Diduga Jadi Tameng UU Cipta Kerja, Mengapa UU PPP Tetap Direvisi?

Minggu, 17/04/2022 14:20 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta (Foto: Fajar)

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta (Foto: Fajar)

Jakarta, law-justice.co - Revisi UU Peraturan Perubahan Perundang-undangan (PPP) diduga akan menjadi tameng Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disebutkan Mahkamah Konstitusi (MK) inkonstitusional bersyarat. Diduga dengan revisi itu, UU Ciptaker tidak perlu direvisi untuk bisa disebut konstitusional.

Namun demikian, Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengingatkan bahwa Revisi UU PPP tidak dimandatkan dalam Putusan MK 91.

“Tidak ada dalam amar putusan maupun pertimbangan hukum. Walaupun salah satu alasan memang tidak dikenalnya metode omnibus, ada di dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion), yang tidak perlu dijadikan bahan rujukan kebijakan (walau baik untuk diskusi akademik),” ujarnya kepada wartawan, Minggu (17/4/2022).


Selain kepentingan dominan memuluskan Omnibus Law Cipta Kerja, Bivitri mencatat kelemahan revisi yang justru akan menciptakan ketidakpastian hukum, yakni dirumuskannya RUU yang telah disetujui dan masih terdapat kesalahan teknis penulisan.

“Bisa dikoreksi oleh pimpinan AKD yang membahas dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas dan RUU yang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden dan masih ditemukan kesalahan teknis, bisa dikoreksi oleh Mensesneg dengan melibatkan pimpinan AKD DPR yang membahas,” ucap Bivitri lewat keterangannya, Minggu (17/4).

Sementara itu, Herlambang P. Wiratraman dari Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES dan Dosen HTN FH UGM, memberi refleksi lima hal. Pertama, Revisi UU PPP jelas sekadar melayani kepentingan Omnibus Law, ekonomi politik oligarki; Kedua, Pembahasan Revisi UU PPP bermasalah, karena tidak patuh pada Putusan MK 91.

Tidak pula menganggap penting standar dalam putusan peradilan (judicial precedence), khususnya terkait partisipasi bermakna.

Ketiga, karakter legislasi terkesan ugal-ugalan, niat jahat untuk tetap upayakan pengesahan ke paripurna: Keempat, konteks politik hukum legislasi otokratis, yang menempatkan Revisi UU PPP menambah daftar panjang, IKN, Otsus, dan Cipta Kerja.

Hal demikian menegaskan karakter menguatnya otoritarian dalam bentuk baru. Kelima, bahwa UU PPP memperlihatkan tiga hal.

Yaitu, antisains, antinegara hukum demokratis, dan antirakyat.

“Artinya, mengingkari suara publik, dan ini bentuk nyata negara terus menerus mereproduksi kesewenang-wenangan yang dalam representasi formal ketatanegara sebagai represi melalui legislasi,” tutupnya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar