Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Memoles Citra Diri Politisi, Jangan Sampai Berujung Lemparan Alas Kaki

Senin, 20/06/2022 07:23 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 memang terbilang masih lama tetapi baunya sudah tercium dimana mana. Aroma pemilu mulai semerbak baunya setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk menggelar pesta demokrasi itu setelah sebelumnya muncul isu-isu mau ditunda pelaksanaannya.

Aroma pemilu juga semakin terasa setelah menyaksikan elite elite politik yang mulai rajin bersafari ria, saling sapa untuk kemungkinan membentuk koalisi nantinya. Elite elite politik yang digadang gadang bakal maju sebagai calon presiden maupun wakil presiden juga mulai rajin memoles citra dirinya.

Tebar pesona dilakukan guna menaikkan popularitas dan elektabilitasnya. Siapa tahu dengan begitu partai politik akan melamarnya untuk di usung menjadi kandidat calon pemimpin bangsa nantinya.

Bagaimana para politisi itu memanfaatkan sarana tebar pesona untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya ?, Apakah aksi pencitraan alias tebar pesona itu sebenarnya mengandung unsur kebohongan didalamnya ?. Dibaliknya maraknya aksi tebar pesona yang kini melanda elite elite bangsa, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapinya ?. Lalu buat para politisi yang suka tebar pesona, apa yang kiranya perlu diwaspadainya supaya alas kaki tidak terlempar kepadanya  ?

Fenomena Tebar Pesona

Salah satu sarana yang biasa dilakukan oleh politisi untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya adalah lewat aksi pencitraan atau tebar pesona. Tebar pesona ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang menggunakan profil dirinya sendiri maupun menggunakan sosok orang lain untuk mengiklankan dirinya.

Sarana tebar pesona yang digunakan bisa memanfaatkan media sosial maupun media massa pada umumnya.Tidak berhenti di situ saja, tebar pesona biasa menghalalkan segala  cara demi mendapatkan keinginannya dengan mencantumkan identitas-identitas kelompok, golongan dan lain sebagainya untuk memperkuat daya tarik dan daya pikatnya.

Di media massa banyak kita temui artikel-artikel yang ilustrasi gambar atau fotonya mengarah pada identifikasi yang tergolong tebar pesona. Di media sosial (medsos) juga banyak konten-konten dalam berbagai bentuk (tulisan, gambar, foto, video, film dll) yang jelas-jelas hanya untuk tebar pesona.

Tak kalah seru, kini juga menjamur baliho-baliho di seantero negeri yang berisi gambar/foto politisi yang motif dan  skenario  manipulasinya pun sangat mudah terbaca. Tapi, mereka (partai politik dan politisinya) lupa di mana menaruh telinga, mata, dan hatinya, hingga membutakan diri dari situasi dan kondisi rakyat yang sedang menderita. Pada hal penderitaan itu bisa jadi juga dibikin oleh partai politik dan politisi mereka.

Deretan politisi yang mulai tebar pesona untuk mengatrol popularitas dan elektabilitasnya itu antara lain dilakukan oleh Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Anies Baswedan, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, Giring Ganesha dan yang lain lainnya.

Ganjar, misalnya, tingkah laku politiknya sangat ekspansi, tidak hanya `mbalelo`  dengan arus utama elite PDIP Perjuangan saja , Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu bahkan secara terang-terangan terus menunjukkan gestur politiknya.

Lewat media sosial yang di unggahnya, Ganjar terlihat rajin  blusukan ke berbagai wilayah di Jawa Tengah yang menjadi area kekuasaannya. Datang ke rumah-rumah warga, memberikan bantuan, hingga membedah rumah milik warganya. Pada hal kegiatan seperti itu mestinya cukuplah dilakukan oleh pejabat setingkat Camat atau Kepala Desa sehingga ia tidak harus turun langsung menanganinya.

Bukan cuma blusukan di wilayah kerjanya, Ganjar juga terlihat melakukan safari ke sejumlah provinsi di Indonesia. Ganjar belum lama ini tercatat mengunjungi Lampung, Sumatra Selatan, hingga Sumatra Barat dan Papua. Entah apa hubungan antara peran Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah dengan beberapa provinsi yang dikunjunginya. Apakah murni kunjungan, sekadar silaturahmi  atau ada tendensi politiknya, yang jelas semua aktivitasnya di unggah di sosial media.

Seolah olah tak mau kalah dengan Ganjar, Menteri BUMN Erick Thohir juga rajin `bersolek` ria. Nama Erick Thohir sempat menjadi buah bibir khalayak, ketika tampangnya sering muncul di mesin anjungan tunai mandiri atau ATM bank-bank milik negara.

Gestur politik Erick Thohir semakin kentara ketika dia juga sering turun ke bawah untuk menyapa warga. Saudara kandung dari bos batu bara Adaro Energy, ini bahkan tak canggung untuk tampil di acara atau peristiwa yang sebenarnya di luar job desk-nya sebagai menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Lain Erick lain pula Anies Baswedan yang sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Anies adalah simbol `oposisi` pemerintah yang sekarang berkuasa. Dia sebentar lagi habis masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Anies laiknya Ganjar dan Erick Thohir juga sering mengunggah momen-momen penting ke akun media sosialnya. Ya, ada yang pamer program yang dilakukannya, adapula yang pamer bertemu dengan tokoh atau elemen politik tertentu sebagai simbol dukungan politik sang tokoh kepadanya. Salah satu yang mencolok adalah menjadikan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai ajang pamer keberhasilannya memimpin ibukota.

Anies kerap menggunakan JIS sebagai sarana untuk `berbalaspantun` dengan oposisi, Giring Ganesha.  Anies, laiknya kandidat lainnya, juga semakin tak canggung datang ke hajatan besar partai politik, salah satu momen terekam saat dia datang ke Harlah PPP di Yogyakarta. PPP Yogyakarta adalah kekuatan politik yang cukup dominan di DI Yogyakarta.

Selain itu Anies juga sering memamerkan keberhasilannya menyelenggarakan formula E di Ancol Jakarta yang awalnya mendapatkan cibiran sinis dari kelompok yang menjadi penentangnya. Keberhasilannya ini menjadi amunisi baginya untuk melambungkan namanya.

Dari unsur legislative ada nama Puan Maharani yang tak kalah rajinnya melakukan tebar pesona. Sejak beberapa bulan terakhir ini baleho Puan terlihat nampang di berbagai kota di Indonesia. Bahkan baleho dan spanduknya sempat bertebaran di lokasi bencana saat gunung Semeru Meletus yang akhirnya memicu kontroversi dikalangan pengguna sosial media.

Meskipun sudah tebar pesona dimana mana, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkannya karena elektabilitas tetap segitu segitu saja, kalah dengan calon presiden lainnya. Bahkan, dalam survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 21-28 Mei 2021 lalu, nama Puan sama sekali tidak masuk dalam kandidat calon presiden Indonesia.Mungkin itu sebabnya, mbak Puan sempat menyindir kandidat Capres yang rajin tebar pesona di sosial media tapi tidak jelas hasil kerjanya. Entah siapa yang disindirnya…

Selanjutnya, seolah olah tidak mau kalah dengan capres capres lainnya,Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin ikut getol tebar pesona. Keinginan cak Imin diwujudkan antara lain melalui baleho dan billboard di berbagai kota yang memajang gambarnya. Bahkan ia sudah pula membuat pernyataan bakal menggandeng Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Cawapresnya. "Saya lirik untuk menjadi cawapres Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan," kata Cak Imin dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (13/6/22) seperti dikutip media.

Oleh karena itu, Muhaimin meminta doa dan dukungan dari seluruh masyarakat agar langkahnya untuk maju di Pilpres 2024 mendapat kemudahan dan kelancaran sehingga tidak ada halangan suatu apa. Dia mengungkapkan alasan kuat mengapa memilih Sri Mulyani sebagai bakal cawapres pasangannya, yaitu karena memiliki pengalaman di bidang ekonomi yang bisa menjadi modal untuk membenahi perekonomian Indonesia.

Tak mau kalah dengan kandidat lainnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak aktif juga membuat tayangan YouTube melalui kanal pribadinya. Upaya ini tentu tidak lepas dari ikhtiar AHY untuk tebar pesona guna mengerek elektabilitasnya.

AHY mulai aktif membuat konten YouTube sekira setahun lalu atau tiga tahun sebelum pemilu presiden 2024 tiba. Kanal YouTube itu mayorifas menampilkan aktivitas AHY di acara Partai Demokrat yang dipimpinnya. Sebagian berisi komentar AHY atas isu yang tengah beredar dan menjadi topik pembicaraan di sosial media.

Ada pula konten video yang sifatnya lebih personal seperti cerita AHY tentang keluarga besarnya. Kanal YouTube putra pertama Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu kini telah diikuti lebih dari 67.400 subscribers dengan 328 tayangan video yang dibuatnya.

Terakhir ada nama Ketua DPP PSI Giring Ganesha yang tak mau kalah ikut tebar pesona. Seperti halnya capres capres lainnya, baleho Giring terlihat juga diberbagai kota di Indonesia. Itu menjadi tanda bahwa yang bersangkutan memang ikut meramaikan kontestasi Pilpres 2024 meskipun masih belum jelas endingnya.

Karena selama ini Giring bersama dengan partainya lebih rajin untuk mengkrititisi kinerja Gubernur DKI Jakarta untuk menarik simpati massa. Tak tanggung-tanggung. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha menyindir bakal calon presiden yang memiliki jejak rekam politisasi agama. 

Terlihat juga misalnya saat Giring berjalan di sekitar lokasi sirkuit Formula E, Ancol, Jakarta Utara. Ia terperosok ke dalam kubangan lumpur saat berjalan di sekitar lokasi tempat pembangunan sirkuit Formula E, Ancol, Jakarta Utara.  Peristiwa ini direkam Giring dan diunggah di akun twitternya @Giring_Ganesha pada Rabu pukul 15.13 WIB. Tanggal 5 Januari 2022.

Begitulah beberapa adegan tebar pesona yang telah dilakukan oleh para politisi calon pemimpin Indonesia mendatang untuk menaikkan popularitas sekaligus elektabilitasnya. Mereka nampaknya lebih sibuk untuk menarik simpati massa lewat pencitraan ketimbang bekerja nyata untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Ada Nuansa Dusta ?

Penulis Thomas Sowell mengatakan bahwa “politics is the art of making your selfish desires seem like the national interest.” Ya, salah satu kelebihan politisi memang itu, yakni memoles kepentingan pribadi dan kelompok agar seolah-olah terlihat seperti kepentingan rakyat dan kepentingan nasional di dalam kontestasi demokrasi yang diikutinya.

Dengan kata lain, basi-basi ingin memperjuangkan kepentingan publik dan “blablabla” sejenis lainya dari politisi harus dimaknai dalam perspektif untuk mencapai tujuan terselubungnya. Nah, dalam kontek itulah pencitraan kemudian menjadi sangat penting alias menjadi senjata kelas satu para politisi dalam berpolitik dan mengakali demokrasi agar seolah-olah terlihat sedang memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Para pengamat sering menyebut hal ini sebagai  pendekatan post truth. Namun menurut James Ball ternyata tidak semata mata itu saja. Karena itu James memberi judul bukunya “Post Truth: How Bullshit Congquered The World.” Dimana pencitraan pada dasarnya adalah kebohongan, atau “bulshit” yang dipoles dengan kesan-kesan kebenaran untuk menutupi agenda yang sebenarnya.

Meskipun tidak semua demikian adanya tetapi  ketika jualan politik berbau citra hadir mengerumuni ruang maya, maka pertanyaanpun sontak mengemuka :"Benarkah apa yang dinyatakannya ? Jujurkah orang-orangnya?" dan sebagainya.

Pertanyaan tersebut wajar wajar saja mengingat selama ini dunia politik itu identik dengan komunitas dusta.Penilaian bahwa politisi adalah pembohong saat ini seolah-olah telah menjadi aksioma, tak terbantahkan adanya.

Pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia suka menilai politisi merupakan individu yang hanya pintar menipu dan mengumbar perkataan dusta ?. Apakah semua itu berangkat dari pengalaman yang selama ini mereka rasakan selama berhubungan dengan politisi dilingkungannya ?. Apakah benar politik identik dengan kebohongan sebagai intrik demi mengelola kepentingan yang ada?

Dalam kajian kebudayaan, pencitraan selalu dipercaya sebagai bagian dari tindakan politik dimana citra yang dibangun selalu imajiner, sesuatu yang dibayangkan, dan karena itu bukan yang sebenarnya atau bukan yang sesungguhnya. Bahwa citra diproduksi melalui relasi kuasa yang tidak sepada atau tida setara.

Dalam sejarah kita, politik pencitraan seperti itu berlangsung sejak lama yang sampai kini pun masih mewarnai kehidupan kita. Jika kolonial Barat mencitrakan bahwa penduduk pribumi adalah ‘tidak berbudaya’, kaum terpelajar memandang bahwa mereka yang tak sekolah adalah terbelakang bahkan primitif, maka kaum beragama mayakini bahwa mereka yang tidak saleh atau penganut agama lain adalah kafirin, musyrikin, dan munafiqin atau sebutan lainnya.

Konsep politik yang bermoral pun mengajarkan untuk berhindar dari perilaku dusta. Politik memang sering merupakan pesta janji belaka. Ketika janji itu sulit untuk ditepati, politik kebohonganlah yang sering diamalkannya. Dalam hal ini politikus memang sering mencari alat-alat pembenaran untuk membingkai kebohongannya; mengesankan ketepatan janjinya pada hal yang terjadi seringkali justru sebaliknya.

Terkadang seorang politisi berjanji tidak mengukur kemampuan, karena dalam  janji itu terkandung pamrih balas jasa. Banyak politikus berjanji karena ingin dipilih, sehingga janjinya muluk-muluk, tak sesuai fakta. Bagi politikus, ingkar janji tidak hanya dosa, tetapi melorotnya citra.

Ketepatan janji adalah salah satu strategi politik pencitraan juga. Namun, untuk memenuhi strategi itu, terkadang harus berkata dusta. Padahal politik pembohongan kontraproduktif dengan politik pencitraan yang ingin dibangunnya.

Saat ini menjelang pemilu 2024,justru yang menonjol adalah budaya pencitraan diri dan membangun pamor serta popularitas di balik kebohongan dan tipu muslihat untuk menarik simpati massa.

Aroma pencitraan itu begitu tercium dengan jelas ketika berbagai program yang didengungkan justru tidak ada yang berhasil mencapai titik kesuksesan saat ia menduduki jabatannya. Mereka hanya lihai dalam beretorika, tetapi dalam tatanan implementasi justru mandul dan tidak mampu memberikan harapan kepada publik yang telah memberikan suaranya.

Pendek kata, karena politik pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka lambat laun seiring perjalanan waktu akan mengungkap kebenarannya. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari rakyat pun lambat lain akan bisa menyingkapnya.

Meskipun demikian, pencitraan tidak selalu berarti negatif jika itu berbasis data. Pencitraan adalah kebutuhan politik yang tidak bisa dihindari adanya. Hanya saja, sebagai bangsa yang bernurani pancasila, pencitraan mesti dihindarkan dari praktek-praktek manipulatif bernuansa dusta.

Jika pencitraan itu dijadikan sebagai proses untuk memperkenalkan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan maka itu penipuan namanya. Faktanya antara pencitraan dengan penipuan itu memang sulit untuk membedakannya.

Sikap KIta

Banyak orang bilang bahwa rakyat kita sudah cerdas, tidak mungkin bisa dibohongi karena mereka punya logika. Sesungguhnya Ini adalah bentuk ungkapan yang berlebihan karena faktanya rakyat sering gagal memilih pemimpin yang baik buat masa depannya. Baik artinya punya kapasitas dan integritas dalam mengemban amanah yang dibebankan kepadanya.

Kapasitas diukur dari perbaikan (adanya perubahan terukur ke arah yang lebih baik) yang sudah dibuat oleh seorang pemimpin buat rakyatnya. Dan integritas artinya komitmen hukum, moral dan loyalitas terhadap kebenaran selama menduduki jabatatannya.

Faktanya masih banyaknya pemimpin yang berurusan dengan penegak hukum, terutama KPK, adalah bukti kegagalan rakyat memilih pemimpinnya. Faktanya masih banyak rakyat yang salah pilih pemimpin sehingga yang terjadi bukan kesejahteraan dan keadilan yang didapat melainkan kesengsaraan akibat tidak ditepatinya janji janji yang disampaikan sang pemimpin saat meminta suara.

Fenomena tersebut membuktikan bahwa rakyat masih mudah dijadikan korban pencitraan, tebar pesona yang dilakukan oleh calon pemimpinnya. Hanya karena calon pemimpin itu kelihatan merakyat penampilannya : masuk gorong gorong, pergi kepasar, berpakaian sederhana, rajin menyapa masyarakat dan ritual merakyat lainnya.

Ternyata penampilan yang merakyat itu tidak selalu sejalan dengan kebijakan kebijakan yang diambilnya.Penampilannya bisa saja merakyat tapi kebijakannya ternyata malah menggencet rakyatnya.

Oleh karena itu rakyat sebagai pemilik kedaulatan mestilah dijauhkan dari praktek kebohongan publik melalui kejelian dalam mencermati setiap gagasan dan program yang ditawarkan oleh calon pemimpinnya. Apakah tawaran program yang ditawarkan untuk rakyat itu bersifar rasional realistis alias sesuai dengan nalar dan logika ?.

Apakah program-program yang ditawarkan itu tidak saja menarik, tapi akan mampu dijalankan untuk memberi perubahan dan menjadi solusi bagi problem yang selama ini dihadapi oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya ?

Jangan dilupakan juga untuk mencermati track record dari sang calon pemimpin selama mengemban amanah yang diberikan kepadanya.Kepastian track record calon pemimpin bisa dilihat dari latar belakang/jejak integritas dan kapabiltasnya.

Kualitas pendidikan dan Jejak pengalaman menjadi hal penting yang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai seorang calon pemimpin itu mampu tidak merealisasikan program-program yang ditawarkannya. Demikian pula jejak hukum dan sosialnya harus menjadi perhatian serius, karena ini menyangkut nasib masa depan banyak orang yang akan dipimpinnya.

Dalam kaitan tersebut menarik apa yang disampaikan oleh pengamat politik, Hendri Satrio dalam memprediksi kondisi Indonesia pasca presiden yang sekarang berkuasa. Ia memprediksi kondisi Indonesia, dengan melihat provinsi yang dipimpin oleh gubernur yang berniat maju menjadi presiden Indonesia.

"Saya pernah bilang, bila ingin tahu Indonesia seperti apa setelah era Presiden Jokowi, lihat saja provinsi yang dipimpin gubernur niat nyapres," ujar Hendri Satrio sebagaimana dikutip SeputarTangsel.Com dari akun Twitter @satriohendri, Kamis 30 Desember 2021.

Sesuai cuitan Hendri Satrio, memang yang dimaksudkan untuk dilihat adalah Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah dan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta. Dua nama gubernur yang sering disebut-sebut banyak orang sebagai calon presiden untuk menggantikan presiden yang sekarang berkuasa.

Terkait dengan Ganjar menarik kritik yang disampaikan oleh Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan yang mempertanyakan kinerja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Pasalnya, Ganjar menurutnya lebih eksis di media sosial dibanding kerja nyata bagi masyarakat Jawa Tengah yang dipimpinnya.

"Tolong gambarkan track tecord Ganjar di DPR kemudian sebagai gubernur selesaikan Wadas itu. Selesaikan rob itu, berapa jalan yang terbangun kemudian sekarang diramaikan kemiskinan di Jateng malah naik tolong masyarakat juga apple to apple memperbandingkan," jelasnya seperti dikutip timesindonesia,co.id  (2 /06/2022).

Pertanyaan serupa sebenarnya bisa juga diajukan kepada Anies Baswedan yang sekarang menempati posisi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apa prestasi Anies selama memimpin Jakarta ?, Bagaimana dengan implementasi janji janji kampanyenya ? Bagaimana realisasi penanganan banjir, kemacetan, realisasi DP 0 persen dan pelaksanaan program program unggulan lainnya ?

Apa yang disampaikan oleh Hendri Satrio diatas sesungguhnya bisa diperluas cakupannya untuk para  tokoh lain yang berniat memimpin  Indonesia. Sebagai contoh kalau ingin memilih Puan Maharani, bisa dilihat bagaimana kondisi DPR kita sekarang dimana dia menjadi Ketuanya maka kira kira begitulah kondisi Indonesia dibawah kendalinya. Kalau mau memilih Erick Thohir bisa dilihat bagaimana kondisi BUMN sekarang dibawah kepemimpinannya maka kira kira begitulah kondisi Indonesia ke depannya dan sebagainya.

Upaya mengulik para tokoh yang ingin maju menjadi calon pemimpin Indonesia melalui latar belakang dan kinerjanya selama mengemban amanah jabatan yang dibebankan kepadanya menjadi panduan sederhana bagi para pemilik suara sebelum menjatuhkan pilihannya.

Dengan cara demikian rakyat pada akhirnya mempunyai basis argumentai dalam memilih calon pemimpinnya. Biarkan saja mereka mereka (capres capres  itu) begitu rajin tebar pesona untuk mengerek popularitas dan elektabilitasnya, tapi  jangan dilupakan prestasi dan kinerjanya selama menduduki jabatanya. Supaya rakyat tidak tertipu dengan kampanye massifnya di media massa yang bisa jadi didukung oleh para pemilik modal dan buzzer buzzernya.

Lemparan Alas Kaki

Mereka calon calon pemimpin masa depan Indonesia kiranya harus selalu waspada untuk tidak terlalu euphoria melakukan pencitraan atau tebar pesona dengan membabi buta. Apalagi prestasi yang disandangnya selama menduduki jabatan publik hanya biasa biasa saja. Apalagi dalam aksi tebar pesona itu sarat dengan nuansa kebohongan untuk mengelabui calon pemberi suara.

Banyak contoh bisa dikemukakan bagaimana nasib tragis harus disandang oleh para penebar pesona yang dilandasi polesan citra kebohongan dalam aksi-aksinya. Sebutlah misalnya contoh dari mancanegara seperti Presiden ke-43 Amerika Serikat (AS), George W Bush, yang terhina di ujung masa jabatannya.

Ketika George W Bush menginvasi Irak  pada tahun 2003 atas nama demokrasi, hak-hak asasi, dan pembebasan dari cengkraman diktator bernama Saddam Hussein, ia mungkin bermakud juga tebar pesona kepada rakyat Irak sebagai sosok pembebas derita mereka dari cengkeraman pemimpinnya yang kejam dan semena mena.

Alhasil pada 14 Desember 2008, George W Bush berkenan mengunjungi Irak bekas negara yang pernah di invasinya. Kunjungan Bush dilakukan setelah sebelumnya Menteri Pertahanan Robert Gates datang, dalam rangka sosialisasai rencana penarikan mundur tentara AS yang masih ada disana.

Dalam kunjungan tersebut alih alih mendapatkan sambutan meriah dari rakyat Irak yang telah “dibebaskannya”. Ia justru mendapatkan `hadiah` perpisahan dari seorang jurnalis di san berupa lemparan sepatu yang melayang ke arahnya. Tak hanya satu, tapi dua alas kaki itu `terbang` ke arah Presiden AS ke-43 itu, di tengah-tengah acara jumpa pers bersama Perdana Menteri Nouri Al-Maliki yang menjadi “bonekanya”.

Ketika ia menyerang Irak, ia dinilai telah melakukan kebohongan kepada rakyat Irak karena menyebut penggulingan Saddam Husein disebabkan karena yang bersangkutan mempunyai senjata pemusnah massal yang ternyata hanya bohong belaka.

Lemparan sepatu seorang wartawan sambil berdiri dan berteriak, "Ini tanda perpisahan dari rakyat Irak," ke arah Presiden Bush bisa jadi merupakan wujud kejengkelan rakyat Irak atas invasi Amerika ke negaranya.

Lemparan sepatu atau alas kaki konon dianggap sebagai hinaan terburuk dalam budaya Arab dan George W Bush telah menerimanya. Hinaan itu tentu akibat dari perbuatannya di masa lalu yang menyakiti rakyat Irak demi tujuan politiknya meskipun dibungkus dengan jagon manis yaitu alasan demokrasi dan hak azasi manusia.

Maanya bagi seorang politisi yang ingin tebar pesona dengan mengusung jargon demi kepentingan rakyat dan bangsa dan negara kiranya bisa berkaca pada kasus yang menimpa Goerge W Bush mantan presiden Amerika. Bahwasanya tebar pesona untuk tujuan tertentu yang tidak sesuai dengan keinginan target atau obyeknya suatu saat akan menuai buahnya.

Segala kemungkinan bisa saja terjadi tanpa di duga duga. Bisa saja pemimpin hasil tebar pesona akan mencapai tujuannya yaitu duduk di kursi yang menjadi impiannya. Tetapi karena kursinya itu dibangun diatas rel pencitraan yang sarat nuansa dusta maka bisa saja suatu saat akan mengundang malapetaka.

Dimana dalam suatu kunjungan kerja tiba tiba saja ada alas kaki yang mampir kepadanya. Tentu kita berharap apa yang menimpa mantan presiden Amerika itu tidak menimpa pemimpin di Indonesia. Sebab kalau sampai  itu terjadi duh betapa malunya ….

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar