Dr. Roy Tumpal Pakpahan, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Analisis Hukum Menggugat UU Ibu Kota Negara (IKN)

Kamis, 14/04/2022 00:01 WIB
Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Jakarta, law-justice.co - UU IKN dan menyatakan pasal-pasal yang mengatur format otorita IKN bertentangan dengan konstitusi. Uji formil Di satu sisi, UU IKN dianggap tidak memenuhi kaidah yang baik dalam perumusannya alias cacat formil.

Menurut putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam suatu pembentukan undang-undang.

Tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah partisipasi disebut bermakna adalah hak untuk 1) didengarkan pendapatnya, 2) dipertimbangkan pendapatnya, dan 3) mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Berbagai pihak, baik pakar hukum tata negara, pakar hukum lingkungan dan tata kota, pakar pemerintahan, maupun lainnya terkait UU IKN, senyatanya tegas mempersoalkan agar pembentukan UU IKN dibuat secara tidak berburu-buru, perlu partisipasi publik khusus bagi yang terdampak, dan bahkan perlu studi kelayakan yang maksimal.

Namun, pendapat narasumber tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kriteria pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Sementara itu, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya tidak mampu dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Sedikitnya ada 9 pendapat ahli yang disebut tidak dipertimbangkan, di antaranya pendapat Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia Arief Anshory Yusuf yang disampaikan 12 Desember 2021. ”Naskah akademik (RUU IKN) bisa jauh lebih kredibel jika lebih banyak referensinya dan mengacu pada studi-studi ilmiah kredibel (peer-reviewed journals).

Terutama dampaknya terhadap tujuan pemerataan pembangunan (atau lainnya). Perlu lebih jelas, pemerataan pembangunan apa yang ingin dicapai. Vertikal? Antar-regional? Perlu analisis mendalam tentang potensi peningkatan pemerataan tersebut. Saat ini masih lemah,” kata Arief.

Adanya semacam disparitas antara substansi naskah akademik (NA) dan RUU.  Misalnya, dalam NA ada peninjauan historis sehingga bisa didapatkan potret permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta yang selama ini menjalankan fungsi ganda, yaitu sebagai daerah otonom provinsi dan sebagai ibu kota negara, di mana hal ini antara lain bersumber pada kebiasaan dalam sejarah kolonialisme di Nusantara.

Namun, dalam naskah RUU belum ditemukan suatu penegasan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Juga mempersoalkan materi Pasal 1 Ayat (2) UU IKN yang mengatur bahwa IKN adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi.

Namun, Pasal 4 UU IKN mengatur bahwa otorita IKN sebagai lembaga setingkat kementerian. Pasal 5 Ayat (4) mengatur kepala otorita IKN berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Adanya format demikian bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten/kota. Sementara itu, UU IKN menyebut Nusantara sebagai satuan pemerintah daerah khusus yang setingkat provinsi.

”Adanya frasa setingkat provinsi menunjukkan bahwa format ibu kota negara menurut UU IKN bukan provinsi. Artinya otorita IKN yang dinyatakan sebagai lembaga setingkat kementerian. ”Hal ini bertentangan dengan nomenklatur jabatan kepala daerah menurut Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menggunakan nomenklatur jabatan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis. Maka dengan demikian, apakah ibu kota Nusantara adalah satuan pemerintah daerah atau satuan pemerintah pusat?.

Naskah Akademik yang Asal-asalan

Publik menyorot tajam Naskah Akademik (NA) RUU IKN yang justru beredar di medsos setelah sehari disahkan DPR. Setidaknya ada dua versi NA RUU IKN yang berbeda di media sosial: versi Maret 2020 (yang disebar oleh eks politikus Partai Solidaritas Indonesia) dan versi Juni 2021 (yang disebarkan oleh seorang warganet di Twitter).

Keduanya, sama-sama dibuat oleh Bappenas. Anehnya, pada 15 Januari 2020, Bappenas melakukan konsultasi publik untuk NA dan RUU IKN secara bersamaan. Itu artinya, di saat NA belum selesai, Bappenas sudah mulai membahas RUU IKN. Padahal, idealnya sebuah RUU dibuat berlandaskan NA yang sudah selesai dan dikonsultasikan ke publik terlebih dahulu.

Adanya dua versi NA RUU IKN tersebut hanya dibedakan dari jumlah halaman: versi Maret 2020 sebanyak 159 dan versi Juni 2021 sebanyak 175 halaman. Sementara sisanya tak ada perbedaan signifikan: sama-sama menggunakan 17 daftar pustaka—yang beberapa di antaranya merupakan terbitan tahun 1980-1990an, sama-sama hanya menghabiskan lima halaman untuk landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang isinya terlalu umum, hingga sama-sama banyak menggunakan frasa yang cenderung ke arah opini ketimbang bukti ilmiah.

Beberapa contoh di antaranya: Landasan sosiologis: “Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.”

Landasan sosiologis: “Uraian pada BAB II telah menguraikan dengan rinci bagaimana penerapan teori-teori, asas/prinsip, dan gagasan- gagasan mengenai tata kelola pemerintahan akan menyelesaikan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan yang bersih dari korupsi, lingkungan hidup yang lebih baik, ketahanan terhadap bencana yang mumpuni, dan pencegahan kejahatan yang lebih mantap.”

Landasan sosiologis: “Dari sisi negara, tentu tata kelola Ibu kota Negara yang akan dituangkan di dalam RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi kebutuhan yang mendesak agar seluruh administrasi pemerintahan IKN dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan efisien.”

Artinya para peneliti NA RUU IKN dari Bappenas tidak mencoba menjabarkan apa saja bukti-bukti “fakta empiris” yang dimaksud, menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “yang lebih mantap”, serta apa saja kajian “kebutuhan yang mendesak” yang diarahkan.

Profesor hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengkritik keras bahwa NA UU IKN tidak memberikan data yang proporsional. Hampir sebagian besar isi dari NA tersebut hanya sekadar menjustifikasi keinginan Pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara.

Sebagai sebuah kajian ilmiah harus tunduk pada metode-metode ilmiah, yaitu memberikan data baik kelebihan maupun kekurangan. Keduanya disandingkan dan diadu. Kajian-kajian ilmiah harus menyajikan data proposional. Apa gunanya digunakan metode penelitian di dalamnya, kalau hanya untuk formalitas saja.

Salah satu contohnya, ketika isi NA UU IKN coba memberi contoh negara-negara yang berhasil memindahkan ibu kota negara seperti Brazil, Amerika Serikat dan Australia. Tapi para peneliti NA UU IKN tak bisa hanya memaparkan yang berhasil saja. Tetapi juga dengan negara-negara yang gagal, seperti Myanmar. Ada apa dan kenapa fakta itu tidak juga dijadikan contoh?.

Saat kita menggunakan metode penelitian yuridis-empiris, maka harus bisa melakukan analisis-analisis yang memadai, proporsional terhadap data-data empiris yang didapat. Contohnya, di sana itu banyak orang suku Dayak, masyarakat adat lokal. Jika terjadi kepindahan ibu kota negara, bagaimana bisa meyakinkan mereka dan memastikan mereka tidak mengalami kerugian dan tidak digusur dari tanah leluhurnya?. Seharusnya NA menghasilkan berbagai ragam skenario untuk merespons pemindahan IKN, sehingga tidak menjadikan penelitian sebagai justifikasi kebijakan politik.

Selain itu landasan teori tentang otonomi juga tidak disertakan. Padahal dari awal diusulkan bentuknya IKN tersebut adalah otonom, maka harus memasukkan analisis teori-teori otonomi. NA harus bisa menyajikan alternatif-alternatif, bukan semata-mata bersandar pada hukum positif—yaitu UUD 1945, tapi alternatif itu harus didukung oleh teori-teori pendukungnya.

Misalnya dalam NA diusulkan berupa daerah otonom, kenapa dia diusulkan dalam bentuk daerah otonom? Maka argumentasinya jangan hanya merujuk pada UUD 1945 saja. Ini merupakan kajian ilmiah, maka harus merujuk juga pada teori otonomi karena otonomi itu punya beberapa fungsi.

Antara lain ada fungsi manajemen, yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas dari penyelanggaraan suatu daerah otonom. Kemudian ada juga fungsi pelayanan publik, fungsi demokrasi, hingga fungsi pemberdayaan sdm. Ada banyak sekali teori otonomi terkait, tetapi tak satu pun dibahas di NA. Sehingga antara teori dengan apa yang diusulkan seakan-akan menjadi dua hal terpisah.

Teorinya di NA hanya bilang bahwa akan menjadi “beautiful smart city”, mereka lupa bahwa “beautiful smart city” itu dalam bentuk apa? Kalau dalam bentuk daerah otonom, maka harus ada teori yang mendukungnya. Kalau dia bentuknya otorita, harus ada teori yang mendukungnya juga. Jangan hanya bisa sebut smart city tapi tak tahu konsepnya dalam teori otonomi seperti apa.

Badan Pengelola/Otorita IKN

Mengacu pada pasal 23 ayat ( 4 ) UU IKN bahwa kawasan ibu kota negara dibagi menjadi wilayah distrik. Penggunaan kata "distrik" dimaksudkan sebagai pembeda dengan penggunaan nomenklatur ( Tata nama dalam Instansi Pemerintahan ) dalam administratif pemerintahan. Mengingat, kawasan IKN bukanlah wilayah administratif pemerintahan tersendiri yang dapat mengatur hal-hal yang sifatnya administratif kepemerintahan.
 
Pembagian Tata Nama inilah yang memberikan efektivitas baru berupa distrik yang digunakan sebagai metode pembedanya. Hal ini diharapkan sebagai acuan agar masyarakat tidak mengalami kesalahan dalam mengenal distrik - distrik dalam instansi Pemerintahan pada IKN yang baru. Padahal era Soekarno juga sudah dikenal kewilayahan setingkat distrik dan wedana.
 
Keberadaan Distrik ini bisa overlapping dengan tingkat kewilayahan yang sekarang ada, yakni kabupaten dan kota. Apakah levelnya setingkat kabupaten kota atau di atasnya seperti Residen di era Soekarno.
 
 
Distrik ini masuk dimana dalam struktur dan  bagian Badan pengelola kawasan Ibu Kota Negara disebut juga sebagai badan pengelola yang adalah unsur pemerintah pusat yang mengelola kawasan ibukota negara. Badan pengelola ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Pengawasan terhadap badan pengelola kawasan ibukota negara ini dilakukan oleh pemerintah pusat.
 
Badan Pengelola ini nantinya harus bersinergi dengan Gubernur Provinsi IKN. Jadi kepala pemerintahan IKN bisa ada dua matahari kembar, yaitu Gubernur dan Kepala Badan Pengelola IKN. 
 
Berkaca dari kasus pemerintahan Kota Batam, yang pengelolaanya sebagai kawasan khusus berada dibawah Badan Otorita Batam dan Walikota Batam sebagai kepala pemerintahan Kota, tak bisa berbuat apa-apa karena Badan Otorita Batam juga melaksanakan tugas fungsi kewilayahan, khususnya dalam soal pengelolaan kegiatan ekonomi dan perdagangan. Contoh kasus Batam ini, sangat mungkin terjadi di IKN yang belum mengatur pembagian tugas dan kewenangan secara jelas.

Justifikasi Penguasa 

Berkaca dari proses sampai lahirnya UU IKN jelaslah secara kasat mata bisa terlihat bagaimana rejim Jokowi mencederai prinsip-prinsip membuat UU yang baik, benar, taat azas dan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan atau dengan aturan yang sudah lebih dulu ada. UU IKN hanya dijadikan sebagai justifikasi formalitas oleh penguasa.

Benarlah apa yang dikatakan Kim Scheppele dalam artikelnya tahun 2018, berjudul Autocratic Legalism, yaitu memberi ruang kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan berdasarkan hukum, padahal hukum yang dibuatnya hanyalah “otokratik legalisme”.

Salah satu ciri hadirnya “otokratik legalisme”, pertama, bagaimana menggunakan hukum atau undang-undang atau peraturan untuk melegalkan tindakan penguasa. Tapi produk hukum seperti apa yang digunakan? Ya produk hukum itu yang justru melanggar prinsip negara hukum.

Biasanya rakyat itu nggak sadar atau mudah lupa, sehingga menganggap itu hal yang biasa dan wajar. Jadi apa tujuan akhir dari “otokratik legalisme”? Tujuan akhir yaitu adalah memperbesar kekuasaan bagi orang-orang tertentu dan ini akan mematikan demokrasi.

Kalau masih ingat bukunya How Democracies Die (2018), demokrasi mati bukan oleh militer, tapi oleh mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Inilah salah satu legacy buruk Presiden Jokowi yang bersama DPR telah sekongkol membuat “otokratik legalisme”. Jadi bukan “rule of law”, tapi “rule by the law”. Menggunakan hukum hanya formalitas saja untuk memaksakan kehendak dan kemauan kekuasaannya.

Di sisi lain program IKN akan berkontribusi sangat kecil dalam agenda pemulihan ekonomi. Menurut catatan INDEF, kontribusi pemindahan ibu kota terhadap perekonomian nasional diperkirakan hanya sebesar 0,02 persen dalam jangka pendeknya. Sementara untuk jangka panjang, berkontribusi 0,00 persen. "Hanya Kalimantan Timur saja yang akan mendapatkan manfaat dan daerah lain tidak.

Menurut hitung-hitungan INDEF, pertumbuhan ekonomi pulau Kalimantan juga tidak terlalu signifikan sebagai dampak dari IKN. Angkanya berkisar 3,61% untuk jangka pendek, dan 2,85% untuk jangka panjang. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur bisa mencapai 6,83% untuk jangka pendek, dan 4,58% persen untuk jangka panjang.

Sangat disayangkan pengalokasian anggaran PEN ke program IKN. Padahal, PEN telah diproyeksikan untuk infrastruktur yang memiliki multiplier effect yang tinggi. Hal itu mencakup pembangunan irigasi atau waduk, misalnya. "Sedangkan IKN akan berfokus pada pembangunan administrasi pemerintah, gedung dan kantor. Itu multiplier effct-nya rendah. Sehingga tidak usah heran, para investor asing pun ramai-ramai mundur sebagai penyandang dana IKN karena tidak prospektif.

Alasannya sederhana saja, tidak ada negara di dunia ini yang menjalankan program pemulihan ekonomi dengan  solusi memindahkan ibu kota baru. Tapi faktanya anomali ini justru benar terjadi di Indonesia dan investor asing yang cerdas jelas tak mau ikut terperangkap anomali ini.

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar