Batas Tiket Pesawat Bikin Babak Belur, Maskapai Desak Segera Revisi

Rabu, 29/06/2022 09:10 WIB
Pesawat Lion Air Boeing 737-800NG.(Dokumentasi Rahmad Dwi Putra)

Pesawat Lion Air Boeing 737-800NG.(Dokumentasi Rahmad Dwi Putra)

Jakarta, law-justice.co - Lion Air Group buka-bukaan kondisi bisnis dihantam kenaikan harga avtur dan menguatnya indeks dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi itu membuat biaya perawatan pesawat menjadi lebih mahal.


President Director of Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi mengatakan saat ini banyak vendor penyedia material tutup, sekalinya ada menyediakan harga lebih tinggi. Nilai tukar rupiah yang melemah juga membuat operator mesti mengeluarkan ongkos lebih besar sesuai kurs.

"Komponen yang harus kita bayar atau material, spare part, termasuk transportasi dan logistiknya itu sangat mahal sekali karena kita harus bayar dengan mata uang US$," katanya dalam RDP bersama Komisi V DPR RI, dikutip Rabu (29/6/2022)


Daniel berharap ada revisi Peraturan Menteri (PM) Nomor 20 Tahun 2019 yang mengatur formulasi perhitungan tarif batas bawah (TBB) dan tarif batas atas (TBA) untuk penetapan harga tiket pesawat. Pasalnya aturan itu disebut sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.


"PM 20 Tahun 2019 dikeluarkan pada saat sebelum pandemi COVID-19 sehingga banyak sekali revisi atau paling tidak review yang harus dilakukan, paling tidak cost operasional pesawat bisa kita reduce," tuturnya.

Selain itu, adanya peningkatan lalu lintas udara yang berpengaruh terhadap waktu tempuh membuat operator harus mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi. Daniel mencontohkan perubahan rute yang terjadi untuk penerbangan Jakarta-Tanjung Karang.

"Cengkareng ke Tanjung Karang itu yang dulu bisa kita tempuh dalam waktu 35 menit, sekarang mungkin karena ada traffic ini bisa sampai 50 menit bahkan 1 jam," bebernya.

Begitu juga dengan rute Bali-Lombok yang waktu penerbangannya berubah dan akhirnya berpengaruh ke ongkos produksi. Jika aturan yang lama tidak dikaji kembali, kata Daniel, bukan tidak mungkin jika operator penerbangan memilih menutup rute tersebut karena tidak untung.

"Bali-Lombok juga sangat rawan karena dari sisi flight time sudah berubah sehingga ini pun kalau tidak bisa di-review kembali maka kita tidak bisa, mungkin operator penerbangan lain juga tidak mau atau tidak sanggup untuk menjalankan karena dengan kondisi penumpang 100% penuh kita belum bisa ngambil profit dari situ," ujarnya.

Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Lasarus menilai kenaikan harga tiket pesawat ada faktor dari Garuda Indonesia. Pasalnya jumlah pesawat yang ada tidak sesuai dengan permintaan masyarakat yang mulai banyak.
"Harga tiket ini mahal ada faktor Garuda juga ini. Pesawatnya kurang, permintaan banyak, armada sedikit, berlaku hukum ekonomi, mahal lah harga tiket," kata Lasarus.

Pesawat Garuda Indonesia saat ini tersisa 33 unit, berbeda dengan Lion Air yang memiliki 255 pesawat. Mengingat Garuda Indonesia dinyatakan lolos dari jeratan pailit, diharapkan jumlah pesawat dapat terus ditambah.


"Sekarang Garuda nggak jadi pailit mudah-mudahan pesawatnya datang lagi banyak sehingga unitnya lebih banyak, rutenya bisa lebih banyak, kemudian pilihan bisa lebih banyak, berlaku lagi hukum ekonomi; persediaan banyak, permintaan berimbang, harga turun," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Human Capital Garuda Indonesia Arya Perwira Adileksana menjelaskan rencana jangka panjang perseroan setelah lolos dari jeratan pailit. Salah satunya yakni menambah jumlah pesawat menjadi 70 unit hingga akhir 2023.

"Saat ini di Garuda pesawat yang beroperasi 33 pesawat dari sebelumnya 142 pesawat. Kemudian di Citilink yang tadinya 51 pesawat, hari ini beroperasi 34 pesawat. Garuda akan memenuhi rencana bisnis plan paling tidak hingga akhir 2023 kami tingkatkan terus hingga 70 pesawat dan Citilink akan terus ditingkatkan terus hingga 49 pesawat," jelas Arya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar