Eks Dirjen di Kemhan Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus Satleit 2015

Rabu, 15/06/2022 14:47 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Kompas)

Jaksa Agung ST Burhanuddin (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Setelah mengantongi bukti permulaan yang cukup, Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menetapkan 3 tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 BT pada Kementerian Pertahanan Tahun 2012-2021. Salah satu tersangka merupakan mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013 sampai dengan Agustus 2016 Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto.

"Menetapkan 3 orang tersangka, satu Laksamana Muda Purnawirawan inisial AP (Agus Purwoto), beliau ini adalah mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013 sampai dengan Agustus 2016," kata Direktur Penindakan Jampidmil Brigjen Edy Imran dalam konferensi pers yang digelar di kantornya Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/6/2022).

Kemudian tersangka lainnya berasal dari sipil, Soerya Cipta Witoelar (SCW) selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kesuma (PT DNK) dan Arifin Wiguna (AW) selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma (PT DNK).

Edy mengatakan tersangka Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto bersama-sama dengan Soerya Cipta Witoelar dan Arifin Wiguna secara melawan hukum merencanakan dan mengadakan kontrak sewa satelit dengan pihak Avantee bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Adapun beberapa peraturan yang bertentangan dengan kebijakan itu di antaranya:

1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

2. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah Pasal 8, Pasal 13 dan Pasal 22 ayat (1), Pasal 38 ayat (4)

3. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Pasal 16, Pasal 27 dan Pasal 48 ayat (2)

Dalam kasus ini tim penyidik telah memeriksa 47 orang saksi yang terdiri dari saksi TNI dan purnawirawan 18 orang, saksi sipil sebanyak 29 orang dan ahli 2 orang. Selain itu tim penyidik koneksitas juga telah menggeledah 2 kantor PT DNK di kawasan Prapanca Jaksel dan Panin Tower Lt 18 A kawasan Senayan City Jakpus, serta 1 apartemen yang ditinggali tersangka SW.

Dari penggeledahan itu, tim penyidik mengumpulkan barang bukti surat dan dokumen elektronik hingga akhirnya ditemukan bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka.

Akibat perbuatannya, para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp 500.579.782.789 (Rp 500 miliar). Adapun rincian kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersangka itu diantaranya pertama, pembayaran Sewa Satelit dan Putusan Arbitrase sebesar Rp 480.324.374.442, kedua pembayaran Konsultan Rp 20.255.408.347.

"Total kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan para tersangka yang disebutkan tadi Rp 500.579.782.789," tuturnya.

Perbuatan para Tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Sebagaimana diketahui, kasus bermula saat satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia pada 19 Januari 2015. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Singkat cerita, Kemhan meneken kontrak dengan sejumlah vendor, yaitu Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat, meskipun belum tersedia anggaran. Akhirnya Avanti dan Navayo pun menggugat pemerintah Indonesia. Menko Polhukam Mahfud Md menyebut sejauh ini negara diwajibkan membayar kepada dua perusahaan itu dengan nilai ratusan miliar rupiah.

"Kemudian, Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," kata Mahfud pada 13 Januari 2021.

"Nah, selain dengan Avanti, pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi nilainya sampai sekarang itu 20.901.209 dolar (USD) kepada Navayo, harus bayar menurut arbitrase. Ini yang USD 20 juta ini nilainya Rp 304 (miliar)," imbuh Mahfud Md.

Di sisi lain, kasus ini sudah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menemukan apakah ada unsur pidananya atau tidak. Sejumlah nama sudah dipanggil Kejagung, salah satunya mantan Menkominfo Rudiantara.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar