Efek Krisis Energi, Sri Lanka Pemadaman Listrik 10 Jam per Hari

Rabu, 30/03/2022 14:20 WIB
Pemadaman listrik 10 jam per hari di sri lanka (Reuters)

Pemadaman listrik 10 jam per hari di sri lanka (Reuters)

Sri Lanka, law-justice.co - Sri Lanka memberlakukan pemadaman listrik harian selama 10 jam secara nasional mulai Rabu (30/3). Hal itu lantaran pasokan dari pembangkit listrik tersendat menyusut defisit bahan bakar.


Dilansir dari AFP, perusahaan listrik negara menambah waktu pemadaman menjadi 10 jam dari yang sebelumnya 7 jam sejak bulan lalu. Pasalnya, mereka tidak memiliki minyak untuk menyalakan generator termal.

Lebih dari 40 persen pasokan listrik Sri Lanka dihasilkan dari PLTU. Selain kehabisan minyak, saat ini sebagian besar waduk juga kekurangan air akibat hujan yang belum turun.

Tidak hanya itu, krisis listrik di negara berpenduduk 22 juta orang itu juga diperparah oleh kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sri Lanka belum mampu melakukan impor batu bara karena tidak memiliki cukup devisa untuk membayar pasokan.

Di sisi lain, perusahaan minyak dan gas Sri Lanka Ceylon Petroleum Corporation (CPC) mengatakan tidak akan ada bahan bakar solar di negara itu paling tidak selama dua hari. Hal tersebut tak lemas dari kekurangan solar impor.

Oleh karena itu ,harga bahan bakar di Sri Lanka pun melambung sejak awal tahun. Bensin naik 92 persen dan solar 76 persen.

Pejabat setempat mengatakan pemerintah membutuhkan waktu 12 hari untuk mengumpulkan dana sebesar US$44 juta. Dana tersebut dibutuhkan untuk membayar pengiriman terbaru gas LP dan minyak tanah.

Sebelumnya, pemerintah Sri Lanka memberlakukan larangan impor yang luas pada Maret 2020 demi menghemat mata uang asing yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri senilai US$51 miliar.

Meski demikian, kebijakan tersebut malah menyebabkan kelangkaan barang-barang pokok dan kenaikan harga yang tajam. Banyak rumah sakit menghentikan operasi rutin, sementara supermarket terpaksa membatasi pembelian makanan pokok termasuk beras, gula, dan susu bubuk.

Pemerintah mengatakan sedang mencari bailout dari Dana Moneter Internasional sambil meminta lebih banyak pinjaman dari India dan China.

Krisis juga diperparah oleh pandemi covid-19 yang melumpuhkan pariwisata dan pengiriman uang. Banyak ekonom juga menyalahkan kesalahan kebijakan pemerintah termasuk pemotongan pajak dan defisit anggaran selama bertahun-tahun.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar