Saat Hakim Mahkamah Konstitusi Terbelah Soal Ketua MK Harus Mundur

Kamis, 23/06/2022 00:01 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Jakarta, law-justice.co - Rapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Anwar Usman harus mundur dari kursi Ketua MK dan Aswanto dari kursi Wakil Ketua MK. Namun putusan hakim MK itu tidak bulat karena ternyata suara hakim konstitusi dalam putusan tersebut terbelah.

Putusan itu atas sejumlah permohonan judicial review UU MK terbaru. Isu besar dalam perubahan UU MK yang baru adalah: UU lama; periode hakim konstitusi per lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali periode. Di UU baru: periode hakim konstitusi selama 15 tahun atau pensiun di usia 70 tahun.

Suara hakim MK terbelah dalam putusan terkait gugatan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi menjadi 1 tahun atau pensiun di usia 70 tahun dan mundurnya ketua dan wakil ketua MK.

Dua isu krusial yang paling penting adalah:
1. Ketua dan Wakil Ketua MK otomatis meneruskan jabatannya, yaitu Anwar Usman dan Aswanto (Pasal 87a).
2. Perpanjangan masa jabatan otomatis berlaku bagi hakim konstitusi yang duduk saat ini (Pasal 87b).

Saat hakim konstitusi, dalam mengadili dirinya sendiri itu, MK ternyata terbelah. Berikut realita perpecahan hakim MK yang dirangkum media;

Putusan Nomor 100
MK memutuskan menolak uji formil UU MK dan tidak menerima uji materiil UU MK. Putusan ini tidak bulat. Menurut hakim Wahiduddin Adams, pembentukan UU MK sudah benar, tetapi alasan menolaknya berbeda dengan suara mayoritas hakim konstitusi (concurring opinion).

Adapun untuk Pasal 87B, Wahiduddin Adams berpendapat harusnya dibatalkan, sehingga hakim konstitusi yang ada saat ini tidak otomatis memperpanjang masa jabatannya sendiri menjadi 15 tahun, tetapi tetap menggunakan UU MK lama, yaitu 5 tahun. Periode 15 tahun atau pensiun 70 tahun berlaku untuk hakim konstitusi baru.

"Dengan demikian, saya berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 87 huruf b Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Wahiduddin Adams.

Hakim Suhartoyo menilai, secara formil, pembentukan UU MK sudah benar karena merupakan tindak lanjut putusan MK. "Putusan Mahkamah Konstitusi secara doktriner `harus dianggap benar` sesuai dengan (asas res judicata pro veritate habetur)," kata Suhartoyo. Adapun soal uji materiil UU MK, Suhartoyo menolaknya.

Hakim konstitusi Arief Hidayat paling tegas dalam sikapnya. Menurutnya, revisi UU MK cacat formil sehingga harus dibatalkan. Karena itu, isi UU juga gugur dengan sendirinya. Tanpa perlu memperdebatkan materi UU MK yang baru sekalipun.

"Proses pembahasan bersama yang hanya memakan waktu 3 hari jelas di luar nalar wajar kecuali memang dilakukan untuk menutup ruang partisipasi masyarakat," kata Arief Hidayat.

Hakim Saldi Isra menjadi hakim konstitusi berdasarkan UU MK lama yang menyatakan jabatannya hanya untuk 5 tahun dan habis pada Maret 2022. Namun Saldi Isra tidak mempermasalahkan masa jabatannya diperpanjang otomatis hingga 2032 dengan UU baru. Alasannya, hal itu adalah kewenangan DPR.

"Berkenaan dengan `rumpun jabatan` hakim konstitusi, terutama berkaitan dengan batas usia, masa jabatan, dan periodisasi masa jabatan, menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy) untuk menentukannya. Hal demikian diperkenankan sepanjang tidak melanggar pembatasan prinsip open legal policy, termasuk prinsip rasionalitas," kata Saldi Isra.

Di putusan ini, MK membatalkan Pasal 87a sehingga Anwar Usman dan Aswanto harus mundur dari jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK. Di putusan ini, lagi-lagi MK terbelah.

Menurut Hakim konstitusi Arief Hidayat dan hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul setuju Pasal 87 huruf a UU 7/2020 dibatalkan tapi dengan argumen berbeda. Keduanya memiliki definisi sendiri, yaitu:

Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat secara otomatis berlaku sesuai dengan norma UU a quo, sebab norma konstitusi mengatur dengan jelas bahwa Ketua/Wakil Ketua harus dipilih dari dan oleh hakim konstitusi sehingga tidak dapat diperpanjang langsung oleh ketentuan UU a quo.

Perpanjangan langsung oleh UU a quo pada masa jabatan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi telah menegasikan peran dan wewenang hakim konstitusi dalam pemilihan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, Ketua/Wakil Ketua yang masa jabatannya berakhir setelah adanya UU a quo, dapat melanjutkan masa jabatannya sebagai Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sepanjang telah dilakukan pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi.

Adapun soal pasal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi apakah otomatis atau tidak, Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul menyatakan harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu:

Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun setelah mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul, yakni Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden.

Sedang menurut Hakim konstitusi Wahiduddin Adams secara tegas menyatakan hakim konstitusi yang ada saat ini harus tunduk pada aturan lama, yaitu hanya menjabat selama 5 tahun. Aturan periode 15 tahun atau pensiun di usia 70 tahun hanya berlaku untuk hakim konstitusi yang akan datang.

"Saya anggap terasa tampak dibuat secara tergesa-gesa dan sangat tidak cermat sejak awalnya dan secara esensial dapat dinilai cukup beralasan sebagai lebih berorientasi untuk memberi `keuntungan (privilese)` bagi sebagian besar hakim konstitusi yang ada saat ini, alih-alih seaedar `tidak dirugikan` sebagaimana salah satu tujuan dan prinsip dasar dari suatu materi ketentuan peralihan dalam peraturan perundang-undangan," tegas Wahiduddin Adams.

"Dalam hal ini, saya sependapat dengan pertimbangan putusan a quo bahwa diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dalam putusan a quo, konfirmasi dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung)," tambah Saldi Isra.

Hakim Suhartoyo menilai Anwar Usman tidak perlu mundur dari jabatannya karena Pasal 87 huruf a UU 7/2020 sudah benar. "Pasal 87b saya menyatakan sependapat pada bagian amar putusannya, namun pada alasan-alasan pertimbangan hukumnya memiliki pendapat yang berbeda (concurring opinion)," ungkap Suhartoyo.

Hakim konstitusi Daniel setuju Anwar Usman mundur. Tapi ia memberikan rumusan sendiri dalam Pasal 87 huruf a UU 7/2020 sepanjang tidak dimaknai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang dipilih berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU 8/2011 tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatannya berakhir yang secara akumulasi tidak lebih dari 5 tahun.

Sebagai pihak yang paling berkepentingan dengan Pasal 87a, Anwar Usman berkukuh dirinya tidak perlu mundur. Jabatannya otomatis diperpanjang untuk lima tahun ke depan.

"Hakim konstitusi yang saat ini menjabat Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan terpilihnya Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru oleh sembilan hakim konstitusi, yang telah memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d juncto Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No 7/2020," tegas Anwar Usman.

Putusan Nomor 90:
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil dan tidak menerima uji materiil. Namun lagi-lagi terpecah. Hakim Wahiduddin Adams mengatakan secara formil, harusnya pemohon punya legal standing dan secara materiil agar Pasal 87b harus dibatalkan.

Adapun hakim konstitusi Suhartoyo menilai, secara formil dan materiil, permohonan Nomor 9 harus ditolak semuanya. Menurut Saldi, pemohon punya legal standing. Adapun secara materiil, perpanjangan masa jabatan otomatis adalah kebutuhan UU agar tidak terjadi kekosongan.

"Secara umum, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan norma transisi, yaitu transisi atau peralihan undang-undang lama kepada undang-undang baru. Secara sederhana, jika norma a quo dinyatakan `bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat` maka tidak terdapat lagi norma atau ketentuan lain yang akan menjembatani keberlakuan UU 7/2020 dengan hakim yang sedang menjabat saat ini.

Artinya, menyatakan norma a quo `bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat`, justru dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan ketidakpastian hukum. Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum," lanjut Saldi Isra.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar