AA Lanyalla Mahmud Mattalitti (La Nyalla Mattalitti), Ketua DPD RI

Peringatkan MK Jangan Bermain Api & Cabut PT di Pilpres 2024

Selasa, 24/05/2022 16:30 WIB
Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti (Ist)

Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti atau La Nyalla Mattalitti saat ini menjabat sebagai Ketua DPD RI dan mempunyai latar belakang sebagai pengusaha dan aktivis organisasi kemasyarakatan. Selain sebagai Ketua DPD RI, La Nyalla selama ini dikenal publik sebagai Ketua PSSI ke 15 pada tahun 2015-2016.

 
Semenjak masih muda, senator kelahiran 10 Mei 1959 ini juga kerap aktif dalam berbagai aktivitas organisasi dari Pemuda Pancasila, KNPI hingga HIPMI. Bahkan dahulu La Nyalla juga sempat aktif menjadi Politisi Partai Golkar pada Tahun 1995 hingga 1997, sebelum akhirnya pindah ke Partai Patriot.
 
Saat ini La Nyalla juga mempunyai peranan penting didalam organisasi Pemuda Pancasila dan menjabat sebagai Ketua MPR Pemuda Pancasila Jawa Timur. Selain HIPMI, La Nyalla juga pernah aktif di KADIN bahkan menjabat sebagai Ketua dari tahun 2009 hingga 2019.
 
Sebelum pada akhirnya, La Nyalla dilantik oleh Mahkamah Agung pada Tahun 2019 untuk menjadi Ketua DPD RI menggantikan Oesman Sapta Odang. Selama menjadi Ketua DPD RI, La Nyalla juga kerap aktif memberikan kritik kepada kebijakan pemerintah.
 
La Nyalla merupakan sosok yang memiliki komitmen tinggi dan keberanian memperjuangkan independensi.  Ia juga menyatakan sebagai Ketua DPD RI dan sebagai senator ia terus memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah-daerah.
 
Selain itu ia juga menegaskan bila ia bisa menjadi Ketua DPD RI karena bantuan rakyat sehingga dia komitmen untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat. "Saya duduk di sini sebagai ketua DPD karena dipilih oleh rakyat, Saya tidak ada urusan dengan kepentingan politik para oligarki," tegas La Nyalla kepada Law-Justice.co,
 
Pria 63 Tahun ini juga berkomitmen bila kedaulatan rakyat tidak hanya dimandatkan kepada politisi saja. Pasalnya, selain partai politik, tentu utusan daerah, TNI dan kelompok tertentu juga harus mempunyai kedudukan yang kuat. "Sehingga kedaulatan rakyat bukan hanya dimandatkan kepada politisi saja, tetapi juga digawangi oleh utusan daerah, golongan-golongan, dan TNI," ucapnya.
 
Peringatkan MK
 
Belakangan ini, La Nyalla juga melontarkan kritik kerasnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan menurutnya MK seharusnya bisa menjaga negara dari produk Undang Undang (UU) yang bertentangan dengan konstitusi RI.
 
La Nyalla mengatakan bila MK memiliki tugas untuk melakukan koreksi bahkan membatalkan produk Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi. Karena itu MK jangan coba-coba main api dengan ketentuan yang sudah final konstitusi kita, tegasnya.
 
Meski begitu, Senator Dapil Jawa Timur itu menyebut bila dalam beberapa kasus, MK justru memutuskan bahwa Undang-Undang yang diuji tersebut sebagai bentuk open legal policy.
 
Dengan kata lain kewenangan terbuka bagi pembuat Undang-Undang, dalam hal ini yaitu DPR RI dan Pemerintah. Bahkan, kata La Nyalla tidak jarang MK tidak memeriksa pokok materi, karena penguji gugur terlebih dahulu karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau tidak berkepentingan dan tidak dirugikan terhadap gugatan yang diajukan.
 
"Saya memberi contoh kasus yang spesifik terhadap fenomena yang saya sebut misalnya pengujian atau judicial review atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," katanya.

Seperti diketahui dalam Pasal 222 tersebut adalah Pasal yang mengatur adanya Ambang Batas Pencalonan pasangan Capres dan Cawapres yang dapat diusung partai politik. Atau dikenal dengan istilah Presidential Threshold. 
 
Dalam Pasal 222 tersebut, basis perolehan kursi atau suara nasional tersebut didasarkan pada basis suara pada pemilu sebelumnya. Atau suara 5 tahun sebelumnya.  "Pasal ini sungguh kacau. Selain tidak derivatif (tidak ada cantolannya) di Undang-Undang Dasar, juga menyebabkan persoalan-persoalan serius kebangsaan kita sebagai negara," ungkapnya.

Bahkan, menurutnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut, hanya gara-gara adanya Pasal 222 itu bisa menyebabkan negara ini lumpuh atau mengalami persoalan serius dalam sistem tata negara. 
 
Lantas ia membeberkan bila UU harus memiliki tiga unsur hakiki hukum supaya UU itu dapat menjadi solusi bukan justru jadi masalah, yaitu;
"Satu, UU yang dihasilkan harus predictability atau bisa memprediksi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang dan bisa menjawab secara utuh," bebernya.
Kedua, menurut La Nyalla UU juga harus bisa menciptakan stabilitas atau keseimbangan bagi negara. 
Ketiga, UU harus mengandung unsur fairness. Ini mutlak, karena hakikat hukum dan Undang-Undang adalah keadilan.
 
La Nyalla menyebut akibat adanya Pasal 222 dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu telah menjadikan Undang-Undang tersebut tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang mutlak harus ada.

"Bahkan, atas keberadaan Pasal 222 tersebut, saya dan ratusan juta rakyat Indonesia sebagai peserta Pemilihan Presiden bisa Kehilangan Hak Pilih karena Negara ini bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck atau macet, akibat penerapan Pasal 222 tersebut," bebernya.
 
La Nyalla memaparkan hal tersebut bisa saja terjadi karena UU Pemilu tidak bisa menjawab kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, hanya gara-gara satu Pasal itu.

Hal tersebut berbahaya karena bukan hanya Pemohon yang akan kehilangan kesempatan untuk memilih Capres dan Cawapres, tetapi juga bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan.
 
"Bila gabungan Parpol yang mengusung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,1 persen atau 75,1 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu Pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar," paparnya.
 
La Nyalla menegaskan bila UU Pemilu terutama dengan keberadaan Pasal 222 menjadikan UU ini tidak bisa menjawab kemungkinan yang dapat terjadi pada masa yang akan datang.
 
UU Pemilu tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti, terdapat Partai Politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,1 persen suara sah secara nasional.
 
Tentu hal tersebut bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi dapat berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan Tata Negara bangsa ini, dan dapat mengancam Tujuan serta Cita-Cita Nasional Negara ini seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar kita.

Maka dari itu UU Pemilu itu bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Makanya saya ingatkan lagi hakim-hakim MK jangan nekat bermain api karena lawannya adalah kehendak suara rakyat dan amanat konstitusi UUD 1945. "Sehingga Pasal 222 tersebut dapat saya sebut sebagai Pasal yang membuka peluang untuk melakukan Tindakan Subversif terhadap negara ini," tegasnya.
 
Mantap Maju Pilpres 2024?
 
Menjelang Pilpres 2024, sejumlah nama masuk dalam bursa untuk menggantikan Jokowi yang telah berkuasa dua periode. Salah satunya adalah La Nyalla, akhir-akhir ini bahkan popularitas dan elektabilitas La Nyalla perlahan namun pasti mulai masuk dalam bursa.
 
Selain itu, La Nyalla juga mendapatkan sejumlah dukungan dari beberapa kelompok masyarakat. Dimulai dari ratusan masyarakat Bali yang menamakan diri sebagai pertalian Budaya Bali memberikan dukungan kepada La Nyalla untuk maju di Pilpres 2024 mendatang. 
 
Mereka menilai Ketua DPD RI itu adalah sosok yang mampu membawa aspirasi masyarakat adat dan menjaga kelestarian budaya. Serta memperjuangkan raja-raja Nusantara yang telah memberi kontribusi dalam kemerdekaan republik Indonesia. 
 
Sekitar ratusan orang dan sejumlah tokoh ada Bali ikut mendukung dan mendeklarasikan La Nyalla for presiden RI 2024 beberapa waktu lalu. Selain itu, La Nyalla juga dianggap tokoh yang memiliki perhatian serius terhadap budaya di Indonesia. 
 
La Nyalla disebut selalu hadir dan memberikan perhatian bahkan bantuan kepada lembaga-lembaga adat dan kerajaan Nusantara. Dukungan juga datang dari Masyarakat Pasundan Bersatu (MPB), sekitar seribu orang yang menamakan diri MPB mendukung LaNyalla untuk maju sebagai Capres 2024. 
 
Mereka menganggap jika La Nyalla merupakan sosok tokoh yang tepat untuk memimpin bangsa Indonesia di Tahun 2024. MPB mengakui bila selama ini selalu dikecewakan akibat sikap pemimpin di tingkat nasional yang minim keberanian dalam mengambil kebijakan yang berpihak kepada rakyat. 
 
Hal tersebutlah yang menjadi awal kepercayaan untuk mendukung La Nyalla maju sebagai Capres 2024. La Nyalla dianggap sebagai pemimpin yang tegas dalam mengambil kebijakan dan keputusan untuk kebaikan rakyatnya. La Nyalla juga tidak diintervensi oleh kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Menanggapi dukungan tersebut, La Nyalla  mengaku masih menunggu sistem jemput bola upaya maju dalam kontestasi pemilihan Calon Presiden (Capres) pada tahun 2024.

"Saya selalu bilang, bahwa saya bukan Capres 2024 tetapi Presiden 2024. Ini namanya kita menjemput takdir," ucapnya. La Nyalla merasa yakin, meskipun banyak partai politik yang berbeda asumsi terkait ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) jika berkehendak, dirinya bisa maju sebagai Capres 2024.
 
"Bila tidak dikehendaki, didorong dengan berbagai carapun tetap tidak bisa," ungkapnya. La Nyalla juga termasuk kepada pihak yang menentang masa perpanjangan jabatan Presiden dan penundaan pemilu.
 
Belajar dari sejarah bila kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung berbahaya untuk bangsa Indonesia. "Ini kan kita sudah belajar dari dua orde, lama dan baru, yang kita alami. Kekuasaan yang tidak dibatasi, tidak membawa kebaikan," ujarnya.
 
La Nyalla bahkan membantah keras big data yang disebutkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Umum (ketum) PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
 
Menurutnya, itu merupakan agenda setting untuk membenarkan wacana penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden. La Nyalla mengatakan bila agenda setting melalui big data bertujuan untuk membentuk opini publik bahwa penundaan pemilu layak dilakukan. “
 
Jadi, kalau saya lihat, upaya-upaya yang dilontarkan melalui pernyataan-pernyataan, baik itu dari ketua partai maupun dari pak Luhut, sebenarnya adalah agenda setting untuk membentuk persepsi publik, sekaligus membentuk opini di masyarakat bahwa penundaan pemilu memang pantas untuk dilakukan,” katanya.
 
Kritik Pembangunan IKN 
 
La Nyalla juga memberikan tanggapan terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Ia bahkan mengingatkan pemerintah jika dukungan publik terhadap pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara berpotensi menurun.

La Nyalla menyebutkan potensi turunnya dukungan publik terhadap pembangunan IKN Nusantara terbaca berdasarkan analitik Big Data yang digunakan oleh DPD RI dalam rangka menyerap aspirasi publik.

“Dari analitik big data kami, tingkat kesukaan atau antusiasme publik melalui media sosial terhadap IKN Nusantara turun menjadi 33 persen dibandingkan pemantauan yang dilakukan pada periode Januari 2022, yang mencapai sekor 48 persen,” ucapnya.

Mantan Ketum PSSI itu menyebut bila Presiden Jokowi harus segera membenahi masalah ini sesegera mungkin dan jangan sampai berlarut-larut. Karena akan mengganggu dukungan masyarakat terhadap proses pembangunan lainnya, termasuk IKN Nusantara.

Menurutnya, pada periode Januari 2022, media sosial diramaikan oleh berbagai kritik media terhadap IKN Nusantara, terkait isu lingkungan hidup, penggunaan dana yang bersumber dari APBN, mahalnya harga lahan dan isu kedaulatan.

“Walau banyak kritik, nyatanya dukungan masyarakat terhadap IKN Nusantara sangat tinggi saat itu. Hal ini dikarenakan masyarakat mendukung IKN Nusantara dalam rangka pemerataan pembangunan,” ungkapnya.

Ditanya alasan potensi turunnya dukungan masyarakat, LaNyalla menambahkan berdasarkan analitik big data, penurunan dukungan publik terjadi akibat persoalan ekonomi rakyat. 
 
Terutama karena kelangkaan minyak goreng dan belum ada titik terang dari pemerintah untuk mengatasinya. “Ada banyak masalah ekonomi masyarakat, tetapi minyak goreng yang langka dan mahal adalah fokus utama rakyat kecil saat ini,” imbuhnya.

Berdasarkan alasan tersebut, La Nyalla menunggu langkah konkret Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan masalah kelangkaan minyak goreng di pasaran.

“Presiden harus segera membenahi masalah ini sesegera mungkin dan jangan sampai berlarut-larut. Karena akan mengganggu dukungan masyarakat terhadap proses pembangunan lainnya, termasuk IKN Nusantara,” ujarnya.
 
Ia juga meminta kepada Pemerintah dan Kepala IKN untuk mewaspadai dan menghindari praktik bagi-bagi kavling di wilayah ibu kota negara (IKN) Nusantara.  Mengingat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah mengingatkan akan potensi hal tersebut.

Ia menjelaskan, Kepala IKN memiliki wewenang khusus seperti pemberian perizinan investasi, kemudahan berusaha, dan pemberian fasilitas khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan. 
 
Terutama dalam rangka kegiatan persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan IKN. "Saya minta transparansi dan akuntabilitas kinerja dalam pembangunan IKN. Terutama terkait potensi bagi-bagi kavling yang pernah diungkap oleh KPK," ucapnya.

Ia juga menyoroti kewenangan khusus Kepala Otorita IKN. Salah satunya, yakni pemberian fasilitas khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan pembangunan ibu kota negara yang terletak di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

"Kita berharap kewenangan tersebut tidak membuka peluang-peluang penyimpangan yang dapat menimbulkan dampak merugikan dari pemberian fasilitas tersebut," ujar dia.

Ia berharap, pembangunan IKN tidak hanya fokus pada pembangunan fisik dan infrastruktur saja. Namun, harus mengusung kohesivitas dengan warga lokal. "Terpenting adalah IKN memunculkan peradaban baru. Menjadi kota bagi semua kalangan dan menjadi contoh global," tutupnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar