Kata MK soal Polemik Pernikahan Beda Agama

Senin, 27/06/2022 16:24 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Polemik pernikahan beda agama kembali ramai akhir-akhir ini, bahkan Pengadilan Negeri Surabaya digugat karena mengesahkan pasangan beda agama. Saat ini pun, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang mengadili judicial review UU Perkawinan tentang pernikahan beda agama tersebut. Kali ini digugat oleh Elias Ramos Petege. Kasus ini pernah digugat juga pada 2014 dan hasilnya ditolak. Saat itu MK punya alasannya.

"Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara," demikian bunyi pertimbangan MK seperti dikutip, Senin (27/6/2022).

MK menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia.


"Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan," urai MK.

Menurut MK, perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.

"Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri," papar majelis.

Ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan," papar majelis.

Atas pertimbangan di atas, 9 hakim MK memutus bulat menolaknya. Adapun hakim konstitusi Maria Fraida Indrati meski menolak, tapi memberikan concuring opinion agar UU itu direview lagi oleh DPR. Berikut komposisi hakim tersebut:
1. Hamdan Zoelva
2. Arief Hidayat
3. Anwar Usman
4. Maria Farida Indrati
5. Aswanto
6. Patrialis Akbar
7. I Dewa Gede Palguna
8. Suhartoyo
9. Manahan MP. Sitompul

Lalu bagaimanakah nasib gugatan Elias Ramos Petege kali ini? Mayoritas hakim MK saat ini ternyata masih sama seperti dengan komposisi hakim MK pada 2014 lalu. Berikut komposisi hakim MK yang masih sama saat mengadili 2014 lalu:

1. Arief Hidayat
2. Anwar Usman
3. Aswanto
4. Suhartoyo
5. Manahan MP. Sitompul

Adapun 4 hakim MK yang baru menyidangkan judicial itu adalah:
1. Saldi Isra
2. Wahiduddin Adamas
3. Enny Nurbaningsih
4. Daniel


Akankah sikap MK akan berubah? Hanya 9 hakim MK yang tahu jawabannya. MK bisa saja mengubah putusannya. Dalam putusan `quick qount` MK menyatakan perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi.

MK mencontohkan di Amerika Serikat yang telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi. MK memberikan perumpamaan kasus pemisahan sekolah warna berdasarkan warna kulit di AS. Pada 1896, MK Amerika Serikat menyatakan hal itu bukan diskriminasi atas dasar prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama). Namun pendirian itu diubah pada 1954. Supreme Court memutuskan pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit bertentangan dengan konstitusi.

"Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan," papar Anwar Usman.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar