Melkior NN Sitokdana, Dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Problem Kapasitas Fiskal dan Pemekaran di Tanah Papua

Rabu, 18/05/2022 13:53 WIB
Ilustrasi Papua. (ayojakarta)

Ilustrasi Papua. (ayojakarta)

Jakarta, law-justice.co - Kapasitas fiskal daerah merupakan salah satu indikator kemajuan dan kemandirian suatu daerah otonom. Setiap daerah otonom bertanggungjawab meningkatan kemampuan fiskal daerah untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah tanpa tergantung pada pemerintah pusat.

Kapasitas fiskal daerah juga sebagai syarat pembentukan daerah otonom baru (selanjutnya DOB) agar setelah dimekarkan tidak tergantung pada transfer pemerintah pusat.

Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan, pemekaran daerah dilakukan melalui tahapan daerah persiapan provinsi atau daerah persiapan kabupaten/kota.

Selanjutnya pada ayat 3 mengatakan, pembentukan daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar yang harus dipenuhi adalah persyaratan kapasitas daerah.

Salah satu parameternya adalah keuangan daerah yang meliputi kapasitas pendapatan asli daerah induk, potensi pendapatan asli calon daerah persiapan, dan pengelolaan keuangan dan aset daerah.

Kapasitas keuangan daerah dapat dilihat dari indikator kapasitas fiskal. Hal ini penting agar pemekaran tidak hanya mengharapkan alokasi dana tambahan melalui transfer dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).

Namun dalam UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021 ada pengecualian, yakni pada Pasal 76 ayat 3 mengabaikan tahapan daerah persiapan yang diatur sebelumnya dalam undang-undang pemerintah daerah.

Pasal 76 ayat 3 berbunyi, ”pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.

Selanjutnya diatur juga dalam Pasal 93 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 yang menyebutkan, ”pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan dan tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah”.

Artinya kemandirian fiskal daerah tidak menjadi syarat dalam pemekaran. Padahal kemandirian fiskal sendiri sebagai indikator utama untuk mengukur sejauhmana daerah otonom yang dimekarkan sebelumnya mandiri membiayai diri sendiri kegiatan pemerintah daerah, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat.

Walaupun kapasitas fiskal daerah tidak menjadi syarat DOB di Papua, tetapi perlu evaluasi kembali kemajuan dan kemandirian fiskal daerah otonom yang dimekarkan pada masa Otsus Jilid I tahun 2001, sehingga dapat dijadikan referensi untuk pengembangan daerah otonom yang dimekarkan nantinya.

Pemekaran DOB dimulai tahun 2002 yaitu Kabupaten Sarmi, Keerom, Sorong Selatan, Raja Ampat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Waropen, Kaimana, Boven Digoel, Mappi, Asmat, Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama.

Tahun 2003 mekarkan Supiori dan tahun 2007 mekarkan Mamberamo Raya. Kemudian pada 2008 dimekarkan lagi 9 kabupaten yaitu Kabupaten Mamberamo Tengah, Yalimo, Lanny Jaya, Nduga, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, Deyai dan Tambrauw. Lalu tahun 2009 Maybrat dan terakhir tahun 2012 dua lagi kabupaten yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak.

Menurut laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia tentang kemandirian fiskal pemerintah daerah tahun 2019, kemandirian fiskal pemerintah seluruh kabupaten/kota di tanah Papua yang dimekarkan setelah Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua maupun yang sebelumnya, termasuk kategori belum mandiri.

Selain belum mandiri, sebagian besar kabupaten/kota memiliki Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) sangat rendah, di bawah 0,05. Kemandirian fiskal daerah tersebut dapat diketahui dengan menghitung rasio antara pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan.

Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) daerah berkisar antara 0 (semua belanja dibiayai dengan dana transfer dan tidak terdapat peranan PAD) hingga 1 (semua belanja dapat dibiayai dengan PAD dan tidak terdapat dana transfer).

Data Realisasi Pendapatan dan PAD Provinsi Papua yang dirilis per 28 januari 2020 oleh Kementerian Keuangan RI juga menunjukkan kapasitas fiskal daerah masih sangat rendah.

Tahun 2018 derajat desentralisasi fiskal (DDF) menggambarkan tingkat kesiapan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah menunjukkan, mayoritas daerah di Papua DDF-nya masih sangat rendah.

Beberapa daerah yang memiliki DDF di atas 10 persen adalah Kabupaten Timika: 11,30 persen dan Kota Jayapura: 19.29 persen. Data Kapasitas Fiskal Daerah setiap tahun juga menunjukkan belum ada perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2021 juga belum ada perubahan yang signifikan.

Data Laporan Perekonomian Provinsi Papua bulan Februari 2022 yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, terdapat tiga wilayah yang memiliki rasio kemandirian fiskal di atas 10 persen, yaitu Provinsi Papua 91,82 persen, Kota Jayapura 18,46 persen, dan Kabupaten Mimika 19,93 persen. Sementara itu, terdapat 21 kabupaten/kota yang memiliki rasio kemandirian fiskal di bawah 5 persen.

Secara umum di Provinsi Papua, 93,17 persen dari pendapatan transfer dan hanya 4,76 dari PAD. Data tersebut menunjukkan bahwa selama ini pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua belum mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah yang dimiliki.

Pemerintah daerah belum kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pendapatan asli daerah dari sumber dari pajak, retribusi, pengoptimalan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan investasi yang menguntungkan.

Kapasitas fiskal rendah

Walaupun kapasitas fiskal daerah provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua masih rendah, pemerintah pusat masih saja berambisi memekarkan provinsi dan kabupaten/kota baru. Kapasitas keuangan negara juga belum cukup aman.

Catatan Kompas.com data APBN mencatat adanya kenaikan utang Indonesia pada 2022 yang menembus angka 7.000 triliun. Hingga 28 Februari 2022, utang Indonesia tercatat telah mencapai Rp 7.014,58 triliun.

Kapasitas fiskal masih rendah dan utang negara cukup tinggi tetapi mengapa pemerintah pusat dan elit lokal Papua terus berambisi memekarkan provinsi dan kabupaten/kota.

Tentu ini menjadi pertanyaan semua pihak karena daerah otonom yang dimekarkan awal pemberlakuan Otsus tahun 2001 sampai tahun 2022 ini belum maju dan mandiri jika dilihat dari kapasitas fiskal daerah.

Oleh karena itu, pemekaran DOB provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua yang masif bakal membebankan keuangan negara. Konsekuensinya akan meningkatkan investasi pengelolaan sumber daya alam (kehutanan, minyak dan gas, perikanan, mineral, batu bara dan panas bumi) dengan menggandeng pihak asing.

Hasil pengelolaan sumber daya alam ini yang nantinya mengurangi utang negara yang terus meningkat setiap tahun. Sebagian dana dari hasil pengelolaan SDA ini yang akan ditransfer ke daerah dengan jenis dan istilah-istilah anggaran dari pusat seperti dana bagi hasil (DBH), dana otsus, dan lain-lain.

Kreativitas dan inovasi daerah otonom sebelumnya dalam peningkatan kapasitas fiskal daerah masih sangat kurang tetapi dalam perubahan UU Otonomi Khusus Nomor 2 tahun 2021 meniadakan syarat tersebut bukan berarti suatu yang istimewa bagi masyarakat Papua.

Melainkan suatu konsekuensi yang akan dihadapi di masa mendatang, yaitu intervensi pemerintah pusat dalam segala bidang investasi pengelolaan sumber daya alam.

Dengan investasi ini pemerintah pusat akan mendapatkan keuntungan yang lebih berlipat ganda, kemudian sebagian akan dikembalikan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk berbagai sumber pendanaan. Contohnya kontribusi PT Freeport Indonesia yang cukup signifikan terhadap negara.

Data yang dirilis PT Freeport Indonesia menyebutkan, manfaat langsung bagi Indonesia dari hasil pajak, royalti, deviden, bea dan pembayaran lainnya dari tahun 1992-2020 sebanyak US$ IDR 21,057 miliar, kalau dikurskan ke rupiah (Rp 14.000) maka totalnya adalah 294,798 (triliun). Jumlah ini belum termasuk manfaat tidak langsung.

Setelah pemerintah Indonesia melalui BUMN Mind ID mengambil 51 persen saham PT Freeport Indonesia pada 2018 lalu, kinerja dan transformasi di PT Freeport Indonesia terus meningkat. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan saat ini pertumbuhan pendapatan Freeport Indonesia meningkat 100 persen.

Tahun 2020 Rp 50 triliun, sampai Desember 2021 Rp 105 triliun. Belum termasuk dampak tidak langsung dari pembangunan smelter di Gresik yang akan memberikan dampak ekonomi bagi negara. Data tersebut menujukkan bahwa keuntungan negara dari Freeport Indonesia jauh lebih besar dibanding dana otsus yang diberikan ke Papua.

Menurut data Kementerian Keuangan yang dirilis Kompas.com (8/4/2001), aliran dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) dari 2002 hingga 2021 untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 138,65 triliun.

Besaran dana otsus tersebut jauh lebih sedikit dibanding pendapatan negara dari pengelolaan SDA tanah Papua saat ini. Belum termasuk nilai potensi SDA yang masih terkandung dalam perut bumi Papua merupakan kejayaan Indonesia di masa mendatang, seperti cadangan emas di blok Wabu di Intan Jaya yang bernilai Rp 300 triliun, cadangan emas bernilai ratusan triliunan di Pegunungan Bintang yang akan dikelola PT Antam setelah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan masih banyak lagi potensi SDA di daerah lain yang akan dikelola oleh perusahaan milik negara.

Kekayaan mineral dan batu bara, panas bumi, kehutanan dan perikanan di tanah Papua ini sebagai kekayaan masa depan Indonesia sehingga pemerintah pusat tetap berambisi untuk memekarkan daerah otonom baru di tanah Papua sebagai salah satu solusi untuk mengatasi ekskalasi politik Papua merdeka yang semakin mengglobal dan basis perlawanan TPN-OPM alias KKB semakin menyebar ke berbagai daerah di tanah Papua.

Untuk meminimalisir dan mempersempit ruang gerak perlawanan tersebut maka solusinya adalah pemekaran DOB dan meningkatkan kekuatan keamanan negara.

Pernyataan tersebut didasari atas pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang diberitakan di media nasional bahwa pemekaran Papua dilakukan atas dasar data intelejen. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemekaran DOB lebih bermotif politik dan ekonomi.

Bermotif politik karena akhir-akhir ini ancaman disintegrasi bangsa semakin tinggi sehingga pemerintah pusat terus ngotot melakukan pemekaran dengan target fragmentasi sosial atau lokalisir basis-basis pendukung barisan merah putih dan Papua Merdeka, lalu meningkatkan system keamanan negara menjadi kuat dengan mendirikan pos-pos militer dan penambahan pasukan.

Strategi ini bertujuan untuk mengurangi ancaman disintegrasi bangsa. Sedangkan motif ekonomi yang utama adalah untuk meningkatkan pendapatan negara guna melunasi utang negara yang meningkat setiap tahun.

Motif ekonomi para elit Jakarta dan Papua juga sedang berkolaborasi untuk melakukan investasi SDA di tanah Papua. Sudah menjadi rahasia umum, para elit di Jakarta dari kalangan jenderal, purnawirawan, politisi, dan lain-lain memiliki bisnis pengelolaan SDA di Papua yang dibeking oleh militer.

Bertolak uraian di atas ditarik kesimpulan bahwa pemekaran DOB di tanah Papua yang diistimewakan dengan revisi UU Otsus Nomor 2 tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 cenderung bermotif politik dan ekonomi.

Untuk kepentingan tersebut pemekaran DOB di tanah Papua mengabaikan tahapan daerah persiapan dan tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.

Salah satu persyaratan dasar adalah kapasitas keuangan daerah dapat dilihat dari indikator kapasitas fiskal daerah. Data kapasitas fiskal daerah provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua menunjukkan, semua daerah masih rendah dan di saat yang sama utang negara terus meningkat signifikan.

Oleh karena itu, konsekuensi dari pemekaran DOB adalah meningkatkan investasi pengelolaan SDA dengan menggandeng pihak asing. Hasil pengelolaan sumber daya alam ini digunakan untuk mengurangi utang negara dan sebagian ditransfer kembali ke daerah dengan jenis dan istilah-istilah anggaran yang berbeda-beda, seperti dana bagi hasil (DBH), dana otsus, dan sebagainya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar