Polarisasi Bikin Israel Gelar Pemilu Berulang Kali

Jum'at, 24/06/2022 10:10 WIB
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Foto: The Independent)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Foto: The Independent)

Jakarta, law-justice.co - Perselisihan seputar kepemimpinan Benjamin Netanyahu, tulis Joseph Krauss untuk Associated Press. Saat ini, Knesset terbelah antara kubu yang mendukung kelanjutan kekuasaan dan mereka yang ingin menjatuhkannya.


Polarisasi itu meruncing antara lain juga akibat sistem kepartaian Israel yang terbagi-bagi berdasarkan ideologi, etnisitas atau agama. Artinya, partai-partai politik harus berupaya membangun aliansi, atau membubarkannya, untuk mendapat apa yang mereka inginkan.

Dalam 74 tahun sejarah demokrasi di Israel, tidak satu pun partai pernah memenangkan mayoritas di Knesset yang berjumlah 120 kursi. Akibatnya, meski perebutan kekuasaan berpusar di antara empat partai terbesar, semua pemerintahan Israel tercatat dibangun dengan koalisi bersama dua atau lebih partai lain.

Hal ini memberikan kekuasaan lebih kepada partai-partai kecil untuk menjadi juru kunci koalisi. Sebab itu pula, Naftali Bennett dan Partai Yamina yang hanya menguasai tujuh kursi di Knesset, diberikan jatah pertama untuk berkuasa, kendati Partai Yesh Atid pimpinan Yair Lapid menguasai 17 kursi.

 

Netanyahu: Dicinta dan dibenci

Betapapun kasus dugaan korupsi yang menimpanya, Benjamin Netanyahu masih menikmati popularitas tinggi di Israel. Partainya, Likud, merupakan partai terkuat di Knesset dengan 29 kursi.

Ketika koalisi kiri-tengah yang ditopang partai-partai konservatif itu ambruk, Netanyahu membidik peluang kembali melalui pemilu.

Bagi pendukungnya, Netanyahu adalah "raja Israel," seorang negarawan ulung yang mampu menandingi pemimpin dunia lain. Tapi bagi lawannya, dia adalah "penipu" dan "ancaman" terhadap demokrasi, karena dikenal gemar menyulut perpecahan demi kepentingan politik.

Saat ini, Netanyahu masih menjalani persidangan kasus dugaan korupsi melibatkan anggota keluarganya. Masa jabatannya yang dipenuhi kontroversi Itulah yang mendorong sebagian sekutu ideologinya untuk membelot, antara lain Avigdor Lieberman.

Tokoh ultrakonservatif Yahudi itu dikenal lewat retorika anti-Arab dan sebenarnya bersepakat dengan Netanyahu dalam banyak kebijakan. Tapi keduanya bercerai pada 2021 silam. Lieberman bahkan menggagas legislasi yang melarang seorang terpidana menjabat perdana menteri, sebagai upaya mengakhiri karir politik Netanyahu.

Hal serupa juga terjadi pada Naftali Bennett, tokoh konservatif lain yang membelot dari Netanyahu. Dalam perundingan koalisi 2019 silam, dia menerima tawaran menjadi perdana menteri dengan syarat memasuki koalisi partai kiri dan Arab bentukan Yair Lapid.

Krisis dan ricuh berkepanjangan di pemerintahan Israel, mau tidak mau memiliki dampak merugikan bagi kawasan, khususnya bagi upaya perdamaian dengan Palestina. Karena setiap kali terjadi pergantian pemerintahan, juga seringkali dibarengi dengan perubahan politik terhadap Palestina.

Sulit prediksi dini hasil pemilu


Koalisi campur aduk itu bertahan selama satu tahun, sebelum ambruk tersandung isu Palestina. April silam, pemerintah gagal meloloskan RUU Pemukiman untuk melegalisasi pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Hal ini sekaligus menjadi lonceng kematian bagi koalisi Bennett/Lapid.

Israel sebabnya akan kembali mencoblos pada 25 Oktober atau 1 November mendatang. Pilihan yang ada bakal serupa seperti pemilu 2021. Netanyahu berharap bisa kembali berkuasa menyusul popularitas partainya yang mulai naik.

Likud diprediksi akan merebut lebih banyak kursi di Knesset ketimbang 2021 silam. Namun begitu, tidak seorangpun analis berani memprediksi hasil pemilu secara dini. Jika Netanyahu gagal menghimpun koalisi mayoritas, maka Lapid atau Bennett kembali mendapat giliran membentuk pemerintah.

Dan jika kedua pihak tidak mampu mengamankan porsi mayoritas, maka, seperti sudah bisa diduga, Israel akan kembali mencoblos tahun depan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar