Begini Sejarah di Balik Tradisi Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR)

Rabu, 06/04/2022 09:19 WIB
Ilustrasi THR. (Beritabeta).

Ilustrasi THR. (Beritabeta).

Jakarta, law-justice.co - Semua tentu sudah tahu kalau Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi hal yang dinanti masyarakat, khususnya mereka yang hendak mudik dan berbelanja kebutuhan lebaran.

THR sendiri merupakan hak pendapatan pekerja yang wajib diberikan pemberi kerja menjelang hari raya keagamaan dalam bentuk uang tunai yang disesuaikan dengan lama bekerja dan agama yang dianut pekerja.

Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja sudah lama menjadi ciri khas budaya Indonesia yang diatur oleh pemerintah.

Kebijakan pemberian THR lahir pada 1951, sebagai program kabinet Soekiman Wirjosandjojo di era pemerintahan Soekarno. Saat itu, THR hanya diberi kepada pamong praja atau yang kini disebut sebagai PNS.

THR kala itu itu diberikan dalam bentuk beras atau sembako serta uang tunai berkisar Rp125 sampai dengan Rp200 atau setara dengan Rp1.100.000-Rp1.750.000 saat ini. Itu semua diberikan agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dan ekonomi bisa bergerak.

Sebenarnya, ada unsur politis yang diselipkan dalam pemberian THR ini; supaya PNS memberikan dukungan kepada kabinet yang sedang berjalan.

Kemudian pada 1952, program ini menuai protes dari kaum buruh yang merasa tidak adil jika THR hanya diberikan untuk PNS.

Karena desakan ini, pemerintah akhirnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667/1954 yang mengatur pemberian THR bagi pekerja swasta berupa seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun alias gaji sebulan. Hanya saja, pemberiannya belum bersifat wajib.

Baru sekitar 1994, pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja. Kebijakan itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal kebijakan THR saat ini.

Selama kurun waktu dua dekade terakhir, kebijakan THR ini mengalami banyak perubahan. Khususnya, saat diterbitkan UU Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan yang menyebut THR dibayar penuh untuk masa kerja minimal satu tahun dengan besaran satu bulan gaji.

Sementara, untuk pekerja di bawah satu tahun, THR diberikan secara proporsional.

Kemudian, pada 2016, pemerintah merevisi THR lagi dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang THR non-upah yang diberikan selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja.

Kemudian, pada 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan 19/2018 tentang THR dan gaji ke-13. Dalam peraturan itu, PNS, pensiunan PNS, anggota TNI dan Polri, pejabat, gubernur, wali kota, bupati dan wakilnya berhak mendapatkan THR dan gaji ke-13.

Pada 2020 lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengizinkan perusahaan swasta melakukan tunda atau cicil pembayaran THR. Tapi, pembayaran THR yang dicicil atau ditunda ini harus diselesaikan pada tahun itu juga.

Namun, tahun ini THR diwajibkan untuk dibayar penuh oleh perusahaan. Pemerintah tidak akan memberikan relaksasi seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana pembayaran THR bisa dicicil sesuai kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja.

Alasannya, pemerintah sudah melihat pemulihan perekonomian setelah pandemi covid-19 yang cenderung menunjukkan tren positif.

"Ya, wajib (diberikan secara penuh), tak ada relaksasi karena sekarang kan ekonomi mulai bergerak positif," ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri.

Pengaturan THR untuk tahun ini sebagian besar masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Selain itu, landasan hukum lainnya termasuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Berdasarkan kedua dasar hukum tersebut, THR wajib dibayarkan perusahaan untuk para pekerja paling lambat tujuh hari sebelum hari raya Idulfitri.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar