Akui LRT Jabodetabek Jadi Beban, BOS KAI: Desain Awal Tak Benar

Kamis, 07/07/2022 10:56 WIB
LRT Jabodetabek jadi beban bagi PT KAI (kompas)

LRT Jabodetabek jadi beban bagi PT KAI (kompas)

Jakarta, law-justice.co - Proyek LRT Jabodetabek menjdi beban bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Menurut Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo desain awal royek tersebut tidak benar sehingga dinilainya tidak wajar.

"Desainnya memang sudah tidak benar dari awal," kata Didiek dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR RI, Rabu (6/7/2022).

Dia juga menyatakan proyek LRT ini akan menjadi beban bagi KAI.

"LRT ini akan menjadi bagian dari KAI dan ini akan menjadi beban, memang sudah ada lagi FS, dan harapan saya LRT Jabodebek ini bisa membangkitkan angkutan penumpang," tambahnya.

Didiek menjelaskan riwayat pembangunan LRT Jabodebek ini dibangun sejak 2015, yang diinisiasi oleh salah satu kontraktor dan Kemenhub. hingga akhirnya dimulai konstruksi.

Dalam perjalanannya pada 2017 kontraktor BUMN kesulitan untuk menagih ongkos pembangunan kepada pemerintah, karena proyek belum terkontrak dengan pemerintah.

"Di 2017 itu juga menteri keuangan menyatakan keuangan negara tidak memungkinkan untuk menggelontorkan Rp 29,9 triliun bangun ini, tapi disampaikan pemerintah akan membayar dengan mencicil," katanya.

Menurut Didiek hal ini juga sudah tidak sesuai dengan bisnis model yang diatur dalam Undang-Undang. karena infrastruktur dan sarana tidak terpisah pembangunannya, yang membebani operator dalam hal ini PT KAI (Persero).

"Sehingga dalam proyek ini infrastrukturnya juga harus dibangun PT KAI sehingga proyek ini memang agak aneh. Karena pemilik proyek Kementerian Perhubungan, Kontraktornya Adhi Karya, di Perpres 49 KAI sebagai pembayar," jelasnya.

"Jadi kalau dibuka anatomi dalam Perpres 49 ini memang sesuatu yang tidak wajar. namun ini dalam rangka menyelesaikan Proyek Strategis Nasional," tambahnya.

Didiek menjelaskan untuk pembangunan sarana LRT hanya dibutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun, sementara Rp 25 triliun untuk pembangunan prasarana nya. Hal ini membebani perusahaan karena perseroan harus berhutang mencapai Rp 20 triliun untuk menyelesaikan pembangunan.

"Kalau itu dari pemerintah atau APN itu nggak perlu dikembalikan nilai economic rate of return untuk masyarakat. sedangkan kalau dari kami di KAI itu investasi dari utang," jelasnya.

Sehingga untuk melakukan pengembalian utang itu harus disuntik dana oleh pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar