Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Islamphobia, Keringkan Dulu Air Kolamnya

Senin, 04/04/2022 08:29 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sebuah video yang di unggah di channel youtube, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan  Islam sebagai agama mayoritas sangat besar peran kesejarahannya dalam membidani lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia, tetapi peran yang besar itu saat ini tidak dianggap apa apa.

Bahkan sebagian psikologi umat Islam merasa tertekan, terpinggirkan, terpuruk bahkan tertuduh sebagai warga bangsa. Menurutnya Islamophobia di arena nasional kita  saat ini sangat kentara. “Ada gelagat, upaya dan fakta untuk memisahkan negara Pancasila dengan agama atau ada upaya yang ingin  menyapih agama dari Pancasila “, katanya.

Fenomena tersebut menurutnya Din Syamsudin hanya terjadi menjelang terjadinya pemberontakan G-30 S PKI tahun 1965 ketika orde lama berkuasa sebagaimana digambarkan dalam sebuah film  “ the year of living dangerously “,  tahun tahun yang penuh bahaya. Situasi inilah menurutnya yang kini sedang terjadi di Indonesia dibawah rejim yang sekarang berkuasa.

Kekhawatiran, kegundahan serta keprihatinan dari Din Syamsuddin seorang tokoh bangsa yang sempat dituduh sebagai tokoh radikal ini tentunya cukup menyesakkan dada. Benarkah situasi dan nasib umat Islam sekarang begitu gawat sehingga tak ubahnya seperti yang terjadi pada masa menjelang tahun 1965 ketika PKI ingin mengkudeta Pancasila ?.  Benarkah Islamophobia yang marak akhir akhir ini sebagai bagian dari strategi pengeringan kolam untuk menangkap ikannya ?

Mirip Jelang Tragedi 1965 ?

Kalau kita buka buka buku sejarah maka menjelang tahun 1965 saat PKI ingin melakukannya pemberontakan guna menggantikan Pancasila, situasi politik dibuat memanas penuh intrik, profokasi, agitasi dan propaganda.  Setahun sebelumnya yakni tahun 1964, kala itu muncul  istilah Vivere Pericoloso berasal dari  bahasa bahasa Italia yang berarti "hidup menyerempet bahaya".Istilah ini menjadi terkenal sejak Presiden Soekarno mempidatokannya pada hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

Saat itu kondisi perekonomian rakyat mengalami kesulitan karena naiknya harga harga sementara para pejabat hidup koruptif dan berfoya foya. Di tengah kesulitan kehidupan ekonomi sepertti itu provokasi terhadap rakyat semakin meningkat intensitasnya. Suhu politik dibuat semakin memanas sedemikian rupa sehingga rakyat semakin diaduk aduk emosinya. Kesulitan ekonomi rakyat dan provokasi yang bertubi tubi telah menyebabkan masyarakat menjadi putus asa.

Ditengah situasi kesulitan ekonomi, berbagai tuduhan dengan menggunakan istilah-istilah  dan jargon-jargon tertentu diarahkan kepada lawan lawan politik penguasa. Sementara itu tangan tangan penguasa diarahkan untuk memenjarakan lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis)  sebagai garis politik penguasa.

Era tahun 1960 sampai dengan 1965 adalah masa masa dimana pemerintah orde lama yang berkuasa begitu getol menjebloskan tokoh tokoh bangsa yang tidak sejalan dengan garis politik penguasa. Mereka umumnya dijebloskan ke penjara tanpa proses peradilan sebagaimana mestinya. Beberapa Lembaga atau organisasi kemasyarakat yang tidak sejalan dengan garis kebijakan politik penguasa juga dibubarkan seperti Masyumi, PSI dan Murba.

Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada tokoh tokoh yang tidak disukainya biasanya diikuti dengan terror kepada mereka. Saat itu tuduhan-tuduhan yang digunakan adalah anti Nasakom, anti revolusi, komunistopobi, dan lain-lainnya. Lalu tokoh tokoh yang disasar (ditarget) dijebloskan ke penjara. PKI yang sedang berjaya selalu bermain fitnah dengan cara berlindung kepada Presiden Soekarno yang menjadi penguasa orde lama. Agitasi dan propaganda adalah senjata harian PKI dan ormas ormas jaringannya untuk menteror lawan lawan politiknya.

Tampaknya situasi yang terjadi menjelang  tahun 1965 tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi sekarang di Indonesia. Situasi ekonomi yang sulit dirasakan rakyat apalagi ditengah pandemi virus corona yang belum jelas kapan berakhirnya. Harga kebutuhan pokok masyarakat makin mahal saja. Yang terbaru minyak goreng begitu mahal harganya. Padahal negeri ini penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Ditambah harga BBM  pertamak yang naik 16 ribu hampir  dua kali lipat dari harga semula. Utang luar negeri juga makin menumpuk hingga mencapai ribuan triliun jumlahnya.

Di dunia usaha, banyak pengusaha skala kecil dan menengah yang terpuruk usahanya. Banyak terjadi PHK. Otomatis angka pengangguran meningkat jumlahnya. Selama Pandemi virus corona, angka kemiskinan memang terus menanjak karena pertumbuhan ekonomi memang tidak seperti target yang dicanangkan penguasa.

Menurut Ekonom senior Rizal Ramli beban ekonomi masyarakat  ditahun 2022 ini  jauh lebih berat dibandingkan 2021, seiring melonjaknya harga kebutuhan pokok dan fenomena masyarakat yang semakin melemah daya belinya.Kondisi ini menurut dia disebabkan arah kebijakan pemerintah yang tampak hanya pro terhadap pengusaha besar sehingga mengenyampingkan kepentingan rakyat pada umumnya.

"Arah kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi ini hanya menguntungkan yang besar-besar, asing maupun aseng. Istilah hari ini, hanya menguntungkan oligarki yang dibikin mudah dengan berbagai macam aturan dan kebijakan, termasuk dengan adanya  omnibus law [UU Cipta Kerja]. Menguntungkan pengusaha, merugikan karyawan dan buruh," katanya seperti dikutip media.

Saati ini banyak orang mulai sadar bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Korupsi makin merajalela sementara KPK semakin tidak berdaya. Penguasaan lahan (termasuk hutan) dan SDA yang makin brutal oleh segelintir pemilik modal yang difasilitasi oleh kebijakan negara. Banyak BUMN yang bangkrut sehingga menanggung utang yang luar biasa besarnya.

Tidak sedikit  proyek infrastruktur mangkrak atau terancam mangkrak seperti proyek pembangunan ibukota baru (IKN) yang kesulitan pendanaannya. Akhirnya rakyat diminta untuk urunan guna membiayainya. Infrastruktur yang sudah jadi pun ada yang ‘tak berguna’, seperti Bandara Kertajati di Majalengka. Ada juga infrastruktur yang kemudian terpaksa dijual atau berencana dijual, seperti beberapa ruas jalan tol karena Pemerintah memang kehabisan dana.

Ditengah tengah kondisi bangsa yang sedang tidak baik baik saja, ada kelompok di lingkaran istana yang ingin supaya Presiden diperpanjang masa jabatannya. Selain itu pemilu 2024 di tunda dengan alasan yang dibuat buat supaya terkesan masuk akal dan bisa diterima masyarakat Indonesia. Kegaduhan demi kegaduhan di munculkan untuk menutupi masalah bangsa yang sebenarnya.

Yang paling aneh  di tengah segudang masalah yang membelit negeri ini adalah selalu dimunculkannya soal  radikalisme, intoleran dan terorisme, seolah-olah menjadi masalah utama bangsa. Seakan akan solusi atas semua keterpurukan ini adalah dengan memberantas radikalisme, intoleransi dan terorisme yang ada di Indonesia.

Dalam kaitan ini  umat Islam memang merasa terteror oleh kegiatan pelaksanaan penanggulangan radikalisme-terorisme  dan intoleran yang seolah olah selalu menjadi “tersangkanya”. Seperti sinyalemen dari Prof. Din Syamsudin, mereka merasa selalu dipojokkan, bahkan dijadikan target untuk dimasukkan ke penjara atau bahkan dihilangkan nyawanya. Sepanjang yang berkaitan dengan penyebaran paham radikal dan penangkapan terduga teroris, hampir semuanya dihubungkan dengan orang Islam yang mengesankan bahwa islamophobia sudah begitu menggejala. 

Framing berita sedemikian rupa sehingga tercipta kesan bahwa Islam dan umat Islam demikian jahat terhadap negara. Stigmatisasi Islam radikal sudah terasa sejak periode pertama Jokowi berkuasa. Berdasarkan apa yang disebut “survey”, disiarkan bahwa paham radikal telah merambah ke sekolah-sekolah dan kampus melalui pengajian dan Studi Islam Intensif yang dilakukan OSIS atau Lembaga Dakwah Kampus bahkan program menghafal Alquran yang dilaksanakan oleh OSIS, pun dihubungkan dengan radikalisme di sekolah (Ade Chariri, mengutip Ma’arif Intitute, 2018).

Pada periode ke dua pemerintahan Jokowi, kecemasan umat Islam semakin meningkat saja. Lahirnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) dengan eka sila dan trisilanya telah berupaya  untuk menempatkan sila Pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai bagian dari budaya. Untungnya RUU ini berhasil dicegah untuk disahkan setelah munculnya protes dimana mana.

Masih hitungan bulan Kabinet Indonesia Maju, negeri ini sudah gaduh. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian  Wahyudi –waktu itu baru menjabat sepekan, menumpahkan isi hatinya : “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”.

Belum reda soal Yudi Wahyudi, Menteri Agama Jendral (Purn) Fachrur Razi –yang sejak awal diangkat menjadi menteri menyatakan siap memerangi radikalisme, melemparkan pernyataan yang sunguh mengejutkan umat islam Indonesia. Dikatakan, faham radikalisme masuk ke lingkungan ASN melalui orang-orang yang good looking, yakni sosok orang yang berpenampilan menarik,  aktif di Masjid, hafal Al-quran dan terlihat mumpuni dalam soal agama.

Menteri Agama (Menag) Gus Yaqut Cholil Qoumas yang menggantikan Fachur Razi tak kalah kontroversialnya. Deretan pernyataan Gus Yaqut ini mengundang kecaman dari berbagai pihak hingga ada yang mengusulkan pembubaran Kementerian Agama. Deretan kebijakan dan pernyataan kontroversial itu diantaranya : mengafirmasi hak beragama bagi kelompok Syiah dan Ahmadiyah yang selama ini tidak diakui di Indonesia,  mengucapkan selamat Hari Raya Naw Ruz ke komunitas Baha’i  yang selama ini dianggap sebagai salah satu aliran sesat di Indonesia dan membandingkan suara anjing dengan suara Toa.

Sementara itu upaya untuk “mengkerdilkan” islam ternyata tidak berhenti disitu saja. Sejak periode kedua pemerintah Jokowi, hampir semua kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju seperti punya tugas yang sama : berantas radikalisme; dan itu, sekali lagi, terarah kepada Islam dan Umat Islam sebagai “tersangkanya”.  Radikalisme (Islam) tiba-tiba seolah menjadi persoalan utama bangsa yang mendesak untuk ditangani secara keroyokan, mengalahkan masalah-utama bangsa lainnya.

Menteri PANRB, Tjahjo Kumolo, mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk PNS untuk siap memerangi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  Layaknya seorang penguasa,  Jumat (21/1/2022), dia mengatakan : "Saya ingin menegaskan kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti Pancasila, anti Bhinneka Tunggal Ika, anti NKRI, anti kemajemukan bangsa dan UUD 1945," (iNews.id).

Tak ketinggalan KSAD Jendral Dudung Abdurachman, di depan 2.655 prajurit TNI AD, menyatakan adanya ancaman kelompok  radikal kanan di masyarakat dan sudah masuk di kelompok-kelompok pelajar dan mahasiswa.

Selanjutnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Selasa (25/1), menyebut ada198 pesantren yang terafiliasi dengan jaringan teroris sehingga harus diwaspadai keberadaannya. Pada saat yang sama, keganasan KKB di Papua yang bahkan telah membunuh puluhan anggota TNI, juga warga sipil, tidak dianggap sebagai teroris. Mereka bahkan diklaim sebagai ‘saudara’.

Seiring dengan BNPT, Polri juga bakal memetakan masjid-masjid se-Indonesia dalam rangka mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme lewat rumah ibadah mengingat diduga dari sanalah sumbernya. Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen dan Keamanan Polri, Brigjen Umar Effendi, mengatakan : "Masjid ini sekarang `warna`-nya macam-macam ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi keras dan sebagainya." Tidak jelas juga apa yang dimaksud dengan “hijau”, “keras” dan “semi keras”; dan apa ukuran yang dipakai untuk mengelompokkannya. Sebelumnya, terjadi ‘razia’ oleh Densus 88 terhadap ratusan kotak amal yang dituding terkait pendanaan terorisme/radikalisme di Indonesia.

“Teror” terhadap umat islam juga terjadi melalui pembubaran ormas ormas yang dinilai tidak sejalan dengan garis kebijakan politik penguasa. Pada tahun 2017, Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak melalui proses pengadilan sebagaimana mestinya. Menyusul HTI,  Front Pembela Islam (FPI) di tahun 2020 juga dibubarkan melalui cara yang sama. Kini kecemasan juga melanda Lembaga seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia). Setelah kewenangannya dalam memberikan label halal dikebiri oleh Kementerian Agama, Lembaga MUI juga terancam di bubarkan karena  fatwa fatwanya di nilai membuat gaduh saja.

Sebenarnya bukan Cuma HTI, FPI atau MUI yang sedang dibidik untuk dibubarkan melainkan sampai Lembaga seperti Muhammadiyah kabarnya sedang di incar juga. Pembekuan Muhammadiyah bukan tidak mungkin terjadi jika kita menelaah sejarah ketika era Orde Lama berkuasa.

Saat itu rezim Orde Lama berkuasa mereka berani membubarkan Partai Islam Masyumi (1960) atas desakan dari DN Aidit (Ketua CC PKI/ Partai Komunis Indonesia), Pembubaran Partai kedua terbesar dalam Pemilu 1955 itu yang disertai penangkapan para pemimpinnya, dilakukan dengan dalih mereka terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera.  Namun ketika PKI terlibat pemberontakan di Madiun (1948), mereka tidak dibubarkan malah disuport sehingga menjadi partai keempat pemenang Pemilu 1955.

Memang setelah merasa sukses membubarkan HTI dan FPI tanpa perlawanan berarti dari umat Islam, penguasa yang berkuasa sekarang semakin percaya diri untuk menjalankan agendanya.Kini giliran Muhammadiyah nampaknya sedang dibidik pula.Ingat kasus terbunuhnya Siyono aktifis Muhammadiyah Klaten Jawa Tengah tahun 2016 dengan tuduhan terorisme. Kemudian pembakaran Ponpes dan sekolah Muhammadiyah di Lamongan, penurunan papan Muhammadiyah di Banyuwangi Jawa Timur serta penangkapan tiga pengurus Muhammadiyah di Lampung dengan tuduhan terlibat terorisme) dan lain lainnya.

Bukan hanya lembagaya saja yang di “obok obok”,tokoh tokoh islam yang bersuara kritis juga banyak yang dijadikan tersangka dengan tuduhan yang kadang kadang menjadi tanda tanya. Sebagai contoh Gus Nur yang dipenjara karena dituduh menyebarkan ujaran kebencian, ustadz Maher Tuwalibi dipenjara sampai meninggal dunia karena dituduh menista tokoh agama, Habib Riziek Shihab  (HRS) dipenjara karena dianggap melanggar Prokes penyebaran virus corona.

Fenomena HRS adalah kasus yang sangat langka terjadi didunia karena menjadi satu satunya kasus di dunia dimana pelanggar Prokes dihukum hingga enam tahun lamanya.Kasus aneh lainnya menimpa Munarman tokoh FPI yang “diteroriskan”, karena suara kritisnya.

Kiranya masih banyak catatan yang bisa diungkap untuk menguatkan pernyataan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan  islam sebagai agama mayoritas sangat besar peran kesejarahannya dalam membidani lahirnya NKRI tapi saat ini justru merasa tertekan, terpinggirkan, terpuruk bahkan tertuduh sebagai warga bangsa. Islamophobia di  Indonesia begitu sangat kentara. Apakah kondisi yang saat ini terjadi di Indonesia memang mendekati situasi yang sama terjadi pada tahun 1965 ketika PKI ingin merubah ideologi Pancasila ?

Keringkan Kolamnya

Situasi yang terjadi di Indonesia saat ini bisa jadi tidak sama persis dengan apa yang terjadi di Indonesia menjelang tahun 1965, mekipun ada kemiripannya. Namun sekurangnya kurangnya sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh Prof. Dien Syamsudin : “Islamophobia di arena nasional kita  saat ini sangat kentara”.

Islamophobia adalah produk global yang tidak bisa dipisahkan dari konflik peradaban dunia dimana peradaban Barat yang selalu ingin menguasainya. Islam adalah adalah peradapan yang ditakuti oleh  Barat dan mereka berupaya untuk menaklukannya melalui tangan tangannya di suatu negara.

Tuduhan palsu dan skenario tingkat tinggi telah dimainkan oleh Amerika (dan Israel) untuk melumpukan peradaban islam diberbagai belahan dunia islam termasuk di Indonesia melalui antek anteknya. Rusia belakangan ini mengancam akan membongkar citra satelit peristiwa 9/11 sebagai perbuatan dan konspirasi Amerika yang nekad mengorbankan warga negaranya untuk memfitnah muslim sebagai pelakunya.

Pasca serangan 9 september di Amerika, aksi terorisme “buatan” terjadi di berbagai belahan dunia. Sejak Peledakan Gedung WTC 11 September 2001, AS telah memanfaatkan isu terorisme sebagai bagian dari skenario globalnya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim pada umumnya.  Dalam Dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks" disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka. Salah satunya dengan labelisasi “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis”, kepada penganutnya.

Mantan Presiden AS George W Bush pernah menyebut ideologi Islam sebagai “ideologi para ekstremis”, sementara mantan PM Inggris Tony Blair, ideologi Islam dijuluki sebagai “ideologi setan” sebagaimana yang ia nyatakan di dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris (2005).

Narasi perang melawan terorisme, radikalisme dan ekstremisme dengan target memerangi Islam dan umat Islam inilah yang juga terus-menerus dikampanyekan oleh para penguasa Muslim, termasuk di negerinya. Mereka terus-menerus mengkampanyekan narasi-narasi kebencian terhadap Islam (islamophobia) meskipun ia sendiri mengaku islam sebagai agamanya.

Hampir seluruh dunia membuat pasukan anti teroris tidak terkecuali Indonesia. Densus 88 pun merajalela hingga menelan banyak korban jiwa tanpa pengadilan sebagaimana mestinya. Teroris aneh bermunculan tanpa jelas siapa targetnya. Hampir semua aksi terror itu menyasar umat islam sebagai pelakunya, sebagai tersangkanya.

Maraknya islamophobia mirip dengan upaya yang dilakukan oleh Winston Churchill pahlawan Inggris yang sukses menaklukkan musuh bebuyutannya.  Dalam sejarah diceritakan  Winston Churchill berulang kali  gagal menaklukkan Utsmaniyah Turki yang saat itu menjadi salah satu kekuatan dunia.

Karena kegagalan yang terus berulang, pada akhirnya ia mempunyai gagasan untuk mengumpulkan prajurit terbaiknya dan juga ahli perang Eropa.  Winston Churchill berdiri di dekat kolam depan Istana, dia dikelilingi ahli-ahli perang Eropa, lalu memerintahkan seorang prajurit untuk menangkap ikan di dalam kolam yang ada didepannya.Berkali-kali prajurit terbaik itu mencoba menangkap ikan, tapi selalu gagal alias  tidak berhasil menangkapnya. Dengan gesit dan  tangkas ikan selalu berhasil lolos dari sergapannya.

Setelah prajurit itu kelelahan karena sekian lama tidak bisa  menangkap ikan dalam Kolam yang diburunya. Maka Winston Churchill segera berdiri dan mengatakan bahwa ikan tersebut tidak akan bisa ditangkap dan dibunuh kalau airnya masih tetap ada. Karena itu Winston Churchill kemudian memerintahkan sang prajurit itu untuk mengeringkan kolamnya.

Segera prajurit mengambil gayung dan pelan-pelan mengeringkan kolam tersebut meskipun memakan waktu yang cukup  lama. Begitu kolam mengering, ikan ikan yang semula sulit untuk ditangkap, akhirnya menggelepar gelepar tidak berdaya. Ikan itu  tinggal ditangkap dan menunggu kematiannya ..

Winston Churchill,  sang Legenda Eropa itu mengatakan, " Muslim itu ibarat ikan, dan air kolam adalah ajarannya .. Selama mereka berada pada ajarannya, maka kita tidak bisa mengalahkannya .."Winston Churchill melanjutkan, " Kita tidak akan bisa mengalahkan Muslim yang mengamalkan keislamannya .."

" Yang mengamalkan ajaran Islam dalam hidupnya .. Yang menjadikan mereka mencintai Tuhan dan Nabi melebihi cintanya terhadap harta dunia, bahkan melebihi cinta terhadap dirinya . Mereka menjadikan mati syahid sebagai impiannya .."

Dia melanjutkan :, tapi untuk menghancurkan Islam itu mudah, " Keringkan air kolamnya ..! "" Keringkan keimanannya, jauhkan dari ajarannya, jauhkan dari mesjid, jauhkan dari menteladani Nabi-nya..". " Maka mereka bagaikan ikan yang kekeringan,  menggelepar menunggu kematiannya".

"Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya sehingga menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi, jauhkan mereka dari agamanya. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesama mereka. Menjadi  terpecah-belah satu dengan lainnya. Dengan demikian, kalian telah menyiapkan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka ” katanya.

Bisa jadi islamophobia yang saat ini sedang marak di Indonesia menjadi bagian dari upaya untuk mengeringkan kolam itu agar ikan mudah diambilnya. Mereka berupaya untuk memformat pola pikir banyak umat Islam dengan pola pikir mereka. Mereka berupaya  memisahkan urusan kehidupan politik dan agamanya, memisahkan antara negara dan agama. Mereka berupaya menjadikan penganut agama islam  menjadi tidak fanatik lagi sehingga hilang ghirah keagamaannya.

Jauh jauh hari fenomena ini sebenarnya  sudah dibaca oleh tokoh bangsa seperti Muhammad Natsir melalui pernyataannya: “ “Islam Beribadah Dibiarkan, Islam Berekonomi Diawasi, Islam Berpolitik Dicabut Seakar-akarnya”.

Tapi yang terjadi saat ini bukan hanya peran islam dibidang ekonomi dan politik yang dicoba untuk dihilangkan melainkan sampai soal ibadahpun ikut dicampurinya. Sebagai contoh pernyataan Menteri Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut salat tarawih di masjid diperbolehkan selama Ramadhan 2022 asalkan memakai masker dan sudah di boster atau sudah vaksinasi yang ketiga. Sebuah pernyataan yang terlalu jauh mencampuri urusan ibadah umat Islam yang bukan menjadi kewenangannya.

Memang sangat ironis, ketika ditingkat global dimana  PBB  saja sudah mengumumkan bahwa 15 maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamofobia tetapi di Indonesia fenomena Islamphobia justru masih marak dan terkesan semakin merajalela.  Siapakah kira kira dibalik itu semua ? Lalu apa maksud dan tujuannya? Apakah sengaja tetap dipelihara untuk menciptakan kegaduhan agar pengerukan sumberdaya alam Indonesia tetap bisa berjalan lancar jaya ?, Apakah upaya “pengeringan kolam” itu dimakudkan untuk meninabobokkan umat islam agar  supaya tidak mempermasalahan isu isu utama yang menjadi permasalahan utama bangsa Indonesia ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar