Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

Siapa yang Membangun Budaya Perpecahan

Senin, 09/05/2022 05:23 WIB
Yusuf Blegur, Penulis dan Pegiat Sosial dan Pendiri Yayasan Human Luhur Berdikari (Ist)

Yusuf Blegur, Penulis dan Pegiat Sosial dan Pendiri Yayasan Human Luhur Berdikari (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Satu-satunya alasan yang membuat negara begitu berjarak dengan rakyat adalah kekuasaan.

Saat konstitusi terlalu mengagungkan kedaulatan rakyat, yang terjadi justru kehidupan ringkih tanpa kemanusiaan.

Moralitas dan keagaman tak mampu lagi menjadi pakaian yang melindungi diri, tak sanggup menghangatkan jiwa dan tubuh dengan keberadaban.

Pemimpin-pemimpin masyarakan sibuk menghiasi diri dengan kekayaan, seraya tergesa-gesa menanggalkan kehormatan.

Sistem politik hanya mampu membangun kelas-kelas sosial, tanpa proses pembelajaran yang menghasilkan nilai-nilai keadilan.

Habitat dan populasi semakin rawan dan rentan bertubrukan, rawan mengembangbiakan kecurangan dan penghianatan.

Kebutuhan berlebih pada materi dan jabatan, membuat orang semakin enggan mengambil peran pahlawan.

Ketimpangan akan selalu dipenuhi gejolak dan pemberontakan, tanpa penyelasaian menyandang gelar radikal dan fundamental serta intoleran.

Negara kian memasuki episode yang genting, menyoal pergulatan pemikiran, diskursus dan kebijakan gerakan meyelamatkan kebangsaan.

Ketika semua aturan sulit untuk ditegakkan, pemerintah kebablasan dan jauh meninggalkan keteladanan.

Sementara rakyat semakin lahap menikmati menu konflik, menelan mentah-mentah makanan berlumur bumbu-bumbu perpecahan.

Buzzer dan infuencer mulai menyebar kecemasan, mengobarkan caci-maki, hujatan dan fitnah sebagai api peperangan.

Bangsa Ini begitu percaya diri dan bangga dengan kontradiksi, tapi enggan dan marah jika dicap memelihara kemunafikan.

Hidup diliputi kesengsaraan dan penderitaan, namun tetap mengaku dalam kebahagiaan.

Seolah-olah perform menegakkan kebenaran, namun sesungguhnya marak melakukan kejahatan.

Dengan kesadaran dan puas menikmati ketidaksesuaian, menjadikan semua distorsi penyelenggaraan negara sebagai suatu kebudayaan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar