Bisnis Berbasis Teknologi RI Alami Gelombang PHK, Efek Bubble Burst?

Jum'at, 27/05/2022 15:46 WIB
Ilustrasi PHK (IDX)

Ilustrasi PHK (IDX)

Jakarta, law-justice.co - Industri perusahaan rintisan (startup) dan e-commerce ataw e-dagang berbasis teknologi di Indonesia tengah mengalami gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Peneliti Indef, Nailul Huda mengatakan ada kekhawatiran gelombang PHK tersebut terjadi karena fenomena gelembung ekonomi pecah atau bubble burst.

Kata dia, bubble burst adalah kondisi saat kenaikan ekonomi melaju cepat tetapi cepat pula jatuhnya.

Menurut dia, kondisi ini sedang terjadi pada industri startup di dalam negeri, karena pertumbuhannya yang instan pada awal pandemi, tapi merosot tajam sampai berakibat pada pengurangan karyawan.

"Banyak startup yang tidak dapat bertahan di waktu yang bersamaan. Akibatnya, muncul fenomena PHK di industri startup digital," sebut Nailul seperti melansir cnnindonesia.com.

Menurut dia, kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya aliran modal di pasar akibat investor semakin selektif dalam memilih perusahaan untuk berinvestasi.

Sentimen ekonomi global seperti inflasi yang kian meningkat dan kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS pun turut berkontribusi pada hal tersebut.

"Suku bunga ketat akan menekan penyaluran modal ventura (VC) ke startup. Startup akan kehilangan sumber pendanaan potensial dari VC," jelas Nailul.

Jumlah startup di Indonesia semakin bertambah, sedangkan modal semakin menipis. Karena perusahaan startup terlalu agresif dalam berekspansi di awal, alhasil mereka terpaksa mengurangi karyawan yang sebelumnya mereka rekrut secara besar-besaran

"Saya lihat pendanaan dari venture capital yang saya rasa semakin selektif dan tidak semua startup digital mendapatkan pendanaan yang cukup. Dampaknya, mereka akan melakukan efisiensi dengan mem-PHK karyawan," katanya.

Nailul mengangkat contoh kasus bubble burst yang pernah melanda di situs-situs belanja online.

Saat itu, banyak situs belanja daring yang bermunculan, tapi pada akhirnya hanya segelintir saja yang mampu bertahan sampai sekarang.

"Akhirnya mereka gagal bersaing dan yang kuat yang bertahan, seperti Google dan Amazon. Situs seperti Yahoo pun akhirnya tumbang," imbuh Nailul.

Sebaliknya, Vice President of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto membantah bahwa startup di Indonesia sedang mengalami bubble burst. Ia menyebut kondisi yang terjadi adalah perbaikan lebih alias overcorrection.

"Jadi kalau dibilang bubble burst saya rasa ini belum atau enggak ke arah sana. Jadi kalau bisa dibilang sekarang mengarahnya ke overcorrection," terang Aldi.

Overcorrection adalah kondisi di mana pasar mulai terkoreksi secara masif, dengan penurunan terjadi di beberapa sektor yang terdampak.

Meski begitu, ia akui sekarang startup semakin sulit mendapatkan dana sebab kondisi ekonomi global sedang terguncang oleh perang Rusia-Ukraina.

Hal ini berdampak pada perusahaan startup di Indonesia yang melihat investor global mengalihkan dana mereka ke aset yang lebih aman.

"Banyak investor mereka antara menyimpan dana atau mereka mengalihkan investasi ke aset yang bisa dibilang lebih secure atau risiko lebih rendah dibanding stock market atau pun investment di venture capital," ucapnya.

Sementara, perusahaan startup di Indonesia terus bermunculan dan membutuhkan suntikan dana besar untuk berkembang. Namun, dana di pasar semakin menipis di kala investor global mengalihkan investasi mereka.

"Suplai capital semakin berkurang sedangkan demand capital startup-nya sendiri tetap atau tumbuh terus. Diekspektasikan terjadi crunch di mana bisa dibilang mendapatkan funding akan lebih susah," tandas Aldi.

 

 

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar