Denny JA: Dirimu Ingin Dikenang Sebagai Apa?

Selasa, 05/04/2022 11:04 WIB
Konsultan politik dan penulis, LSI Denny JA (Foto: seruji)

Konsultan politik dan penulis, LSI Denny JA (Foto: seruji)

Jakarta, law-justice.co - Masa pandemik memiliki goresan batin yang khusus. Saya menyaksikan banyaknya para sahabat yang wafat. Entah mengapa, itu membuat saya banyak merenung hal ihwal soal kematian.

Ketika merenung soal kematian, dua hal yang paling membekas.

Pertama, kunjungan ke Forbidden City sekitar 12 tahun lalu, di tahun 2010. Waktu saya dan keluarga ke China, ke Beijing, sempat mampir ke salah satu tempat turisme yang paling banyak dikunjungi. Ialah forbidden city.

Ini area yang cukup luas, 72 hektar. Berdiri di sana bangunan kerajaan dinasti Yuan, disnati Ming dan dinasti Qing. Ini era abad ke 13 sampai 15 di Cina.

Area itu dikelilingi tembok setinggi 10 meter, sepanjang area. Inilah asa muasal nama Forbidden City. Ini tempat yang terlarang dikunjungi. Ia hanya area raja dan keluarga besar, serta siapun yang dikehendaki oleh keluarga raja.

Agen turis kami juga banyak belajar sejarah. Ia bercerita satu kisah para raja.

Ujarnya, setiap kali raja dilantik, yang pertama ia lakukan adalah membangun dulu makamnya. Sang raja membangun dulu tempat nanti ia dikuburkan.

Sebelum raja yang baru memerintah, berhari- hari, ia diminta merenung. Di makamnya nanti, ia ingin dikenang sebagai apa? Apakah raja yang cinta pengetahuan? Yang cinta keadilan? Yang cinta kejayaan? Dan sebagainya.

Dari sana, ia susun roadmap pemerintahan. Berbeda harapan, berbeda keinginan dikenang sebagai apa di batu nisan, akan berbeda pula kebijakan utama sang raja.

Lama saya merenung. Tradisi raja di masa itu, justru mulai memerintah dengan merenungkan dulu kematiannya. Ia ingin dikenang sebagai apa? Mempersiapkan makam justru untuk memberi pedoman hidup.

Kedua, soal apa yang kita ingin tertulis di nisan, justru datang dari guru manajemen: Peter Drucker. Ia juga banyak mengajarkan. Jika kita ingin membangun legacy, jejak yang monumental, juga mulai dengan pertanyaan itu: dirimu ingin dikenang sebagai apa?

Ujar Peter Drucker, jika usiamu sudah di atas 50 tahun, tapi masih belum merumuskan dirimu ingin dikenang sebagai apa, kau menyia-nyiakan hidupmu.

Peter Drucker menceritakan juga perjumpaannya dengan ekonom terkenal: Schumpeter. Drucker bertanya kepada schumpeter, ia ingin dikenang sebagai apa jika nanti ia mati.

Schumpeter tertawa. Tapi ia menceritakan perubahan dalam hidup. Dulu, katanya, ketika aku masih muda, aku ingin dikenang sebagai penulis buku ekonomi terbaik yang pernah ada. Itulah tujuan hidupku: dikenang sebagai penulis buku ekonomi yang monumental.

Namun, ujar Schumpeter, usiaku kini sudah 62 tahun. Aku mengubah tujuan hidup. Ada yg lebih penting dibandingkan buku. Yaitu manusia.

Aku lebih ingin dikenang ikut melahirkan para murid, manusia, yang menjadi pemikir ekonomi kelas satu dunia.

Bukan buku, tapi manusia!

Pentingnya kita merenung soal kematian, ingin dikenang sebagi apa, justru untuk membuat hidup kita lebih fokus dan lebih bermakna.

Buku ini kumpulan tulisan in memoriam. Mendengar wafatnya seorang tokoh nasional, terutama yang pernah memiliki momen bersama, menggerakkan saya menuliskan sesuatu.

Tak terasa sudah cukup banyak saya menulis soal In Memoriam. Saya pun mempersilahkan penerbit CBI mengumpulkan esai In Memoriam itu untuk dirangkai dalam satu buku khusus.

Mendengar wafatnya orang yang dikenal, selalu saya hidup- hidupkan harapan itu. Ia, sang tokoh, teman itu, sahabat ini boleh menjemput kematiannya. Tapi gagasan yang pernah dicetuskannya semoga tetap hidup.*

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar