Kejagung Telah Selesaikan 1.070 Perkara Melalui Restorative Justice

Minggu, 22/05/2022 17:30 WIB
Gedung Kejaksaan Agung. (Media Indonesia)

Gedung Kejaksaan Agung. (Media Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung terus melakukan upaya penyelesaian hukum melalui mekanisme keadilan restoratif, atau restorative justice.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Fadil Zumhana mengatakan, hingga Mei 2022, jajarannya telah menghentikan 1.070 perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.

Menurut dia, langkah tersebut diambil karena Kejaksaan Agung terus mendapatkan desakan dari masyarakat, untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap tindak pidana yang tidak perlu untuk dituntut dan sifatnya ringan.

“Tidak hanya karena biaya penuntutan perkara yang mahal, tetapi masyarakat juga menuntut agar Jaksa lebih fokus kepada pemulihan korban daripada menghukum berat pelaku yang seringkali juga hidup dalam kemiskinan. Untuk mengakomodir tuntutan tersebut, Kejaksaan menggunakan kewenangan diskresinya untuk mengesampingkan perkara yang tidak perlu dituntut selama hak korban dipenuhi oleh pelaku kejahatan,” ujar JAM-Pidum, pada Minggu (22/5/2022).

Fadil menambahkan, daam menyelesaikan sebuah perkara pidana, Kejaksaan Agung tidak harus selalu menempuh jalan penuntutan.

Hal ini karena undang-undang di Indonesia tidak mengenal konsep bahwa menuntut adalah suatu kewajiban (mandatory prosecution).

Menurut dia, sistem hukum Indonesia menganut prinsip diskresi penuntutan, di mana kejahatan akan dituntut, hanya jika penuntutan itu dianggap tepat dan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum.

“Dengan kata lain, Penuntut Umum tidak hanya berwenang untuk menuntut setiap perkara pidana, tetapi juga berwenang untuk tidak melanjutkan penuntutan berdasarkan penilaian Jaksa,” tambah JAM-Pidum.

JAM-Pidum menjelaskan bahwa dalam praktik, setelah mempertimbangkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas, Penuntut Umum akan menentukan apakah suatu perkara memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Ia melanjutkan, salah satu bentuk diskresi penuntutan di Indonesia adalah penghentian penuntutan melalui penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang sifatnya ringan.

“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” pungkas JAM-Pidum.

(Rio Rizalino\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar