Kualitas Udara DKI Terburuk di Dunia, Greenpeace Kritik Pemerintah

Kamis, 16/06/2022 06:11 WIB
Ilustrasi kualitas Udara di DKI Jakarta terburuk di dunia (Bizlaw.id)

Ilustrasi kualitas Udara di DKI Jakarta terburuk di dunia (Bizlaw.id)

Jakarta, law-justice.co - Sikap pemerintah yang hanya memilih diam ketika kualitas udara di DKI Jakarta menjadi yang terburuk di dunia dikritik oleh Greenpeace Indonesia. Air Quality Index (AQI) melaporkan bahwa Indeks kualitas udara di ibu kota pada Rabu (15/6) pukul 09.50 WIB berada di angka 183 US AQI dengan PM 2.5 sebesar 118 µg/m³ dan PM 10 sebesar 20,6 µg/m³.

Dengan angka tersebut, kualitas udara di DKI dinyatakan tidak sehat terutama bagi orang sensitif dengan gangguan pernapasan atau asma.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menilai pemerintah seharusnya memberikan peringatan kepada masyarakat setelah laporan kualitas udara Ibu Kota itu keluar. Sebagai contoh, kata Bondan, pemerintah seharusnya mengeluarkan aturan wajib pemakaian masker saat berada di luar ruangan.

"Harusnya ada warning mitigasi pencegahan kepada publik, `yuk pakai masker`, atau bagi-bagi masker. Nah, ketika mereka sudah merilis data yang menunjukkan kualitas udara tidak sehat, namun tidak ada action selanjutnya, so what begitu?," kata Bondan seperti dilansir cnnindonesia.

Bondan menyebut, cara menentukan sumber kualitas udara memang cukup kompleks lantaran juga dipengaruhi iklim dan cuaca.

Selain itu, sumber pencemaran udara terbanyak berdasarkan laporan DKI Jakarta sementara ini memang berasal dari transportasi. Namun ada pula sumber polutan lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, aktivitas industri hingga pembakaran sampah.

Sementara itu, perbaikan kualitas udara, kata Bondan, harus didasari oleh riset inventarisasi emisi untuk mengidentifikasi sumber pencemar. Ia mengatakan upaya pengendalian sumber pencemar udara bisa berdasarkan hasil inventarisasi emisi.

Dengan demikian, pemerintah tak akan bisa mengidentifikasi sumber pencemar selama tidak melakukan inventarisasi emisi

"Tidak hanya DKI, tapi Jabar dan Banten. Bukti sederhana di laporan ada 14 persen PM 2,5 yang berasal dari pembakaran PLTU, padahal Jakarta tidak ada PLTU. Sehingga soal keterbukaan data sumber pencemar udara menjadi penting sehingga kita tidak berdebat soal sumbernya dari mana," ujarnya.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar