Ancam Kebebasan Pers, AJI Desak Hapus 14 Pasal di Draf RKUHP

Jum'at, 24/06/2022 08:35 WIB
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Jakarta, law-justice.co - Komisi III DPR RI dan pemerintah kembali membahas draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 25 Mei 2022.


RUU KUHP masuk Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022, yang rencananya akan diselesaikan pada Masa Sidang ke-V DPR RI Tahun 2022.


Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia lantas menyoroti pembahasan draf RKUHP tersebut tidak transparan lantaran publik belum mendapatkan draf RKUHP terbaru.

Selain itu, AJI mencatat setidaknya ada 14 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam draf RKUHP 2019.

"Pasal-pasal itu membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan," kata Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim dalam keterangan tertulis,  Jumat (24/6/2022)

Pasal-pasal tersebut antara lain; Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden: Pasal 218 dan Pasal 220; Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Bagian Penghinaan terhadap Pemerintah: Pasal 240 dan Pasal 241; Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara: Pasal 353 dan Pasal 354.

Kemudian Tindak Pidana Penghinaan: Pasal 439; Penodaan Agama: Pasal 304; Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika: Pasal 336; Penyiaran Berita Bohong: Pasal 262, Pasal 263, dan Pasal 512; Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan: Pasal 281; Pencemaran Orang Mati: Pasal 445.


"Pasal-pasal di atas mengatur tindakan-tindakan yang merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu `menginformasikan kepada khalayak luas`. Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari," lanjut Sasmito.

AJI, kata Sasmito, mendesak agar DPR dan pemerintah lekas menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RKUHP. AJI tidak ingin pasal-pasal penghinaan terhadap presiden terulang kembali pada masa mendatang.

"Sebagai contoh, pada 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Soekarnoputri," ujarnya.

Sasmito melanjutkan, AJI juga mendesak DPR dan pemerintah untuk transparan dalam pembahasan RKUHP dengan cara segera membuka draf terbaru ke publik. Pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.

AJI turut mendorong penguatan etika jurnalis dan penyelesaian sengketa pemberitaan menggunakan mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Pers. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang berkaitan dengan persoalan etika seperti Pasal 263 dalam RKUHP tentang kabar yang tidak pasti dan berlebih-lebihan perlu dihapus dari RKUHP.

"Undang-undang ini akan berdampak kepada semua warga negara, termasuk jurnalis karena itu sudah sepatutnya DPR dan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk membaca dan mengkritisi pasal-pasal dalam RKUHP," pungkas Sasmito.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar