Selesaikan Polemik Pernikahan Beda Agama, MA Diminta Turun Tangan

Jum'at, 24/06/2022 15:45 WIB
Pernikahan beda agama (liputan6)

Pernikahan beda agama (liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Polemik penikahan beda agama hingga saat ini masih terus berlanjut. Oleh karena itu, Mahkamah Agung (MA) diminta untuk turun tangan untuk menyelesaikannya.

Polemik itu diketok usai Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan warganya yang beragama Islam menikah dengan calon pengantin wanita yang beragama Kristen.

"Ini kewenangan KY dan MA untuk menelaah putusan dan memeriksa hakim. Jangan sampai menjadi preseden lahirnya putusan-putusan yang serupa," kata ahli hukum administrasi negara, Dr Tedi Sudrajat seperti dilansir dari detikcom, Jumat (24/6/2022).

Menurut Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) itu, keabsahan pernikahan ketika tercatat di KUA dan Disdukcapil. Dasar keabsahannya harus memenuhi 3 unsur yaitu wewenang, substansi dan prosedur.

"Adapun ketiga unsur tersebut diatur tegas dalam UU Administrasi Kependudukan dan UU Perkawinan," ujar Tedi.

Dalam konteks kenegaraan, kata Tedi, perkawinan merupakan bagian dari hukum publik. Ada hubungan antara negara dengan warga negara.

"Di dalamnya terdapat tindakan hukum pemerintahan bersegi satu berupa proses pencatatan oleh pemerintah sebagai pengakuan perkawinan guna pemenuhan hak, pada saat dan setelah perkawinan," ungkap Tedi.

Nah, penetapan PN Surabaya baru-baru ini dinilai kembali membelah publik soal pernikahan beda agama. Oleh sebab MA harus turun membuat solusi karena bisa berbuah preseden di banyak tempat.

"Bisa dengan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perkawinan Beda Agama," ucap Tedi mengusulkan.

Penetapan PN Surabaya itu diketok oleh hakim tunggal Imam Supriyadi. Mengapa Imam membolehkan kedua pasangan beda agama itu menikah? Berikut alasannya:

1. Menimbang, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya;

2. Menimbang, bahwa dari fakta yuridis tersebut di atas bahwa Pemohon I memeluk agama Islam, sedangkan Pemohon II memeluk agama Kristen adalah mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

3. Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan Pasal 28 B ayat 1 UUD 1945 ditegaskan, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, di mana ketentuan ini pun sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;

4. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan surat bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa Para Pemohon sendiri sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan, di mana keinginan Para Pemohon tersebut telah mendapat restu dari kedua orang tua Para Pemohon masing-masing;

5. Menimbang, bahwa oleh karena pada dasarnya keinginan Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan mengingat pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan hak asasi Para Pemohon sebagai warga negara serta hak asasi Para Pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing, maka ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama;

6. Menimbang, bahwa tentang tata cara perkawinan menurut Agama dan Kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon karena adanya perbedaan agama, maka ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan "dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi";

7. Menimbang, bahwa dari fakta yuridis yang terungkap di persidangan bahwa Para Pemohon telah bersepakat dan telah mendapat persetujuan dan ijin dari kedua orang tuanya mereka bahwa proses perkawinannya di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya dan selanjutnya mereka telah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke- Tuhanan Yang Maha Esa, maka Hakim Pengadilan menganggap Para Pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan beda agama ;
8. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka Hakim dapat memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I yang beragama Islam dengan Pemohon II yang beragama Kristen di hadapan Pejabat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, dan oleh karena itu Permohonan Para Pemohon secara hukum beralasan dikabulkan. Selanjutnya kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat perkawinan Para Pemohon dalam Register Perkawinan setelah dipenuhi syarat- syarat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

9. Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan dari Para Pemohon dikabulkan, maka segala biaya yang timbul dalam permohonan ini wajib dibebankan kepada Para Pemohon yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar penetapan ini;

10. Mengingat dan memperhatikan ketentuan pasal-pasal undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan serta ketentuan Peraturan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar