Makin Melemah, Rupiah Tembus Rp 15.000 Per Dolar AS, Ini Kata Menkeu

Selasa, 05/07/2022 22:32 WIB
Nilai tukar rupiah merosot (bisnis)

Nilai tukar rupiah merosot (bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Melihat data Bank Indonesia hari ini, Selasa (5/7/2022), terpantau kurs jual dolar terhadap rupiah sudah menembus Rp15.034.

Sialnya, sejumlah kalangan memperkirakan rupiah masih akan terus melemah ke depannya.

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran para investor akan kondisi perekonomian saat ini.

Bhima menilai pelemahan rupiah terjadi karena masih dibayangi sentimen negatif di pasar saham. Dua mencatat dana asing jual bersih Rp 572 miliar di seluruh pasar pada penutupan perdagangan kemarin.

"Investor memang mencermati risiko kenaikan Fed Fund Rate terhadap indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," kata Bhima.

Data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017, kata dia, juga memicu kekhawatiran akan terjadinya stagflasi. Apalagi BI masih menahan suku bunga acuan dan berimbas makin tinggi risiko di pasar.

Selain itu, cadangan devisa diperkirakan akan makin tertekan di saat arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.

Bhima berpendapat seharusnya bank sentral mulai menaikkan suku bunba acuan seiring dengan yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Fed secara agresif.

"Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit," ujarnya.

Respons Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani buka suara merespons tren pelemahan rupiah tersebut.

Dia mengatakan kondisi itu karena masih dinamisnya beberapa indikator ekonomi yang berpengaruh. Indikator-indikator tersebut terutama dari sisi keuangan, antara suku bunga atau interest rate, hingga inflasi.

"Indonesia masih dalam kondisi baik. Transaksi berjalannya cukup baik. Dalam hal ini capital flow barangkali yang terjadi karena dengan interest rate naik di AS, maka orang-orang mencari tempat mereka anggap interest rate-nya lebih tinggi," ujar Sri di Jakarta, Selasa (5/7/2022).

Dia pun menegaskan bahwa pihaknya akan tetap menjaga stabilitas ekonomi. Upaya itu akan dilakukan dengan menjaga belanja, penerimaan, dan pembiayaan.

"Kalau kita bicara stabilitas dengan growth, stabilitas tapi sisi inflasi. Kalo persoalan inflasinya dari supply side, maka kita bantu dari supply side," ungkap Sri.

Sri Mulyani menambahkan, pemerintah terus berupaya membantu dari sisi kebijakan mengenai perdagangan, investasi, ekspor impor, dan distribusi. Tujuannya, menjaga agar inflasi bisa terkendali.

"Karena itu persoalan yang terjadi dari inflasi sekarang ini. Kalau permasalahannya dari sisi demand, kita akan mengelola bersama-sama mengenai agregat demand," tutur Sri.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pihaknya berperan dalam menjaga inflasi dan menjaga daya beli masyarakat agar ekonomi makro lebih terjaga.

"Inflasi yang masih tetap terjaga tidak lepas dari upaya pemerintah untuk tidak menaikkan harga-harga energi yang disubsidi," ungkap Febrio.

Dia juga menekankan bahwa kondisi eksternal masih dalam keadaan baik, berkaca pada tren surplus neraca perdagangan yang terus berlanjut selama 25 bulan berturut-turut pada Mei 2022, sehingga kondisi transaksi berjalan masih berjalan dengan baik. Alhasi, cadangan devisa juga terjaga aman.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar