Proyek Satelit Indonesia Raya (Satria) Tuai Masalah Lagi

Bancakan Anggaran Negara di Megaproyek Satelit Kementerian Kominfo

Sabtu, 04/06/2022 12:39 WIB
Satelit Satria

Satelit Satria

law-justice.co - Aroma tak sedap tercium dalam proyek pengadaan Satelit Indonesia Raya (Satria) dan satelit cadangan satria Hot Backup Satelit (HBS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Proyek tersebut dikerjakan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), sebuah perusahaan yang berada di bawah naungan Kemenkominfo.

Koordinator Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, ada sejumlah penyimpangan dalam Megaproyek satelit tersebut.

Diantaranya proses tender yang tidak transparan dan sangat tertutup sehingga luput dari pantauan publik.

Pemenang proyek satelit HBS yakni Kemitraan Nusantara Jaya juga sangat mencurigakan. Karena dalam proses lelang Bakti Kominfo hanya meloloskan Kemitraan Nusantara Jaya pada tahapan prakualifikasi.

“Perlu dicatat, dalam proses tender satelit satria tahun 2019 diduga terdapat kongkalikong. Bahkan saat itu Komisi Persaingan Pengawasan Usaha (KPPU) menerima pengaduan dan melakukan investigasi,” ujar Uchok Sky.


Peluncuran proyek satelit Satria oleh Kemenkominfo (Dok.Antara)

Tak hanya itu, dalam proyek tersebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp.103,5 miliar.

Temuan itu tercantum dalam IHPS II 2020 Badan Pemeriksa Keuangan.

Menurut Uchok, kerugian itu sidebabkan karena Kominfo belum menggunakan satelit yang telah disewa serta pemesanan layanan cloud dengan spesifikasi dan kapasitas yang melebihi kebutuhan.

Kejanggalan lain, menurut Uchok adalah membengkaknya anggaran proyek HBS, dimana berdasarkan RUP Rencana Umum Pengadaan 2022, Bakti Kominfo menetapkan pagu Rp3.975.687.100.000.

Sementara dalam perjalanannya anggaran proyek satelit HBS mengalami kenaikan fantastis sebesar Rp 1,3 triliun, menjadi Rp 5,2 triliun.

Laporan BPK Soal Proyek Satelit Kominfo
Dalam laporan IHPS Semester I Tahun 2020, BPK menyebut program satelit Kominfo terjadi pemborosan karena penyediaan kapasitas satelit belum digunakan sebesar Rp98,20 miliar, pemesanan layanan cloud dengan spesifikasi dan kapasitas yang melebihi kebutuhan sebesar Rp5,39 miliar, serta permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp2,26 miliar.

Sehingga menurut BPK Aset yang telah dibangun/diadakan dari anggaran belanja negara belum dapat dimanfaatkan sesuai maksud dan tujuan pengadaan aset tersebut.

Selain itu, BPK menyebut juga ada pemborosan keuangan negara atas penyediaan kapasitas satelit yang tidak dimanfaatkan, sewa peralatan yang melebihi harga perolehan atau pengadaan yang melebihi kebutuhan.

Dari catatan, setidaknya ada beberapa proyek di Kominfo yang tidak ekonomis, efisien, dan efektif (3E). Seperti Pelaksanaan pekerjaan Proyek Palapa Ring Timur, penyewaan satelit dan pemesanan layanan cloud.


Satelit Satria milik RI (Net)

Bukan hanya soal program Satelit Satria dan proyek satelit yang sekarang sedang ramai, BPK juga pernah membeberkan kinerj lembaga BAKTi milik Kemenkominfo.

Dalam laporan itu, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil auditnya yang isinya triliunan uang upeti dari penyelenggara layanan telekomunikasi itu tidak jelas peruntukannya. Bahkan, ada klaim dari perusahaan pemenang tender layanan sarana telekomunikasi yang nilainya mencapai Rp 2,40 triliun dan US$1,64 juta.

Catatan merah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tercantum dalam IHSP II tahun 2019. BPK telah menilai sejauh mana BP3TI dan penyedia jasa patuh terhadap Perjanjian Kerja Sama dalam Program KPU/USO Tahun Jamak (multiyears).

Dalam dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2019, lembaga audit negara itu menjelaskan ada pemborosan keuangan negara yang digunakan dalam penganggaran dan realisasi dana operasional Badan Layanan Umum Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informatika (BLU BAKTI) yang belum mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 1,17 miliar.

Selain itu, BPK juga menghitung berapa nilai klaim yang wajar dari para penyedia jasa kepada BP3TI, setelah adanya surat Menteri Keuangan Nomor S-11/MK.02/2015 tanggal 26 Januari 2015 yang menyatakan izin kontrak kerja sama berakhir pada 31 Desember 2014.

BPK juga mencatat ada klaim penyedia jasa yang tidak didukung dokumen sehingga klaim tidak dapat diakui oleh BPK sebesar Rp 611,50 miliar.

BPK juga melakukan koreksi hasil pemeriksaan sebesar Rp 347 miliar dan US$13,27 ribu karena tidak adanya prestasi kerja berdasarkan log data yang diuji lembaga audit negara tersebut.

Sehingga BPK menyimpulkan nilai wajar prestasi kerja yang dapat dibayarkan kepada penyedia data sebesar Rp 1,44 triliun dan US$1,12 juta.

Untuk itu, BPK memberikan rekomendasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika serta Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI dahulu BP3TI) agar berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk menyelesaikan klaim penyedia jasa sesuai dengan hasil pemeriksaan.

BPK juga mendesak agar Menteri Komunikasi dan Informatika memerintahkan Direktur Utama BAKTI, untuk menyusun mekanisme penyelesaian penyerahan aset sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan berlaku.


Audit BPK Terhadap proyek pengadaan satelit dan layanan cloud (Dok.BPK)

Penegak Hukum Didesak Bertindak
Terkait adanya sejumlah kejanggalan tersebut, CBA mendesak aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan untuk menyelidiki megaproyek Bakti Kominfo Proyek Satelit Satria dan Proyek Satelit Cadangan HBS.

"Panggil dan periksa Direktur Utama Bakti Kominfo Anang Achmad Latif untuk dimintai keterangan,” tekan Uchok.

Menanggapi desakan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi mempersilakan siapapun melakukan pelaporan terhadap dugaan penyimpangan atau korupsi dalam Megaproyek satelit satria tersebut.

Menurut Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, pelaporan tersebut penting karena menjadi bentuk peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

"KPK dan penegak hukum lain tentu tidak bisa memberantas korupsi tanpa peran serta masyarakat. Silakan dapat melapor ke KPK jika memiliki informasi dan data akurat mengenai dugaan korupsi yang diketahuinya," ujar Ali Fikri kepada law-justice.co.

Ali Fikri menambahkan, jika sudah ada pihak-pihak yang melaporkan dugaan korupsi atau penyimpangan dalam Megaproyek satelit Satria Kementerian Kominfo, KPK akan menindaklanjutinya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga antirasuah tersebut.

"Tentu laporan dengan data valid supaya kami dapat verifikasi lebih lanjut sesuau kewenangan kami sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku," sambung Ali Fikri.

Satelit Satria tak akan bisa mengorbit?

Megaproyek satelit Satria awalnya digagas Menkominfo periode lalu, yakni Rudiantara.

Saat itu, proyek ini rencananya akan memakan APBN tak kurang dari Rp21 triliun, untuk pengadaan satelit dan peluncurannya.

Namun tampaknya dana yang dikeluarkan pemerintah akan lebih dari Rp80 triliun. Hal ini disebabkan Bakti, sebagai pihak yang menjalankan proyek ini, harus menyediakan 150 ribu titik layanan telekomunikasi di seluruh Indonesia.

Namun hingga kini kelanjutan Megaproyek tersebut tidak jelas. Koordinator CBA, Uchok Sky Khadafi mengatakan, dalam pengerjaannya, proyek satelit satria molor hingga tiga tahun.

Menurut Uchok. satelit tersebut seharusnya mengorbit pada akhir 2020 lalu, namun Kemenkominfo menyatakan akan mundur jadi 2023.

"“Atas molornya proyek Satelit Satria, Bakti Kominfo beralasan karena pandemi Covid-19, keamanan di Papua serta kondisi geografis,” kata Uchok.

Molornya proyek ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Kami mencoba mengonfirmasi hal tersebut ke Direktur Bakti, Anang Latif, namun yang bersangkutan tidak menjawab telepon dan pesan singkat dari law-justice.

Kami juga telah mengirimkan daftar pertanyaan ke sekretaris Anang, namun hingga laporan ini ditulis, tak ada jawaban dari Anang maupun sekretarisnya.

Kami lalu mendapatkan informasi alternatif dari salah satu orang Bakti yang tak ingin disebutkan namanya.

Menurut dia, kemungkinan besar proyek satelit Satria akan batal dan satelit tersebut tidak akan bisa mengorbit.

Hal itu disebabkan, proses pengerjaan satelit ini terlalu lama, salah satunya karena molor, seperti diuraikan Koordinator CBA, Uchok Sky Khadafi.

Karena itu, slot satelit yang dimiliki Indonesia sudah tidak ada, karena keburu dipakai oleh negara lain.

Sumber law-justice.co tersebut lalu mengatakan, pengerjaan satelit Satria bisa menjadi percuma, karena tidak akan bisa diorbitkan.

Jika yang dikatakan oleh sumber tersebut adalah benar, maka dugaan adanya pemborosan uang negara berjumlah triliunan rupiah dalam proyek satelit satria, semakin terungkap.

Kementerian Kominfo Bungkam
Terkait adanya dugaan korupsi dan penyimpangan dalam Megaproyek satelit satria, hingga kini Kementerian Kominfo masih tutup mulut.

Seharusnya banyak pertanyaan yang mereka jawab, agar semua dugaan-dugaan tersebut menjadi benderang.

Guna mengonfirmasi sejumlah dugaan yang muncul, kami menghubungi sejumlah pejabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mulai dari Menteri Kominfo Johnny G Plate, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemenenterian Komunikasi dan Informatika Ismail, dan Juru Bicara kementerian Kominfo Dedy Permadi.

Semua enggan memberikan komentar mengenai Megaproyek satelit Satria yang diduga terdapat penyimpangan dan korupsi.

Bungkamnya Kementerian Kominfo terkait sejumlah dugaan tersebut, membuat tanda tanya di balik proyek satelit Satria semakin besar. Ada apa dengan proyek satelit Satria?

Untuk Apa Satelit Satria?
Pengadaan satelit satria yang berada dibawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berada di dalam sorotan.

Seperti diketahui pendanaan untuk mengadakan satelit tersebut merogoh kocek dana hingga triliunan rupiah.

Kemenkominfo juga berencana meluncurkan Satelit Satria itu pada akhir Tahun 2023 mendatang.

Selain itu, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo beberapa waktu lalu telah merealisasikan pembangunan satelit senilai Rp 5,2 triliun untuk mem-backup satelit Satria 1.

Satelit tersebut dinamakan Hot Backup Satellite (HBS) dan fungsinya sebagai satelit cadangan jika satelit internet cepat Satria 1 mengalami anomali ketika meluncur.

Ditengah polemik satelit satria tersebut, Pengamat Telekomunikasi Ariyanto A. Setyawan mengkritik rencana dari Menkominfo tersebut.

Ariyanto menilai satelit yang beroperasi di angkasa tidak membutuhkan satelit khusus sebagai cadangan kapasitas.

Hal tersebut ditambah dengan pengadaan satelit satria yang sudah merogoh kocek yang besar.

"Iya satelit itukan mahal harganya jadi perlu perhitungan yang teliti," kata Ariyanto kepada Law-Justice.

Terkait dengan rencana satelit cadangan, Ia juga mengatakan bila pada umumnya satelit yang mengorbit, tidak ‘ditemani’ oleh satelit kosong atau satelit khusus sebagai cadangan.

Dalam beberapa kasus, satelit cadangan adalah satelit yang juga sedang mengorbit di angkasa. Para pemain satelit saling bertukar kapasitas atau swap, untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.

"Tidak ada satelit cadangan, yang ada adalah clustering. Dua satelit dioperasikan oleh satu sistem sehingga jika ada masalah bisa repointing [pengalihan] ke satelit yang lain,” ucapnya.

Meski demikian, Ariyanto menyebut bila satelit cadangan bersandar pada satelit aktif, kapasitas yang bisa dipulihkan oleh satelit aktif tersebut tidak akan maksimal.

Penyebabnya, beban satelit aktif atau kapasitas yang terpakai oleh satelit aktif sudah sangat besar.

"Misalnya, Telkom dan BRI memiliki satelit aktif. Telkom meminta sebagian kapasitas satelit BRI dikosongkan agar dapat menjadi cadangan kapasitas ketika satelit Telkom gangguan. Begitupun sebaliknya. Artinya, ketika satelit Telkom bermasalah maka hanya sebagian layanan yang dapat dibantu atau dibackup oleh satelit BRI," paparnya.

Sementara itu, jarang ada satelit yang mengorbit dengan status kosong atau ditujukan khusus sebagai cadangan bagi satelit lain.

Ariyanto menegaskan dalam mengerjakan proyek satelit harus hati-hati karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

“Intinya akan rugi kalau hanya stand by satelitnya. Pasti yang terjadi adalah dua-duanya aktif, jadi mesti teliti dalam mengerjakan proyek satelit,” ujarnya.

Komisi I Desak Penyelesaian Satelit Satria

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyatakan program satelit yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika, khususnya BAKTI dapat segera terlaksana tahun depan.

Ia mengatakan bahwa hadirnya satelit satria diperlukan mengingat penggunaan internet yang sudah cukup padat ditambah dengan beragam konten yang ada saat ini.

"Tampaknya dengan penggunaan internet yang sudah cukup padat dan konten-konten yang sekarang tidak lagi teks, video, dan lain-lain memerlukan bandwidth yang lebih besar dan ini kelihatannya yang dilakukan bandwidth-nya sudah cukup penuh. Yang dilakukan oleh BAKTI yang digunakan secara gratis oleh masyarakat, baik itu tenaga kesehatan maupun murid-murid di sekolah-sekolah," kata Meutya kepada Law-Justice.

Meutya menegaskan bila tim panja Komisi I juga mendukung BAKTI untuk terus melakukan langkah-langkah yang tepat dan strategis.

Hal tersebut dalam mengantisipasi berbagai kendala dan masalah yang dihadapi sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan akses internet bagi masyarakat, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, dan pengembangan usaha.

Meutya menjelaskan bahwa Komisi I DPR RI sedang membuat panja untuk dukungan internet, pemerataan internet yang dilakukan oleh Kemenkominfo, khususnya oleh BAKTI di seluruh Indonesia.

Ia menyatakan dalam hal ini Kemenkominfo dan BAKTI harus cermat dalam menggunakan anggaran satelit termasuk satelit satria.

"Jadi, kami ini dalam rangka masukan untuk panja sebetulnya pelaksanaannya sudah seperti apa, kalau ada kendala, kendalanya seperti apa? Termasuk misalnya dukungan-dukungan anggaran," ucapnya.

Misalnya, diperlukan lebih banyak titik, menurut dia, berarti juga harus memikirkan tidak hanya fungsi pengawasan, tetapi fungsi penganggarannya seperti apa.

"Jadi, kurang lebih seperti itu dan kami akan ke beberapa titik," ungkapnya.

Meutya menyebut bila tim panja juga akan menjadikan berbagai masukan yang disampaikan untuk selanjutnya akan menjadi bahan/catatan dalam rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan mitra Komisi I DPR RI.

Meutya mengharapkan alokasi anggaran pemerintah yang sudah digunakan oleh BAKTI untuk bangun proyek multinasional itu benar-benar dirasakan manfaatnya.

"Serta maksimal dalam penyediaan akses internet dan juga layanan telekomunikasi," harapnya.

Sementara, Anggota Komisi I DPR RI lain Junico Siahaan menyatakan dalam mengerjakan proyek satelit diperlukan ketelitian dan kehati-hatian.

Hal tersebut karena anggaran dalam pengadaan proyek satelit satria sangat besar dan perlu hati hati.

Bahkan, menurutnya untuk membahas terkait program satelit dibutuhkan waktu khusus dengan Kemenkominfo supaya lebih fokus.

"Ya untuk ini (satelit satria) perlu waktu khusus pembahasan dengan Kemenkominfo," kata Nico kepada Law-Justice.

Nico menuturkan dalam beberapa kali Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Menkominfo pembahasan soal satelit masih jarang dilakukan.

Meski begitu ia menyatakan telah menerima banyak masukan terkait kondisi satelit di Indonesia.

"Saya dapat banyak masukan juga, cuma memang untuk saat ini belum ada agenda khusus soal pembahasan satelit," tuturnya.

Ia menyebut bila saat ini Kemenkominfo masih memiliki sejumlah program yang memiliki prioritas lebih mendesak.

Meski begitu, ia menyatakan bila program satelit juga sangat penting terutama untuk dapat membantu akses internet masyarakat.

"Ia jadi masih ada beberapa program Menkominfo yang prioritasnya lebih mendesak, tapi pasti kita akan follow up soal program satelit satria ini," ujarnya.

Perencanaan Tak Cermat?
Mantan Anggota Komisi I DPR RI Roy Suryo turut mengkritisi megaproyek pembangunan satelit satria.

Salah satu yang dikritisi oleh Roy Suryo adalah pembangunan infrastruktur Satelit tersebut.

Menurutnya slot orbit satelit tersebut lebih tepat digunakan berada di wilayah Kalimantan.

"Kalau untuk Indonesia idealnya adalah slot yang ada di atas Kalimantan. Apalagi dengan rencana Pemerintah memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan," ungkap Roy kepada Law-Justice.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu mengatakan pembangunan SATRIA lebih tepat menggunakan slot orbit 113 karena slot orbit itu berada di tengah-tengah wilayah Indonesia.

Sedangkan pada slot orbit 146 yang dipilih pemerintah saat ini, kata Roy, telah dimanfaatkan untuk satelit N1 milik Pasifik Satelit Nusantara.

"Jangan sampai case, slot ini, slot kita yang sudah ada di 146 malah mau kita geser. Padahal lifetimenya masih lama. Sedangkan kita punya slot yang di atas Kalimantan," katanya.

Roy juga menuturkan bila program satelit satria ini perlu dikawal oleh DPR terutama Komisi I karena untuk memastikan program satelit itu bisa dirasakan oleh masyarakat.

"Harus tetap diawasi program ini (satelit satria)," tuturnya.

Sementara itu mantan Pakar Satelit dari PT Satelindo dan Pengamat Satelit David mengatakan bila Slot satelit berada pada 360 derajat, dan pengaturannya ada pada PBB lebih tepatnya ITU).

David mengatakan bila suatu negara tidak memiliki jatah walaupun satelit langit berada diatas tempat tersebut.

"Dulu tiap satelit di jatah 1°, siapa duluan booking dia yang dapat, syaratnya sudah harus punya rencana frekuensi dan kontrak pembuatan satelit. Permintaan dikirim ke ITU," kata David kepada Law-Justice.

David menyatakan hal yang menjadi repot adalah saat ini permintaan orbit slot sudah lebih besar dari 360.

"Jadi ITU mengakali dengan co-location orbit slot, selama frekuensinya tidak saling ganggu," ujarnya.

Meski begitu, David menyatakan bila permintaan ke ITU tidak boleh atas nama perusahaan/pribadi dan harus atas nama negara.

Namun, perusahaan bisa mengajukan filing (kelengkapan admin satelit) ke Kominfo dan kemudian Kominfo ajukan ke ITU.

"Satelit bisa dalam satu area lebih dari satu tapi mempunyai orbit berbeda dan frekuensi berbeda dan tidak saling mengganggu satu sama lain," ungkapnya.

Dalam regulasi pengaturan Hukum Ruang Angkasa, Hukum internasional mengakui status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagian pun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara.

Hal ini tampak jelas dari berbagai resolusi Majelis Umum PBB yang dikeluarkan setelah terjadinya perkembangan teknologi ruang angkasa yang dimulai dengan peluncuran satelit bumi pertama oleh Uni Soviet tahun 1957.

Resolusi Majelis Umum tahun 1962 (XVII) yang diterima pada tahun 1963, menetapkan beberapa asas hukum yang antara lain menetapkan bahwa penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa serta benda angkasa (celestial bodies) dapat dilaksanakan oleh negara manapun secara adil dan sesuai dengan hukum internasional.

Ruang angkasa dan benda angkasa tidak dapat dijadikan bagian dari wilayah atau tunduk kepada hukum negara manapun.

Berdasarkan data yang diperoleh oleh Law-Justice, terdapat 26 satelit komunikasi yang telah diluncurkan di Indonesia.

Saat ini, terdapat enam satelit yang telah diluncurkan dan sampai saat ini masih beroperasi.

Enam satelit itu adalah Satelit Telkom-2 yang mulai beroperasi dari tahun 2005 dan sampai saat ini masih beroperasi, Indostar II beroperasi tahun 2009 dan berakhir tahun 2024.

Ketiga ada satelit BRIsat yang beroperasi sejak tahun 2016 dan akhir operasi tahun 2031, Sementara Telkom-3S mulai beroperasi tahun 2017 hingga tahun 2032.

Kelima satelit Telkom-4 yang beroperasi pada tahun 2017 dan berakhir operasi di tahun 2033, dan terakhir satelit Nusantara Satu beroperasi tahun 2019 dan berakhir di tahun 2034.

Terakhir satelit yang beroperasi adalah satelit Palapa N1 (Nusantara 2) namun peluncuran satelit tersebut dinyatakan gagal.

Awalnya, peluncuran roket berjalan dengan baik di tahap pertama dan kedua. Kendala baru muncul beberapa menit saat memasuki tahap tiga.

Di tahap tiga, terdapat dua roket, di mana salah satunya tidak menyala, sehingga tidak memenuhi kecepatan yang dibutuhkan untuk mencapai orbit yang telah ditetapkan.

Sejarah Proyek Satelit Satria
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berencana akan meluncurkan satelit multifungsi Satria (Satelit Indonesia Raya) akan beroperasi pada kuartal III 2023.

Menkominfo Johnny G. Plate menjelaskan peluncuran satelit Satria ini untuk mendukung pembangunan transformasi digital di Indonesia yang diminta Presiden Joko Widodo untuk dipercepat kala pandemi Covid-19.

Hal tersebut disampaikan saat acara penandatanganan kerja sama dimulainya konstruksi Satelit Multifungsi Republik Indonesia (Satria) antara PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) dengan perusahaan asal Perancis, Thales Alenia Space (TAS) di Jakarta, Kamis, 3 September 2020  lalu.

Adapun nilai dari kontrak konstruksi satelit Satria ini sebesar USD 550 juta atau setara Rp 8 triliun.

Dalam penandatanganan ini, Direktur Utama SNT Adi Rahman Adiwoso menyebut, alasan dibutuhkannya satelit multifungsi Satria yang punya spesifikasi high throughput satellite (HTS) untuk Indonesia.

Menurutnya, pada 2024-2025 mendatang, harga internet berkecepatan 1Mbps per bulan masih lebih mahal ketimbang yang dibayar BAKTI. Oleh karena itu dibutuhkan investasi yang lebih terjangkau tetapi berkualitas.

Menurutnya, satelit Satria menggunakan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan masa konsensi selama 15 tahun, yakni selama satelit beroperasi.


Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar