Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Berburu Harta Koruptor di Manca Negara Via MLA, Sekadar Utopia?

Senin, 23/05/2022 08:55 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Diakui atau tidak kondisi negara kita saat ini memang tidak sedang baik baik saja. Dari sisi ekonomi dan keuangan negar,a cukup membuat kita harus mengelus dada. Apalagi efek dari merebaknya  virus corona telah menguras simpanan keuangan negara .

Uang negara banyak terkuras bukan hanya karena efek sebaran virus corona tetapi juga akibat membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) disebabkant naiknya harga minyak dunia. Belum lagi kewajiban pemerintah yang harus mengembalikan dana haji, dana Jaminan Hari Tua (JHT), dana pensiun yang dipinjam oleh pemerintah dan yang lain lainnya. Selain itu juga pemerintah harus mengembalikan dana bank yang dipinjam pemerintah sekitar Rp 1.500 triliun nilainya. 

Satu atau dua tahun kedepan, pengeluaran pemerintah bakal semakin membengkak jumlahnya karena adanya pemilu serentak tahun 2024 yang tentu saja perlu dana. Belum lagi tahun mendatang itu akan banyak sekali perusahaan yang harus disuntik dana PMN (penyertaan modal negara). Sebab kalau tidak disuntik, BUMN itu dikuatirkan akan banyak yang gulung tikar alias menemui ajalnya. Secara urutan yang bangkrut karena utang sangat besar tersebut adalah Garuda, BUMN Karya, Krakatau Steel,PTPN, angkasa pura, BUMN tambang, PLN dan Pertamina. 

Lalu dari mana uangnya untuk bayar itu semua?. Sejauh ini untuk mengatasi pandemi virus corona Pemerintah  harus nambah utang Rp. 1000 triliun jumlahnya. Jumlah utang akan terus bertambah sehingga diperkirakan sampai 10.000 triliun pasca lengsernya pemerintah yang sekarang berkuasa. Dari utang pemerintah yang sekarang sekitar 7000 triliun, pemerintah  saat ini harus bayar bunga utang sekitar 400 triliun pertahunnya.

Selain utang, Pemerintah saat ini  tengah berusaha keras menaikkan pajak yakni Pajak Pertambahan Nilai  (PPN) menjadi 11 persen untuk menambah pemasukan bagi kas negara. Tapi nampaknya usaha ini akan sia sia. Karena kenaikan PPN akan menekan konsumsi masyarakat sebagai penyumbang terbesar atau 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. PPN 11 persen akan kontra produktif dengan usaha memulihkan ekonomi yang saat ini sedang berupaya digenjot pencapaiannya.

Kebijakan menaikkan pajak PPN 11 persen juga dinilai ironis ditengah adanya upaya pemerintah di berbagai belahan dunia lain yang justru menghapus pajak dalam rangka mendongkrak daya beli dan konsumsi rakyatnya. Sebagai contoh di AS seluruh pajak yang berkaitan dengan BBM dihapus saat ini sampai 6 bulan ke depan untuk meningkatkan konsumsi warganya. 

Salah satu sumber dana yang potensial didapatkan untuk pemasukan ke kas negara adalah dengan menyita aset aset para bandit perampok kekayaan alam Indonesia yang disimpan di mancanegara. Kekayaan para koruptor yang disimpan di mancanegara itu jumlahnya luar biasa besarnya sampai dengan 11 ribu triliun nilainya. Sekurang kurangnya itulah jumlah yang pernah disebut oleh Presiden Jokowi sebagai potensi nilai uang yang bisa dibawa pulang ke Indonesia melalui perjanjian timbal balik bidang hukum alias mutual legal assistance (MLA).  

Lalu apa itu perjanjian timbal balik bidang hukum alias mutual legal assistance (MLA) ?. Sejauhmana mekanisme MLA ini bisa mengembalikan aset aset negara yang disimpan para koruptor di mancanegara ? Meskipun Undang Undang terkait dengan MLA  sudah disahkan namun hingga kini nyatanya belum optimal dilaksanakan sehingga belum mampu menambah pemasukan uang untuk negara, lalu apa kira kira kendalanya ?.  Dengan banyak ragam kendala, benarkah realisasi perjanjian MLA pada akhirnya hanya merupakan utopia belaka ?

Apa itu MLA ?

Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) adalah permintaan bantuan berkenan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sampai dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana yang berada di negara lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku bagi kedua negara.

MLA merupakan salah satu dari lima bentuk kerja sama internasional menurut Konvensi PBB tentang korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.UNCAC merupakan dasar dari penyelenggaraan pemberantasan tindak pidana korupsi transnasional/ antar negara. Pentingnya Konvensi ini disadari oleh pemerintah Indonesia yang berperan aktif untuk terlibat menandatangani dan meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Pada tahun 2003 pula Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance In Criminal Matters dimana Undang-undang ini menjadi dasar hukum Pemerintah Indonesia dalam meminta maupun memberikan bantuan timbal balik dan menjadi pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dengan negara lain di dunia.

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, permintaan bantuan timbal balik melingkupi penggeledahan, penyitaan, perampasan, mencari, dan membekukan aset hasil tindak pidana. Bantuan timbal balik tidak memberi wewenang untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan orang, hanya pengembalian aset terkait tindak pidananya saja. 

Pengembalian aset tindak pidana menggunakan MLA adalah prosedur pengembalian melalui jalur formal yang tahapannya diatur melalui regulasi yang ada. Selanjutnya untuk dapat mengajukan permintaan pengembalian aset hasil tindak pidana melalui jalur formal, maka dibutuhkan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana antar negara yang ingin dimintakan kerja samanya.

Sejauh ini Indonesia sudah memiliki perjanjian MLA dengan Australia, Tiongkok, ASEAN, Hong Kong, Vietnam, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Iran dan India. Terakhir Indonesia juga  telah menandatangani Perjanjian MLA dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern, 4 Februari 2019. Dalam perjanjian ini terdapat 39 pasal yang mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan hingga perampasan kembali aset hasil tindak kejahatan yang terjadi di Indonesia.

MLA Indonesia dan Swiss selanjutnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020, tanggal 5 Agustus 2020, tentang: Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020 ini sebagai payung hukum pemerintahan Indonesia untuk mengembalikan uang simpanan para koruptor dan pengusaha hitam warga negara Indonesia yang disimpan disana.

Potensi MLA

Selama ini salah satu kendala untuk mengembalikan uang simpanan para koruptor dan pengusaha hitam warga negara Indonesia di mancanegara adalah karena belum adanya Undang Undang terkait dengan MLA. Kini dengan telah di undangkannya MLA dengan negara Swiss yang dikenal sebagai negara tempat menyimpan uang haram hasil kejahatan, diharapkan langkah langkah untuk mengembalikan uang dan aset hasil kejahatan ke  Indonesia akan semakin terbuka.

Sebagai contoh Pasal 39 pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020, mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti, penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset, penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, mencari keberadaan seseorang dan asetnya, mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya.

Termasuk juga memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut, serta menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuannya.

Apalagi dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020 dianut prinsip retroaktif yang  artinya pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Swiss, dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Melalui Undang Undang MLA ini dapat juga digunakan untuk memberantas kejahatan perpajakan agar dapat memastikan tidak adanya warga negara atau badan hukum Indonesia yang melakukan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya. 

Kalau mau dirangkum maka sebagaimana dilansir dari Tribunnews.com, sekurang kurangnya ada 11 poin penting yang bisa didapatkan dari perjanjian MLA  yang kemudian dikuatkan dengan Undang Undang yang ada.Berikut tindakan yang bisa membantu pemerintah Indonesia menyelamatkan uang dan aset  bangsa di mancanegara:

  1. Membantu menghadirkan saksi
  2. Meminta dokumen, rekaman, dan bukti
  3. Penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset
  4. Menyediakan informasi berkaitan dengan suatu tindak pidana
  5. Mencari keberadaan seseorang dan asetnya
  6. Mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya, termasuk memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut
  7. Melacak, membekukan, menyita hasil dan alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
  8. Meminta dokumen yang berkaitan dengan suatu tindak pidana
  9. Melakukan penahanan terhadap seseorang untuk diinterogasi dan konfrontasi (dengan saksi/alat bukti lain
  10. Memanggil saksi dan ahli untuk memberikan pernyataan
  11. Serta menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan

Yang jelas dengan telah ditandatanginya perjanjian MLA dan disahkannya Undang Undang MLA ini mengandung makna bahwa upaya Pemerintah untuk menguasai rekening atau asset yang dicuri hasil korupsi itu bukan atas nama Pemerintah semata  tetapi atas nama rakyat atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020. Karena itu uang rakyat harus kembali kepada rakyat dalam hal ini rakyat Indonesia.Sehingga ketika pemerintah berburu harta di mancanegara yang di simpan oleh para penjahat itu sudah mendapatkan mandat dari rakyat Indonesia.

Ragam Kendala

Sejauh ini Indonesia telah menandatangani perjanjian MLA dengan berbagai negara. Perjanjian MLA dengan negara Swiss adalah penandatanganan MLA yang kesepuluh yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 

Namun, apakah setelah dibuatnya perjanjian MLA dengan negara Swiss yang kemudian dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang dengan sendirinya pelaksanaan pemulihan aset koruptor di Swiss dapat semerta-merta diwujudkan pelaksanaannya ? Sementara kalau  kita melihat pada perjanjian MLA yang sudah lama di buat seperti MLA antara Indonesia dengan Australia ataupun MLA antara Indonesia dengan negara-negara di ASEAN, pengembalian aset di negara-negara yang sudah mempunyai MLA dengan Indonesia masih jauh dari total kerugian negara yang seharusnya dikembalikan ke Indonesia ?

Sebagai contoh kasus salah satu terpidana korupsi penyelewengan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Hendra Rahardja yang sempat melarikan diri ke Negara Australia. Hendra memiliki total aset sekitar 493.000 dollar AS yang diketahui keberadaannya yaitu di Negara Hong Kong (RRT) dan Negara Australia. Dua negara yang sudah memiliki perjanjian MLA dengan Indonesia. 

Salah satu diantara perjanjian tersebut adalah MLA antara Indonesia dengan Australia yang sudah di ratifikasi pada tahun 1999. Dalam kasus ini meskipun Hendra tidak berhasil diekstradisi, tetapi persidangan tetap dilangsungkan dengan peradilan in absentia dan akhirnya pada tahun 2002 sidang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penjatuhan hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp. 30 Juta serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp. 1,9 Triliun. 

Namun setelah bertahun-tahun setelah putusan tersebut dijatuhkan, pengembalian aset ke negara hanya sebesar Rp. 4 Milyar saja. Proses pengembalian aset ini juga memakan waktu yang panjang karena pada tahun 2005 sebagian aset Hendra di Hong Kong sebesar 9,3 juta dollar AS sempat dibekukan dan tidak dapat dikembalikan ke Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Karena aset tersebut terlebih dahulu diberikan dari Pemerintah Hong Kong kepada Pemerintah Australia, sebelum akhirnya bisa dikembalikan ke Indonesia.

Berdasarkan contoh kasus diatas dapat dilihat bahwa meskipun sudah ada Perjanjian Bantuan Timbal Balik yang dibuat untuk dapat melakukan pemulihan aset tindak pidana yang berada di luar negeri, tetapi pihak penegak hukum masih terlihat kesulitan melakukan pelaksanaan eksekusinya.. Padahal di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, sudah jelas diatur mengenai pelacakan, penyitaan atau perampasan aset hasil tindak pidana. 

Akan tetapi, proses pemulihan aset yang berada di manca negara tersebut masih belum dapat sepenuhnya diwujudkan dengan sebagaimana mestinya. Bahkan meskipun pemulihan aset tersebut dilakukan dengan negara yang sudah sejak lama mempunyai perjanjian Bantuan Timbal Balik dengan Indonesia seperti Australia (MLA Indonesia-Australia). 

Menurut Jaksa Banu Laksmana dari Kejaksaan Agung yang diwawancarai Ricardo Santos dan Hery Firmansyah dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara sebagaimana dimuat di Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.1 (Januari 2021), terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan MLA, diantaranya:

Pertama, Menyangkut Penanganan Perkara dan Proses Pembuktian. Yang menjadi kunci dalam pelaksanaan MLA bukan hanya dari proses pengajuan MLA dari dalam ke negara yang dituju saja. Tetapi juga bergantung kepada proses penanganan perkaranya dan tahap pembuktian untuk membuktikan bahwa aset tersebut benar merupakan aset hasil tindak pidana. Apabila faktor ini tidak dapat dipenuhi atau ada tahapan yang tidak berjalan maupun terhambat, maka hal ini akan mengakibatkan pemulihan aset tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya.

Selama ini upaya MLA yang dilakukan terhadap kasus korupsi khususnya kasus-kasus terdahulu, tidak didukung dengan penanganan perkara yang fokus terhadap penyitaan asetnya. Contoh seperti kasus Hendra Rahardja. Ketika Ia sudah dijatuhkan hukuman maka perkara sudah dianggap selesai karena ia sudah menerima hukuman penjara. 

Kedua, Respon Negara Yang Diminta . Kendala yang ada di dalam pelaksanaan MLA juga ada berhubungan dengan Negara yang ingin diminta bantuannya. Negara-negara yang sering menjadi tempat koruptor untuk melarikan aset hasil tipikor biasanya adalah negara-negara maju atau biasa dikategorikan sebagai Safe Haven Countries. Negara-negara Safe Haven memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang sangat baik dan ketat dalam melindungi aset, data dan identitas nasabahnya. Sehingga sistem kerahasiaan perbankan (Bank Secrecy) juga masih dianggap menjadi kendala yang agak menyulitkan penegak hukum dalam proses pelacakan suatu perkara. Padahal menurut Pasal 3 Nomor 5 UNCAC, permintaan bantuan tidak dapat ditolak oleh dengan alasan keamanan bank semata. Negara seharusnya tetap membantu dan memberikan kerjasama dalam mengusut aset-aset hasil tindak pidana.

Ketiga, Lamanya Alur Pengajuan MLA . Sejaiuh ini proses dari penyidik yang mengajukan permohonan sampai kepada pihak penegak hukum di negara yang dituju harus melalui tahapan yang panjang prosesnya. Salah satu indikasinya adalah karena permohonan MLA sebelum diajukan ke Negara Diminta, harus terlebih dahulu melalui Otoritas Pusat (Central Authority).

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, yang dapat melakukan pengajuan permintaan bantuan adalah Menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM (Hak Azasi Manusia). Permintaan bantuan tersebut adalah berdasarkan permohonan dari penegak hukum berwenang yang ingin mengajukan MLA kepada suatu negara, untuk dapat melakukan kerjasama terkait penyidikan tindak pidana. 

Prosedur tersebut mempengaruhi cepat lambatnya proses pengajuan dari dalam negeri ke negara yang dituju karena berkaitan dengan proses pengajuan yang harus melalui tahapan-tahapan panjang dari dalam negeri terlebih dahulu. Pihak penegak hukum dengan otoritas pusat harus melakukan koordinasi terkait suatu tindak pidana dan merumuskan permintaan bantuan seperti apa yang ingin diajukan sampai kedua lembaga mencapai kesepahaman terhadap suatu perkara, selanjutnya barulah pengajuan MLA dapat dilakukan ke negara yang menjadi tujuannya.

Ke empat, Perbedaan Sistem Hukum. Asas kriminalitas ganda merupakan salah satu hal yang vital untuk diterimanya permohonan bantuan dari negara peminta bantuan hingga ke negara yang diminta. Hal ini juga yang terkadang  menjadi inti permasalahannya. Karena hukum dari kedua negara tersebut harus sama-sama melihat suatu perbuatan terkait tindak pidana yang dilakukan benar merupakan suatu tindak pidana. 

Selain itu pemahaman mengenai suatu tindak pidana juga sangat memengaruhi proses penyelesaian perkaranya. Karena seperti contoh pengertian tindak pidana korupsi di Indonesia adalah tindakan memperkaya diri sendiri yang juga menyangkut kerugian negara, namun di negara lain ada pula yang hanya mengartikan korupsi sebagai tindakan yang hanya memperkaya diri sendiri melalui penggelapan dana di perusahaan swasta tanpa mengakibatkan kerugian kepada negara. 

Ke lima, Berlakunya Asas Non-Retroaktif. Berlakunya suatu perjanjian MLA tidak serta-merta berarti seluruh kasus-kasus tindak pidana termasuk yang terdahulu dapat diusut melalui MLA. Adanya asas non-retroaktif yang tercantum seperti di dalam ASEAN MLA Treaty (AMLAT) khususnya di dalam Pasal 22 ayat (3) dijelaskan bahwa permohonan bantuan hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang ada setelah perjanjian AMLAT itu dibuat. 

Adanya pasal mengenai keberlakuan AMLAT tersebut tentunya menghalangi penegak hukum untuk dapat dengan leluasa memberantas korupsi khususnya terhadap kasus-kasus korupsi yang telah ada sebelum perjanjian tersebut lahir. Padahal di dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, Pasal 59 huruf (b) menyatakan bahwa semua permohonan bantuan yang diajukan tetap di proses berdasarkan perjanjian maupun tidak berdasarkan perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada.

Ke enam, Pemicu Munculnya Turbulensi Politik. Realisasi eksekusi Perjanjian MLA dengan negara yang menjadi tujuannya bisa memicu terjadinya turbulensi (guncangan) politik pemerintahan Presiden Indonesia yang sekarang berkuasa. Sinyalemen ini dikemukakan oleh pegiat media sosial, pelaku bisnis, pengamat politik dan intelijen, Erizely Bandaro, dan Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, Senin pagi, 9 Agustus 2021 seperti dikutip media.

Menurutnya para pihak yang merasa sangat terganggu, kemudian menggunakan proxy (ilmuwan tukang, pengamat tukang, organisasi kemasyarakatan tukang dan oposisi) untuk menciptakan turbulensi politik di Indonesia. Fenomena ini rasanya wajar waja saja ketika orang yang punyak uang dan aset di mancanegara itu mau diambil oleh negara tentunya akan muncul perasaan tidak rela sehingga bisa membuat ulah berupa kegaduhan kegaduhan untuk menggagalkan rencana menyita dan merampas uang dan aset mereka di mancanegara.

Demikianlah beberapa kendala yang selama ini dijumpai manakala pemerintah Indonesia ingin menarik dana atau aset hasil kejahatan warganya  yang disimpan di mancanegara. Kalau mau ditelusuri tentu masih banyak kendala yang bisa ditemui untuk bisa mewujudkan upaya pengembalian uang dan aset negara yang disimpan di mancanegara.

Sekadar Utopia ?

Meskipun upaya untuk mengembalikan uang dan aset hasil kejahatan warga negara yang disimpan di mancanegara banyak kendalanya, namun kita patut mengapresiasi keinginan  pemerintah presiden Jokowi yang telah mengupayakan uang dan aset tersebut ditarik kembali ke Indonesia. 

Keinginan untuk mengembalikan uang dan aset negara di mancanegara ini rasanya tidak terlihat pada era sebelumnya ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa.  Pada masa pemerintahannya (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014), SBY tidak terlihat berupaya untuk menarik dana haram itu pulang kampung ke Indonesia.

Kini ditengah tengah kesulitan ekonomi dan keuangan negara, pemerintah Presiden Jokowi perlu terus menerus mengupayakan penarikan dana haram tersebut ke Indonesia. Apalagi beliau telah menyebut ada sekitar dana haram warga Indonesia di Swiss sampai 11 ribu triliun nilainya. Jumlah dana yang sangat besar karena bisa melunasi hutang Indonesia yang sekarang sudah 7 ribu triliun jumlahnya.

Upaya untuk mengembalikan aset dan uang haram dari mancanegara ini akan jauh lebih baik daripada menguber uber dana dari pajak rakyat seperti menaikkan PPN hingga 11 persen dimana akan sangat memberatkan warga bangsa. Kali ini tidak ada salahnya untuk sekali kali Pemerintah berpihak pada rakyat dengan tidak membebani mereka ditengah kenaikan harga harga.

Sejauh ini sudah ada beberapa negara telah berhasil mengembalikan uang dan asetnya yang disimpan warga negaranya di mancanegara. Sebagai contoh Negara Guinea yang kaya minyak telah berhasi memaksa Barclays Bank untuk membuka data rekening  putra diktator Guinea. Selain itu Bank di Inggris dan Hong Kong bisa dipaksa untuk membuka data rekening putra Presiden Republik Kongo, negara Afrika. Pada awalnya Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) dan Banco Santander  berusaha keras berlindung di balik undang-undang kerahasiaan bank di Luxembourg dan Spanyol, tetapi tidak berdaya ketika ada bukti penyimpanan uang haram dan bukti itu disahkan oleh pengadilan negara yang menuntutnya.

Ada juga Citibank yang berhasil dipaksa untuk membuka data rekening Perwira Militer Charles Taylor di Liberia yang menjarah uang hasil penebangan kayu di negaranya.Belum terhitung lusinan bank Inggris, Eropa dan Cina yag  telah membuka data rekening penguasa Sonangol yang menggarong uang negaranya. Uang haram itu akhirnya bisa dikembalikan ke negaranya.

Kalau ada negara negara lain yang bisa mengembalikan uang dan asetnya yang disimpan  warga negaranya di mancanegara, tentunya pemerintah Indonesia pastilah bisa juga. Memang harus diakui untuk mengembalikan uang dan aset haram hasil kejahatan yang disimpan di mancanegara banyak kendalanya. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan karena sudah terbuka jalannya. 

Ibarat orang mau perang, saat ini senjatanya  sudah diberikan berupa perjanjian MLA beserta Undang Undang pendukugnya. Tinggal merealisasikan saja seperti yang selama ini diharapkan oleh eksekutornya. Kuncinya adalah kegigihan dan keseriusan untuk melakukannya dan bukan sekadar gembar gembornya saja. Sebab kalau hanya keinginan tanpa keberanian dan keseriusan untuk merealisasikan rasanya senjata yang sudah tersedia menjadi tidak ada gunanya. Sehingga keinginan untuk mengembalikan uang dan aset haram yang disimpan di manca negara kembali ke Indonesia hanya akan menjadi utopia belaka.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar