Cukai Rokok Didorong Danai Dampak Asap dan Puntungnya

Sabtu, 02/07/2022 06:55 WIB
Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - The Prakarsa mengusulkan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) turut mendanai dampak lingkungan. Pasalnya, selama ini produk hasil tembakau terutama rokok telah menimbulkan banyak dampak negatif bagi lingkungan.

Manajer Program The Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan, kerugian akibat produksi tembakau di antaranya merusak 600 juta pohon, 200 ribu hektar lahan, dan 22 miliar ton udara.

Asap rokok juga telah melepaskan 84 jute ton co2 ke atmosfer.

"Emisi CO2 saja setara dengan seperlima dari apa yang dihasilkan oleh industri penerbangan dan kerugiannya telah menyebabkan 7.000 bahan kimia beracun terbuang dan menganggu lingkungan," kata Herni di diskusi bertajuk `Alokasi Pajak Rokok bagi Lingkungan Perbaikan` yang diselenggarakan Alliancesi Jurnalis Independen (AJI), Kamis (30/6/2022) lalu.

Puntung rokok, imbuh dia, adalah sumber polusi plastik terbesar kedua di dunia. Sebab, 300 miliar bungkus rokok menghasilkan sekitar 1,8 ton kertas bekas, plastik, kertas timah dan lem. Setiap tahun secara global, ada 75 persen (4,5 triliun) puntung rokok berserakan.

"Survei perokok di Amerika Serikat pada 2012 menemukan bahwa 74,1 persen telah membuang puntung rokok setidaknya sekali dan lebih dari setengahnya mengaku menjatuhkannya ke tanah atau ke selokan atau ke saluran pembuangan," tukasnya.

Oleh sebab itu, Herni menegaskan pendanaan dampak lingkungan dari CHT mutlak diperlukan.

Soal besarannya, pemerintah perlu melakukan perhitungan untuk biaya pemulihan lingkungan dari CHT. Salah satunya, bisa dengan mempelajari dokumen dari negara lain.

"Kalau angkanya sudah ketahuan, dari sana kita bisa melihat, mengatur penambahan cukai ini untuk remedy lingkungan ini," kata Herni.


Sumbangan dari Kas Negara

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar I Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Putu Eko Prasetio mengungkapkan, hasil tembakau selama ini telah menyumbang pendapatan ke kas negara.

Tahun ini saja, per Mei 2022, realisasi pungutan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok mencapai Rp193,53 triliun.

Putu Eko mengatakan, penerimaan cukai itu memang dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) CHT.

2021, misalnya. DBH CHT dari total penerimaan cukai hasil tembakau dalam negeri mencapai 2 persen. Dari jumlah itu, 30 persen untuk provinsi penghasil tembakau, 40 persen untuk kabupaten/kota, 30 persen dibagikan ke kota/kabupaten lainnya di Indonesia.

"DBH CHT ini di-addresed atau dibagi kepada kota/provinsi penghasil tembakau," kata Putu Eko.

Tahun depan, DBH CHT akan naik menjadi 3 persen dari penerimaan cukai hasil tembakau dalam negeri. DBH CHT dibagikan 0,8 persen kepada provinsi penghasil cukai, 1,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 1 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.

Sementara itu, untuk pajak rokok yaitu sebanyak 10 persen dari cukai rokok dibagihasilkan ke daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Sebanyak 30 persen untuk pemerintah provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota.

"Penggunaan pajak rokok, paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum," tukas Putu Eko.

Lebih jauh, dia menjelaskan tarif cukai terhadap produk tembakau telah diatur secara spesifik. Perhitungannya sesuai biaya per batang rokok, sigaret, cerutu atau hasil pengolahan tembakau dan diakumulasikan dengan pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.

Putu memastikan, hampir 68 persen dari harga jual eceran yang ditetapkan menjadi milik pemerintah. Selebihnya untuk menutupi margin, biaya produksi, distribusi, dan pemasaran.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar