreditur maka dalil yang digunakan adalah Pasal 1243 KUHPerdata. "Tidak bisa loncat ke pidana begitu saja," ucap pengacara senior yang berkantor di daerah Slipi ini.


Hal senada disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada M Hawin. Hawin mengatakan seluruh proses relasi debitur dan kreditur menggunakan alas hukum perdata. Sehingga, apabila muncul persoalan (dispute) terkait proses implementasi perjanjian saluran penyelesaian harus pada koridor hukum perdata.

Hawin lebih jauh mengupas klausul perjanjian perikatan antara Titan Infra Energy dan Sindikasi Bank. Hasilnya, menyatakan apabila muncul kelalaian dari debitur maka beleid yang digunakan adalah Pasal 1243, 1250, dan 1267 KUHPerdata.

Dia menilai keterangan pers Bank Mandiri yang beredar di media pada 1 Juli 2022 itu menggambarkan situasi perbankan nasional. Bank Mandiri menyatakan utang Titan kepada kreditur sindikasi berstatus noan performing loan alias macet.

Sejatinya masih dalam koridor perikatan perdata. Dalam kacamata perbankan persoalan kredit macet memang menjadi laten karena memengaruhi reputasi mereka.

Namun, pilihan menggunakan jalur pidana seperti yang dilakukan Bank Mandiri justru memberi kesan bahwa pihak bank cenderung mengabaikan hak perdata nasabahnya yang dilindungi Undang-Undang Hukum Perdata.

"Pihak perbankan nampaknya perlu mendapatkan pemahaman khusus terkait material hukum pidana. Jika tidak maka nasabah Indonesia dapat seenaknya dipidanakan oleh bank. Ini jadi persoalan besar," tegas Adi.

Alih-alih menempuh jalur penyelesaian sengketa perdata, Bank Mandiri justru melakukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan Bareskrim Polri pada Oktober 2021. Dalam perspektif sama artinya dengan menyalakan alarm bagi perbankan nasional.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar