Jadi Korban Binomo-Robot Trading, Bagaimana Cara Agar Uang Kembali?

Minggu, 08/05/2022 21:01 WIB
Korban investasi bodong Binomo diperiksa polisi (voi)

Korban investasi bodong Binomo diperiksa polisi (voi)

Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan triliunan rupiah dari Binomo dan robot trading.

Ratusan miliar di antaranya disita Mabes Polri untuk kepentingan penyidikan.

Terkait hal itu, lalu bagaimana downline yang menjadi korban Binomo/robot trading itu? Apakah masih bisa meminta agar uangnya kembali?

Pertanyaan itu banyak ditanyakan. Salah satunya dikisahkan seperti melansir detik`s Advocate.

Saya merupakan korban robot trading, di mana aplikasi saya dibekukan dan pemilik aplikasi sedang ditahan Mabes Polri. Saya sudah mengikuti robot trading itu dan top up belasan juta rupiah.

Pertanyaan saya, apakah uang saya dapat kembali? Bagaimana caranya?

Terima kasih

Untuk menjawab pertanyaan di atas, detik`s Advocate meminta pendapat advokat Boris Tampubolon, S.H. Berikut penjelasan lengkapnya:

Para korban Binomo dan Robot Trading masih punya harapan besar untuk mendapat ganti kerugian dari para pelaku TPPU Binomo dan Robot Trading (dengan asumsi kasus ini adalah penipuan dan buka perjudian).

Jangan sampai terjadi seperti kasus First Travel di mana uang jemaah (korban yang berhak) malah disita untuk negara. Padahal tidak ada uang negara di situ.

Sehingga hemat saya, selaku advokat dan pengacara praktik setidaknya ada 2 cara yang bisa dilakukan oleh para korban, yaitu:

Pertama

Cara pertama, yaitu menggabungkan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 98 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Jadi, para korban atau pengacaranya mengajukan permohonan kepada hakim atau pengadilan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam perkara pidana yang sedang disidangkan.

Permintaan itu hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

Bila dikabulkan, hakim ketua sidang akan mengeluarkan penetapan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian para korban ke dalam perkara pidana itu dan nanti Jaksa akan memasukkan permohonan gugatan ganti rugi ke dalam berkas perkara.

Bisa dikatakan, penggabungan gugatan ganti kerugian ini merupakan jalan pintas yang bisa dimanfaatkan korban yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapatkan pembayaran ganti kerugian.

Kedua

Cara kedua yaitu meminta ganti kerugian (restitusi) kepada Pelaku Tindak Pidana melalui LPSK. Bila pada cara pertama, para korban atau kuasanya langsung meminta ke pengadilan, maka cara kedua ini melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Permohonan ganti kerugian ini bisa diajukan sebelum atau setelah putusan hakim pidana berkekuatan hukum tetap. Permohonan sebelum putusan berkekuatan hukum tetap bisa diajukan korban atau kuasanya ke LPSK, atau penyidik ke LPSK, atau Penuntut Umum ke LPSK.

Lalu LPSK akan membuat keputusan mengenai besaran nilai ganti rugi para korban dan memasukan itu ke dalam dakwaan ataupun tuntutan jaksa untuk disidangkan.

Sementara bila korban ingin mengajukan ganti rugi setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka para korban atau kuasanya mengajukan permohonan ganti rugi kepada pengadilan secara langsung atau melalui LPSK.

Mekanisme ini didasarkan pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi, serta Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Sebagai tambahan, akan lebih baik bila para korban bisa berkumpul dan mengajukan permohonan penggabungan ganti kerugian dalam perkara pidana atau permohonan restitusi di atas secara bersama-sama, agar lebih efektif dan efisien.

Selain itu, kedua cara di atas tentu tidak menghalangi hak para korban untuk juga menempuh ganti kerugian dengan jalur perdata.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar