Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., M.H - Jaksa Agung Republik Indonesia

Mereformasi Citra & Reputasi Kejaksaan dalam Tugas Penegakan Hukum

Jum'at, 17/06/2022 10:29 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin memilih jalan hidup sebagai jaksa (Dok. Kejagung)

Jaksa Agung ST Burhanuddin memilih jalan hidup sebagai jaksa (Dok. Kejagung)

Jakarta, law-justice.co - Menjadi Jaksa Agung sudah menjadi impian Sanitiar Burhanuddin, sejak ia menyandang predikat Sarjana Hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, pada 1987.

Namun keinginan itu ia simpan dalam-dalam, karena ia menyadari, meraih posisi sebagai Jaksa Agung bukanlah hal yang mudah.

Seiring berjalannya waktu, keinginan tersebut tetap ada dan menjadi motivasi agar ia bisa bekerja sebagai jaksa dengan sebaik mungkin.

"Yang terpenting ketekunan, kerja keras, serta doa dan ridho orang tua yang selalu menyertai setiap pekerjaan merupakan kunci untuk mencapai setiap cita-cita," ujarnya pada law-justice.co.

Profesi Jaksa sebagai pilihan hidup

Pria yang biasa disapa ST Burhanuddin ini lahir di Majalengka, Jawa Barat, 17 Juli 1954. Ia memulai karirnya sebagai jaksa pada 1987, setelah ia lulus kuliah.

Sebagai fresh graduate dari fakultas hukum, ia begitu bersemangat untuk bekerja di bidang hukum agar bisa mengimplmentasikan ilmu yang dimilikinya. Diantara banyak profesi di bidang hukum, menjadi jaksa adalah pilihannya.

"Saya sudah menentukan arah hidup saya. Saya ingin menjadi seorang Jaksa, seorang penegak hukum yang dekat dengan kehidupan masyarakat, dan menjadi seseorang yang harus bisa menyeimbangkan rasa keadilan di tengah masyarakat," ujar ST Burhanuddin mengenang masa mudanya itu.

Ia lantas mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia.

Tak disangka ia diterima dan penempatan pertamanya adalah di Kejaksaan Tinggi Jambi.

Seakan tak puas hanya menjadi PNS, ST Burhanuddin lalu mengikuti Pendidikan Pelatihan Pembentukan Jaksa dan setelah itu ia dilantik menjadi seorang jaksa pada 1990.

Meski telah kesampaian menjadi seorang jaksa, ST Burhanuddin menyadari beban dan tanggung jawab yang ia emban sebagai seorang penegak hukum.

Sejak itu ia menjalani tugas di berbagai daerah. Karirnya sebagai seorang jaksa moncer, ia bahkan sempat menduduki sejumlah jabatan strategis.

Diantaranya Kepala Kejaksaan Negeri Bangko, Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Pengalaman diteror ketika bertugas

Selama menjalankan tugas di daerah, banyak pengalaman yang ia dapat. Perkara yang ia tangani pun beragam. Tidak hanya menangani perkara tindak pidana umum, tetapi menangani juga perkara perdata dan tata usaha negara serta perkara tindak pidana khusus.

Semua penugasan itu harus dijalani, meskipun terasa berat dan sulit. Bagi ST Burhanuddin, setiap penugasan merupakan ujian yang harus dilewati, agar kemampuan dan kecakapan sebagai jaksa semakin terasah.

"Seorang Jaksa harus siap ketika tugas itu datang, melaksanakan tugas dengan profesional, jujur dan integritas serta mengedepankan hati nurani," sambungnya.

Satu pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan selama menjadi jaksa adalah ketika dirinya mengalami teror.

Saat itu ia bertugas di Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus.

Tak tanggung-tanggung, yang mengancam ST Burhanuddin adalah kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Begitu saya turun dari pesawat, saya menerima pesan teks atau SMS (short message service), saya masih ingat betul tulisan yang terpampang dalam kotak masuk handphone saya, `Selamat datang saudara Sanitiar Burhanuddin di Nanggroe Aceh Darussalam. Diminta kepada saudara dalam waktu 2x24 jam untuk meninggalkan Kota Banda Aceh`,"kenangnya.

Setelah mendapatkan ancaman tersebut, ia lantas melapor ke atasannya, Kepala Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, yang saat itu dijabat oleh bapak Teuku yang merupakan orang asli Aceh.

Atasannya itu lalu mengembalikan keputusannya kepada ST Burhanuddin, apakah ingin mundur atau tetap menghadapinya.

Ia memilih untuk menghadapinya dan tidak gentar dengan ancaman tersebut. ST Burhanuddin tetap bertugas seperti biasa. Namun ia tetap melakukan upaya antisipasi demi menjaga keselamatannya selama bertugas disana.

"Saat itu saya Bismillah dengan bulat saya menyatakan siap dan pantang untuk mundur, meski demikian, sebagai langkah antisipasi, saya juga mengganti KTP Indonesia yang saya pegang menjadi KTP Merah Putih," ucapnya.

Menjadi Jaksa Agung

Setelah hampir tiga dekade berkarir sebagai jaksa, pada 23 Oktober 2019, ST Burhanuddin berhasil meraih impiannya. Saat itulah ia diamanahkan untuk memegang tongkat komando tertinggi di institusi kejaksaan, yakni menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia.

Ketika kepercayaan itu diberikan kepadanya, Presiden Joko Widodo berpesan pada ST Burhanuddin untuk membenahi institusi Kejaksaan di Indonesia.

Ia menyadari hal itu bukanlah perkara mudah, sebab tidak sedikit pekerjaan rumah yang ada di internal kejaksaan, mulai dari masalah sumber daya manusia, pembenahan sistem dan administrasi perkara serta pelayanan publik, hingga soal integritas.

"Maka setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, saya langsung melakukan identifikasi permasalahan dan program-program yang sedang berjalan di Institusi Kejaksaan dan tentunya harus sejalan dengan visi misi Presiden Jokowi," katanya.

Dalam penguatan sistem dan lembaga, ST Burhanudiin melahirkan organisasi baru, yakni Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil). Ini merupakan manifestasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan
yang mengamanatkan Single Prosecution System.

Tujuannya untuk mewujudkan asas dominus litis yang konsisten, sehingga penegakan hukum dapat terlaksana dengan profesional, akuntabel, objektif dan berkeadilan.

Jaksa dalam pusaran kasus korupsi

Satu hal yang menjadi perhatian ST Burhanudiin setelah menjadi Jaksa Agung adalah membenahi sumber daya manusia para jaksa. Ini terkait dengan integritas dan professionalisme para jaksa agar tidak terjerumus pada praktik korupsi.

Satu nama jaksa yang mencuat karena terlibat kasus korupsi yakni Jaksa Pinangki. Ia terseret kasus terpidana perkara cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.

Jaksa Pinangki dinyatakan terbukti menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.

Realita itu sangat memukul ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung. Sebab, menurut dia, seorang Jaksa harus menjaga integritas, profesional dan bertanggung jawab dalam setiap melaksanakan tugas dan fungsinya.

Dan ia yakin, publik akan memantau dan menunggu apa langkah Kejaksaan Agung selanjutnya untuk menindak oknum jaksa seperti jaksa Pinangki.

Menurut ST Burhanuddin, sedikitnya ada dua cara yang ia lakukan untuk mencegah adanya jaksa yang terseret dalam kasus korupsi.

Pertama adalah cara yang cenderung normatif, yakni menekankan kembali kepada setiap pegawai Kejaksaan agar memahami tugas dan kewenangannya selain juga berkaitan dengan penyesuaian yang diamanatkan revisi Undang-Undang Kejaksaan.

Hal ini dilakukan dengan sosialisasi yang lebih intensif lagi, melalui sejumlah kegiatan seperti diskusi internal, maupun semacam Forum Group Discussion (FGD).

Kegiatan tersebut tak hanya menjadi ajang sosialisasi dan seremoni belaka.

Namun juga menjadi ajang untuk menyamakan pandangan para Jaksa atas norma-norma yang terkandung dalam undang-undang, serta menyiapkan langkah-langkah strategis apa yang perlu untuk dilakukan bersama.

Kedua, adalah cara yang lebih tegas, yakni menjatuhkan sanksi kepada para jaksa yang telah terbukti menyalahgunakan wewenangnya dan terseret dalam kasus korupsi.

Menurut ST Burhanuddin, cara ke dua ini berjalan beriringan dengan pengawasan yang lebih ketat agar potensi penyalahgunaan kewenangan dapat dicegah dan ditanggulangi secara dini.

Penguatan dalam pengawasan para jaksa ini sesuai dengan arahan presiden pada Pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2020 pada tanggal 14 Desember 2020.

Ketika itu, sambung ST Burhanuddin, presiden menyampaikan, Kejaksaan adalah wajah penegakan hukum Indonesia di mata masyarakat dan Internasional.

Setiap tingkah laku dan sepak terjang setiap personil di Kejaksaan dalam penegakan hukum akan menjadi tolak ukur wajah Negara dalam mewujudkan supremasi hukum di mata dunia.

Oleh karena itu, penguatan pengawasan dan penegakan disiplin internal dalam tubuh Kejaksaan adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi.

"Tentunya sanksi akan diberikan kepada mereka yang telah menyalahgunakan kewenangannya, serta reward akan diberikan bagi mereka yang berprestasi," tutur ST Burhanuddin.

Masih terkait dengan pengawasan, ia juga berharap ada peran serta masyarakat di dalamnya.

Menurut dia, pengawasan yang dilakukan oleh masyaralat tak kalah penting dengan pengawasan yang dilakukan secara internal. Sebab pada dasarnya seorang jaksa ada dan bekerja untuk kepentingan masyarakat luas.

Karena itulah masyarakat yang sepatutnya bisa menilai seperti apa kinerja kejaksaan yang sebenarnya.

"Tidak elok rasanya jika kami menilai diri kita sendiri, biarkan masyarakat yang menilai bagaimana kinerja kami, apa yang kurang dari kami. Oleh karena itu kami harapkan agar masyarakat terus mengawasi dan mendukung setiap langkah kerja yang kami lakukan," pinta ST Burhanuddin.

Korupsi dalam pandangan ST Burhanudiin

Institusi Kejaksaan seakan tidak bisa dilepaskan dengan kasus korupsi. Bahkan bisa dibilang Kejaksaan identik dengan kasus-kasus korupsi, meskipun kasus yang ditangani Korps Adhyaksa sangat beragam, seperti kasus perdata, tata usaha negara hingga hak asasi manusia.

Penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan tak hanya oleh Kejaksaan Agung, tapi juga Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di daerah.

Namun Kejaksaan Agung lah yang kerap mendapatkan sorotan, karena memang kasus-kasus korupsi kelas kakap ditangani disana, diantaranya kasus Korupsi Jiwasraya dengan nilai kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun, kasus Asabri dengan nilai kerugian negara hingga Rp20 triliun dan kasus impor tekstil Batam.

Bahkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyebut, total kerugian negara yang diselamatkan Kejaksaan Agung telah mencapai Rp46,8 triliun.

Sejak menjadi jaksa, ST Burhanuddin sendiri mengaku sudah sering menangani kasus-kasus korupsi. Saking banyaknya, ia mengaku sampai lupa jumlahnya.

Namun satu hal yang pasti, ia menilai korupsi adalah sebuah penyakit kronis yang dampaknya sangat besar dan tidak main-main.

Saking fatalnya dampak korupsi, ujar ST Burhanuddin, dampaknya dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menurut dia, ada dua faktor yang dapat menyebabkan korupsi bisa terjadi, yakni faktor internal yang berasal dari dalam diri sendiri dan faktor eksternal yang mempengaruhi seseorang dari luar dirinya.

Ia menjelaskan, faktor internal yang memengaruhi seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi itu timbul dari rasa serakah dan gaya hidup yang konsumtif.

Sedangkan faktor eksternal yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi yaitu masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap apa itu korupsi serta besarnya dampak rusak yang diakibatkan oleh korupsi.

"Terkadang motif ekonomi juga menjadi pendorong seseorang melakukan tindak korupsi, khususnya jika seseorang memiliki jabatan atau wewenang khusus yang dapat digunakan untuk mencapai keuntungan, baik untuk dirinya maupun untuk pihak lain," sambung ST Burhanuddin.

Oleh karena itu, tambah ST Buhanuddin, penanggulangan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh, sistematis dan berkesinambungan, meliputi langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan.

Meski upaya pemberantasan korupsi di Indonesia semakin membakik, menurut ST Burhanuddin, hal tersebut tetap harus dievaluasi secara berkala. Ia mengatakan, dalam suatu sistem hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi, tidak ada yang sempurna, selalu ada kekurangan, karena selalu ada perubahan dalam masyarakat.

Karena itu ia merasa Kejaksaan Agung tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya penindakan kasus tindak pidana korupsi.

Perlu dukungan dan sinergisitas antar aparat penegak hukum, seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan yang tak kalah penting, menurut ST Burhanuddin, adalah petan serta masyarakat.

Pada titik ini, ia menilai kepolisian dan KPK adalah mitra Kejaksaan untuk menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

"Kami semua adalah mitra kerja. Kami semua melaksanakan tugas sesuai dengan tugas yang dimiliki sesuai dengan amanat peraturan undang-undang yang berlaku," ujar ST Burhanuddin.

Terobosan hukum dengan Restorative Justice

Salah satu kebijakan yang gencar dilakukan Kejaksaan dalam beberapa waktu belakangan ini adalah Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Ini adalah sebuah upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan, yang lebih mengedepankan rasa keadilan melalui kearifan lokal atau hukum adat yang sifatnya lebih dinamis.

Menurut ST Burhanuddin, kebijakan penyelesaian perkara dengan cara ini banyak dilakukan di era kepemimpinannya, karena adanya sejumlah perkara yang menarik perhatian dan mengusik rasa keadilan masyarakat.

Ia mencontohkan kasus Nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian 3 buah kakao di perkebunan Rumpun Sari Antan, beberapa waktu lalu.

Dalam kasus tersebut ia di vonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Menurut ST Burhanuddin, kasus Nenek Minah mengusik rasa keadilan banyak pihak, karena hanya dengan 3 buah kakao, seorang nenek yang sudah renta tetap menjalani proses hukum yang panjang.

Atas dasar itulah, ia sebagai Jaksa Agung menekankan kepada seluruh jajaran, para Jaksa di seluruh Indonesia, bahwa Jaksa adalah sebagai pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis.

Maksudnya adalah Jaksa dapat menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak untuk disidangkan di pengadilan, sebab tugas Jaksa adalah sebagai penyeimbang antara kepastian hukum dan rasa keadilan.

Menurut dia, urgensi dari restorative justice adalah para jaksa harus dapat memberikan rasa keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat.

"Saya tidak menghendaki Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di Masyarakat. Sebab rasa keadilan tidak ada di dalam buku-buku, namun berada dalam hati nurani dengan memperhatikan keadilan di masyarakat," tegas ST Burhanuddin.

Ia menambahkan, penyelesaian perkara pidana melalui jalur litigasi dalam prakteknya kadangkala berjalan melenceng dari tujuan hukum maupun rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Seperti pola pemidanaan yang masih bersifat pembalasan, terjadinya penumpukan perkara akibat proses yang berlarut-larut, kurang memperhatikan hak-hak korban, mengabaikan asas peradilan sederhana cepat biaya ringan, penyelesaian bersifat legistis dan kaku sehingga tidak memulihkan dampak kejahatan, dan tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat.

Karena itulah ia menggagas berdirinya Rumah Restorative Justice di sejumlah daerah, sebagai bukti keseriusan Kejaksaan dalam mengimplementasikan penyelesaian perkara melalui konsep keadilan restoratif.

Menurut ST Burhanuddin, dasar filosofi penyebutan rumah disini dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan.

Dan hingga 7 Juni 2022, telah terbentuk 405 Rumah Restorative Justice di seluruh Indonesia. Sementara hingga 11 Mei 2022, suda ada 1.070 perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua.

"Oleh karena itu saya berharap Rumah Restorative Justice dapat menjadi sebuah rumah bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa untuk mengaktualisasikan budaya luhur Bangsa Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara," ujar ST Burhanddin.

Rencana dan harapan ke depan

Menurut ST Burhanuddin, selama tiga tahun ia menjadi Jaksa Agung, ia telah berhasil eningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan. Hal itu terlihat dari sejumlah survei yang dilakukan sejumlah kelompok masyarakat.

Diantaranya hasil survei bertajuk Persepsi Publik Terhadap Kinerja Instansi Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indikator pada April 2022 lalu.

Dalam survei tersebut, Kejaksaan mendapatkan nilai kepercayaan masyarakat yang cukup baik, yakni 68 persen.

ST Burhanuddin juga mengutip hasil penilaian terhadap Kinerja Penegak Hukum Tahun 2021, yang disusun oleh LSM pemantau korupsi, ICW.

Dalam penilaian tersebut, Kejaksaan mendapatkan nilai B yang telah menangani 371 kasus dengan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp26,5 Triliun.

Kemudian Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia pada 8 Juni 2022 kembali merilis hasil survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara pada Mei 2022.

Dalam survei tersebut tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya.

Jika pada periode April 2022 Kejaksaan Agung berada di posisi 8 (delapan), maka pada bulan Mei 2022 berada diurutan 4 (empat) teratas setelah TNI, Presiden dan Kepolisian yang mendapatkan kepercayaan masyarakat.

"Atas capaian tersebut, tentu saya mengucapkan Alhamdulillah dan terima
kasih atas meningkatnya kepercayaan publik kepada Kejaksaan, hasil survei tersebut akan kami dijadikan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi," kata ST Burhanuddin.

Namun dari semua pencapaian, yang paling sulit bukan dalam meraih, namun mempertahankan dan meningkatkan lagi semua yang sudah didapat. Hal itu disadari betul oleh ST Burhanuddin.

Sementara itu, ST Burhanuddin ditunjuk menjadi Jaksa Agung untuk periode 2019 hingga 2024. Lalu apa yang akan dilakukan dirinya jika sudah tidak lagi menjabat sebagai Jaksa Agung?

ST Burhanuddin tidak menjawab dengan rinci apa saja rencananya ke depannya. Mungkin ia masih dalam tahap merencanakan, belum memutuskan.

Ia hanya mengatakan, apapun yang terjadi nanti setelah 2024, ia berharap terus bisa memberikan yang terbaik untuk sesama.

"Manusia memang tempat berencana, tetapi hanya Tuhan yang menentukan, yang terpenting terus semangat menjalani hidup, terus berusaha menjadi lebih baik," pungkasnya.

(Rio Rizalino\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar